Ringkasan Eksekutif
Hasil penelitian Bakesbangpol Pemerintah Provinsi Jawa Barat menyebutkan, modal dan potensi Jawa Barat membangun toleransi sangat besar. Ini kekuatan penting dalam merespons dan mengatasi tantangan intoleransi. Riset dan kajian sejumlah lembaga mengungkap tantangan dan tren kasus-kasus intoleransi di provinsi tersebut. Setara Institut, Komnas Perempuan, dan Jaringan Advokasi Jawa Barat memasukkan Jawa Barat sebagai provinsi dengan tingginya kasus-kasus intoleransi. Ini ditandai dengan banyaknya konflik berbasis agama dan kebijakan diskriminatif.
Banyaknya pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan serta kebijakan diskriminatif di wilayah ini turut menyuburkan gerakan radikalis terorisme di provinsi tersebut. Padahal, dengan jumlah 20% dari total populasi penduduk Indonesia, situasi Jawa Barat sangat berpengaruh terhadap kondisi intoleransi dan radikalisme di tingkat nasional (BNPT, 2021).
Dalam berbagai kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, berkembangnya kebijakan diskriminatif dan menguatnya gerakan radikal terorisme, perempuan dan anak menjadi kelompok paling terdampak. Selain menjadi korban, sebagian perempuan muncul sebagai pelaku dalam aktivitas terorisme. Berdasarkan data BNPT, keterlibatan perempuan meningkat selama 10 tahun terakhir (BNPT, 2022). Secara terperinci, data BNPT tahun 2020 mengungkap, pejuang teroris asing (foreign terrorist fighter, FTF) asal Indonesia mencapai 301 perempuan, 240 laki-laki, 546 anak-anak, dan 158 orang lainnya yang belum teridentifikasi (Habibie Centre, 2019, hal. 5). Kajian INFID yang merujuk data BNPT mencatat, warga negara Indonesia yang bergabung dengan ISIS pada 2014-2020 mencapai 1.979 orang. Sebanyak 1.459 orang (74%) dari jumlah tersebut terdiri perempuan dan anak. Warga yang terdata sebagai deportan yang kembali ke Indonesia mencapai 609 orang dan 172 orang returni dan 60% nya adalah perempuan dan anak (Rosada, 2020). Berdasarkan data BNPT jumlah deportan dan returni dari Jawa Barat berjumlah 66 orang.
Saat ini upaya deradikalisasi dan reintegrasi sosial pada deportan dan returni perempuan dan anak terus dilakukan pemerintah dan para pemangku kepentingan di Jawa Barat. Usaha ini memiliki nilai penting karena dua hal. Pertama, komposisi perempuan dan anak mayoritas dari jumlah total deportan dan returni. Kedua, perempuan dan anak memiliki kebutuhan dan kerentanan spesifik (AB, 2022). Dalam pelaksanaannya, aktor-aktor yang terlibat dalam deradikalisasi dan reintegrasi sosial pada deportan dan returni erempuan dan anak mengalami empat hambatan krusial berikut.
Pertama, belum adanya kebijakan khusus tentang deradikalisasi dan reintegrasi sosial bagi deportan dan perempuan dan anak. Kedua, minimnya pengetahuan dan pengalaman pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, serta organisasi masyarakat sipil terkait dengan deportan dan returni. Ketiga, pendekatan deradikalisasi dan reintegrasi sosial terhadap deportan dan returni perempuan dan anak belum melibatkan keluarga dan masyarakat. Keempat, pendekatan program deradikalisasi dan reintegrasi bagi deportan dan returni perempuan dan anak masih minim menggunakan perspektif gender dan hak anak.
Kebijakan di Provinsi Jawa Barat tentang deradikalisasi dan reintegrasi sosial bagi deportan dan returni perempuan dan anak ditemukan dalam kebijakan terkait perlindungan anak, perlindungan pekerja migran, pencegahan dan penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme. Tiga kebijakan yang secara eksplisit tentang deradikalisasi dan reintegrasi bagi deportan dan returni perempuan dan anak adalah Pergub Jabar Nomor 40 Tahun 2022; Perda Nomor 3 tahun 2021 dan Pergub Jabar Nomor 13 Tahun 2022 tentang penyelenggaraan perlindungan anak, dengan mengkategorikan anak di dalam Perlindungan Khusus dan anak dalam situasi darurat. Sedangkan bagi deportan dan returni yang merupakan pekerja migran bisa mengacu Perda Nomor 2 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia Asal Daerah Provinsi Jawa Barat.
