Mendorong Inclusive & Responsible Business dengan Memperkuat Keterlibatan Organisasi Masyarakat Sipil

Mendorong Inclusive & Responsible Business dengan Memperkuat Keterlibatan Organisasi Masyarakat Sipil

Kajian tentang Inclusive & Responsible Business (IRB) dengan memperkuat Keterlibatan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) diprakarsai oleh INFID dan Oxfam Indonesia dengan tujuan untuk: (i) menganalisa isu dan perkembangan IRB di ASEAN dan Indonesia; (ii) menganalisa perkembangan gerakan atau advokasi IRB di tingkat ASEAN dan Indonesia; serta urgensinya untuk terus melibatkan OMS dalam iklim IRB; (iii) memberikan rekomendasi dan masukan untuk perbaikan kebijakan IRB Indonesia dan ASEAN. Penelitian merupakan penelitian kualitatif dengan memfokuskan pada telaahan Peraturan Presiden No.60 Tahun 2023 tentang Strategi Nasional Bisnis dan Hak Asasi Manusia (HAM).

IRB merupakan upaya untuk mengintegrasikan Hak Asasi Manusia (HAM) ke dalam kebijakan dan praktik korporasi bisnis, sekaligus mendorong praktik bisnis yang inklusif. Munculnya isu dipicu oleh dampak globalisasi melalui korporasi transnasional. Melemahnya aturan internasional dan nasional serta praktik korporasi yang lebih mementingkan keuntungan dalam jangka pendek daripada manfaat dalam jangka panjang termasuk pembangunan manusia, menjadi isu yang ingin dijawab oleh United Nation Guiding Principles on Business and Human Right (UNGPs BHR) yang terdiri dari 3 pilar: 1) perlindungan HAM oleh negara, 2) penghormatan HAM oleh perusahaan dan 3) pemulihan bagi korban HAM.

IRB utamanya ditujukan untuk korporasi besar yang bekerja lintas negara. Terdapat dua kesenjangan yang diakibatkan oleh sistem ekonomi kapitalis melalui praktek korporasi transnasional. Pertama adalah kesenjangan tata kelola global dimana pemerintah tidak mampu menegakkan hukum nasional, jika berkaitan dengan kegiatan bisnis yang dilakukan perusahaan transnasional. Kesenjangan kedua adalah ketimpangan ekonomi dan sosial, dimana perempuan dan anak serta kelompok rentan menjadi bagian yang paling terdampak. Meskipun demikian dari pandangan Ekonomi Sosial Solidaritas, ekonomi bersifat plural, dan masih banyak model ekonomi lain yang tumbuh di masyarakat. Bisnis model ekonomi sosial solidaritas yang mudah dijumpai adalah koperasi, social enterprise, keuangan mikro, Credit Union (CU) dan lain-lain yang banyak dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil dan komunitas. Yang menjadi pembeda prinsip ekonomi kapitalisme dan ekonomi sosial solidaritas adalah penerapan nilai etika di dalam proses bisnis dan pengambilan keputusan yang partisipatif.

Dalam kajian ini akan dibahas empat kebijakan global terkait IRB yang umumnya menjadi rujukan di ASEAN: UNGPs BHR, UN Global Compact (UNGC), ISO 26000, dan Responsible Business Conduct. Keempat instrument di atas sama-sama mendorong upaya pencapaian SDGs. Karakter kebijakan bersifat sukarela yang melekat pada ketiga kebijakan di atas sering dipandang kurang dalam efektivitas implementasi. Oleh karena itu, terdapat satu instrumen yang sedang dibahas di PBB yaitu instrumen Bisnis dan HAM yang mengikat secara hukum yakni instrumen HAM yang legally binding instrument (LBI), bagi perusahaan-perusahaan transnasional (TNCs) dalam penghormatan kepada HAM. Pemerintah Indonesia termasuk yang mendukung penyusunan draft ini.

