Oleh Muhammad Naziful Haq
Suara tonggeret berderik di kejauhan. Anik (22th) sedang menyiapkan mesin kopi. Tiba-tiba lonceng pintu berdenting. Della (21th), partner kerja Anik, langsung menaruh tas dan menata kursi sambil mengelap meja, lalu membersihkan kaca. Salah satu kedai kopi di sudut Yogyakarta, baru saja buka. Ada empat orang karyawan (3 perempuan dan 1 laki-laki) di bawah tiga orang pengelola yang terdiri dari pemilik, junior staff brand dan marketing.
Pengunjung biasanya mulai berduyun setelah pukul lima sore, meskipun kedai telah buka jam 10 pagi. Setiap pukul tujuh malam sampai pukul dua belas, Anik dan Della perlu kerja ekstra. Della meracik pesanan-pesanan pelanggan, sementara Anik bolak-balik dari membuat kopi ke melayani pembayaran. Bagian pembayaran seharusnya dipegang oleh satu karyawan khusus, namun posisi itu sedang lowong dan kedai kopi belum menemukan orang yang tepat.
“Ada sih beberapa [orang] kemarin daftar tapi belum nemu. Kasir yang dulu emang outfitnya oke, dan dia emang cantik sih…” kata Anik.
“Skill jelas butuh. Cuma orang datang [ke kedai] mereka ada yang cari taste, ada yang cari tempat, oh ini nyaman atau gak buat ngobrol, sama ada juga yang cari kenalan. Karena di sini kan rata-rata kedai kopi itu terbuka, orang mau kenalan sama siapa aja boleh. Lisa, kasir yang kemarin, itu banyak yang minta kenalan. Anik sama Della juga. Yaa ada aja yang nanya macem-macem…” tutur Kiki, junior staff brand.
Di tahun 2017, tercatat ada sekitar 1200 kedai kopi di Yogyakarta. Angka ini kemungkinan telah menggelembung di tahun-tahun berikutnya, meskipun pandemi telah melanda di tahun 2020. Fungsi kedai kopi merangkum kesempatan kerja entry-level sekaligus ruang kultural anak muda. Di dalamnya terjalin cool culture, konstruksi gender, kesadaran sosial, hingga ekspresi-ekspresi seksual dengan derajat yang beragam.
Della bertutur sambil mengingat kekesalan di masa lalu, “pernah waktu itu malem-malem kita udah close order, terus ada pelanggan yang datang. Dia pesen kopi, kita bilang udah ga bisa. Terus dia bilang ‘kalau pesen mbaknya aja boleh nggak?’”
Sejumlah lowongan kedai kopi mencantumkan persyaratan good looking. Pola domestikasi lama yang menempatkan feminitas pada kerja-kerja olah pangan dan minum juga terjadi di beberapa kedai kopi, tergantung pada konsep tema dan segmentasi yang disasar.
Beberapa kedai kopi memang memiliki pola iklim kerja yang amat maskulin dengan suasana proletariat yang bahkan tidak memungkinkan perempuan bekerja di situ. Tetapi di beberapa kedai lain yang menarget pangsa pasar menengah-atas, feminitas dan mutu good looking pekerja sering dikerahkan dalam kerangka domestikasi lama dan di bawah imaji-imaji marketing.
“Kerasa sih kalo ada [pelanggan] yang ngeliatin [male gaze]… pernah ada pelanggan yang liatin, aku liatin balik, tapi dia tetap liatin. Temen ku malah cerita, pernah ada pelanggan yang dia tuh natap ‘manja’.” Jelas Della.
Relasi kerja, yang dalam istilahnya Max Weber ditentukan oleh ‘rasionalitas-tujuan’, sering menghendaki hierarki dan jarak hubungan emosi, yang selanjutnya dapat membuka peluang sikap agresif bila relasi antar pekerja terjebak pada konteks situasi kasual tertentu yang melampaui aturan tertulis maupun etika kerja.
“Kan pas itu aku lagi shift trus lagi duduk santai gitu, aku disuruh sama junior staff brand ini buat naik ke atas, ya aku naik dong mba karena aku kira ada hal penting. Eh taunya pas aku ke atas, aku malah diginiin sama junior staff brand 'ini loh mas nya udah disini, di layanin dulu’.” Kata Anik.
“Orang atas itu bercandanya mesum banget mas, dan itu gak sekali atau dua kali tapi berkali kali mas, setiap ketemu itu pembahasannya mesum” pungkasnya.
Bercampurnya nuansa kasual dengan ikatan kontrak kerja formal di kedai kopi menempatkan jenis pekerjaan-pekerjaan di dalamnya rentan eksploitasi. Meskipun negosiasi kerja biasanya dilakukan saat wawancara, namun keragaman kemampuan finansial dan manajerial tiap kedai kopi juga menentukan keragaman ambiguitas tugas pokok, proteksi kerja, maupun sikap antar individu.
Di Eropa, citra awal kedai kopi pada abad 19 sampai awal abad 20 identik dengan intelektualisme dan aktivisme gerakan. Citra ini juga mungkin masih sedikit banyak ditemukan di beberapa kedai kopi di kota-kota besar di Indonesia, terutama Yogyakarta. Namun, sejak globalisasi menghempas dan populasi kelas menengah muda membludak, citra itu harus berbagi dengan fungsi-fungsi lain yang boleh jadi berseberangan dengan semangat pencerahan.
Pengaruh kultural, khususnya di ranah persepsi dan selera seksual, ikut terbawa pada relasi-relasi di dalam kedai kopi. Ketika antara atasan dan pegawai terbingkai dalam kontrak formal, namun secara sosiologis terhubung dalam satu garis konstruksi sosial kelompok usia yang sama, maka aturan-aturan ataupun perlindungan kerja yang disepakati bisa diretas melalui pendekatan-pendekatan kasual tanpa konsen yang tak terjangkau oleh perlindungan kerja. Hal ini mungkin lebih rawan ketika terjadi pada kedai kopi dengan perlindungan pekerja yang belum memadai ataupun yang belum mengacu secara ketat pada aturan kementerian.
Terlebih, saat keterbukaan peluang pasar memberikan kesempatan bagi siapapun untuk ikut dalam persaingan bisnis kedai kopi, maka hal ini tidak selalu menjamin kedai kopi sebagai tempat yang selalu bernafas intelektualisme ataupun aktivisme gerakan. Alih-alih demikian, kedai kopi kadang tanpa disadari beroperasi berdasarkan pembagian kerja berbasis gender yang ketat, yang justru secara tidak langsung berkontribusi memapankan konstruksi gender yang regresif.
Tempat kerja seharusnya bebas dari perilaku peyoratif maupun dari kekerasan seksual. Intervensi tegas untuk melindungi pekerja di kedai kopi agak sulit untuk diterapkan mengingat kentalnya sifat kasual di dalamnya. Tetapi ini bukan berarti tanpa harapan. Pendekatan ini dapat dilakukan misalnya dengan membuka kanal persuasi ataupun edukasi baik itu melalui kerjasama dengan kalangan komunitas kopi, paguyuban pemilik kedai, ataupun materi briefing saat seseorang baru direkrut menjadi pekerja.
*Tulisan ini diolah dari hasil asistensi lapangan penulis pada penelitian milik Ultha Jayanti tentang kondisi stress kerja di kalangan pekerja kedai kopi melalui lensa fenomenologi. Fakultas Psikologi, Universitas Mercu Buana Yogyakarta, tahun 2021. Nama-nama dalam tulisan ini telah disamarkan.