Sekretariat ASEAN telah mengeluarkan kerangka kebijakan Inclusive Business dan Corporate Social Enterprise, namun belum ada kebijakan terkait IRB. Kebijakan IRB yang banyak digunakan oleh perusahaan di ASEAN adalah panduan Responsible Business Conduct (RBC) yang dikeluarkan oleh OECD. Survei yang dilakukan ASEAN tahun 2017 menjelaskan bahwa sebagian besar perusahaan memahami konsep CSR dan IB tetapi kurang memahami tentang RBC.

Pemerintah Indonesia telah memberikan perhatian cukup besar terhadap bisnis dan HAM dengan dikeluarkannya Strategi Nasional Bisnis dan HAM melalui Peraturan Presiden (Perpres) No.60 tahu 2023. Berdasarkan Perpres tersebut dibentuk Gugus Tugas Nasional Bisnis dan HAM yang anggotanya terdiri dari Kementerian dan Lembaga dan Mitra Non Pemerintah. INFID bersama beberapa masyarakat sipil Indonesia dan mita pembangunan menjadi anggota Gugus Tugas Nasional mitra non pemerintah. Terdapat tiga strategi ditetapkan: (1) peningkatan pemahaman dan promosi Bisnis dan HAM, (2) pengembangan regulasi, kebijakan, dan panduan, (3) penguatan mekanisme pemulihan yang efektif bagi korban pelangaran HAM.

Dari sisi Inclusive Bussiness, Indonesia belum memiliki kerangka kebijakan yang spesifik. Dalam panduan IB ASEAN (2020) disebutkan bahwa status IB di Indonesia masih dalam tahap dipertimbangkan. Meskipun demikian Kementerian Koordinasi Ekonomi bersama Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Kesehatan dan BAPPENAS telah membangun peta jalan IB dengan fokus pada industri pariwisata sebagai percontohan.

OMS di Indonesia memiliki peran penting dalam penyusunan kebijakan dan pemantuan IRB. Terdapat beberapa kelompok OMS yang mendorong IRB dengan sub-isu yang berbeda-beda. Salah satunya adalah kelompok advokasi IB yang terdiri dari Oxfam, INFID, PRAKARSA ASPPUK, KRKP. Inclusive and Responsible Business sudah banyak diterapkan dalam usaha ekonomi yang dilakukan oleh organisasi atau perusahaan dengan platform ekonomi sosial solidaritas seperti koperasi, social enterprise, dan lain-lain. Hal ini menjadi kekuatan bagi OMS dalam mempromosikan IB dan IRB dengan memberikan praktik-praktik terbaik dari pelaku ekonomi sosial solidaritas.

Untuk mendorong IB dan IRB di tingkat ASEAN dan Indonesia, terdapat beberapa tantangan yang perlu menjadi perhatian, antara lain beragam terminologi dan konsep bisnis IB/IRB yang dapat menghambat sosialisasi yang efektif. Untuk pelibatan masyarakat sipil, kebijakan ASEAN terhadap OMS juga juga tidak terlalu terbuka terhadap OMS dalam pengambilan keputusan, seperti yang tertera dalam ASEAN Guideline for Civil Society. Di Indonesia sendiri kebijakan IB masih belum jelas. Hal ini dapat membuat advokasi OMS terhadap IB menjadi kurang efektif. Kendala kebijakan dijumpai pada Undang-undang Ketenagakerjaan dalam Omnibus Law yang memberikan lebih banyak perhatian kepada kepentingan investor daripada perlindungan tenaga kerja.

Rekomendasi untuk memperkuat peran OMS dalam promosi IRB melalui kertas kebijakan ini dikelompokkan dalam 4 strategi: (1) optimalisasi peran OMS dalam Gugus Tugas Nasional, (2) terbangunnya manajemen pengetahuan bersama tentang Bisnis dan HAM, (3) mempromosikan dan advokasi kebijakan IB dan IRB kepada seluruh pemangku kepentingan di tingkat ASEAN dan Indonesia, (4) Membangun kolaborasi dengan sektor swasta dalam mempromosikan IB dan IRB.