Berbagai kebijakan di atas memandatkan pimpinan daerah mendorong legislatif dan eksekutif mengutamakan pemenuhan hak-hak anak dalam situasi darurat dan penyusunan regulasi, pedoman, standar pelayanan serta petunjuk tentang perlindungan anak. Gubernur juga memiliki peran memantau dan mengawasi pelaksanaan regulasi. Dalam Pergub Nomor 45 Tahun 2019, tugas pokok dan fungsi (tupoksi) gubernur memberikan arahan, pembinaan serta bimbingan kepada Perangkat Daerah dalam pelaksanaan PUG dan menerbitkan kebijakan dalam upaya meningkatkan pelaksanaan Pengarusutamaan Gender. Namun peran-peran yang dimandatkan dalam Perda dan Pergub di atas belum maksimal terutama terkait dengan deradikalisasi dan reintegrasi sosial bagi deportan dan returni.
Dari berbagai hambatan dan peluang kebijakan ada beberapa opsi yang diusulkan, yaitu:
-
Opsi 1: menyusun kebijakan tentang Prosedur Operasi Standar (Standard Operating Procedure, SOP) yang mengatur pembagian peran, mekanisme koordinasi antar pihak dalam pelaksanaan deradikalisasi dan reintegrasi sosial bagi deportan dan returni perempuan dan anak.
-
Opsi 2: memastikan implementasi Pergub Jawa Barat Nomor 40 Tahun 2022 Tentang Rencana Aksi Daerah Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah Pada Terorisme (RAD PE) Tahun 2022-2024.
-
Opsi 3: Gubernur Jawa Barat mengeluarkan Surat Edaran untuk menghimbau perangkat daerah di lingkungan pemerintah provinsi Jawa Barat dan kabupaten/kota memasukkan program deradikalisasi dan reintegrasi sosial bagi deportan dan returni perempuan dan anak ke dalam program urusan perlindungan perempuan dan anak, serta urusan sosial, pendidikan, kesehatan, tenaga kerja dan keamanan.
Opsi yang bisa dipilih untuk mengatasi hambatan dan tantangan yang sudah disampaikan adalah opsi 3, yaitu Gubernur Jawa Barat mengeluarkan Surat Edaran untuk menghimbau perangkat daerah di lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan kabupaten/kota untuk memasukkan program deradikalisasi dan reintegrasi sosial bagi deportan dan returni perempuan dan anak ke dalam program urusan perlindungan perempuan dan anak serta urusan sosial, pendidikan, kesehatan, tenaga kerja dan keamanan. Pertimbangannya, sebagai berikut:
-
Surat Edaran Gubernur bersifat mengikat internal ke perangkat daerah di Jawa Barat dan kabupaten/kota, sementara Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dan pemerintah kabupaten/kota menjadi pemangku kepentingan (stakeholder) kunci dalam melaksanakan program deradikalisasi dan reintegrasi sosial bagi deportan dan returni perempuan dan anak. Sehingga pilihan kebijakan ini adalah yang paling tepat.
-
Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan nasional memiliki banyak regulasi terkait dengan pengarusutamaan gender, perlindungan perempuan serta perlindungan anak dalam situasi khusus dan darurat sehingga yang diperlukan adalah melakukan pengawasan dan pembinaan, salah satunya melalui regulasi yang mendorong program deradikalisasi dan reintegrasi sosial deportan dan returni perempuan dan anak masuk ke dalam program OPD yang membidangi urusan pemberdayaan dan perlindungan perempuan, urusan sosial, urusan pendidikan, urusan kesehatan, tenaga kerja dan bidang lainnya.
-
Penyusunan Surat Edaran Gubernur tidak membutuhkan jangka waktu lama dan tidak melibatkan banyak pihak sehingga dari sisi pembiayaan akan lebih efisien. Jenis kebijakan ini akan bermanfaat besar karena memberi tekanan kepada OPD di lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan pemerintah kabupaten/kota untuk memasukkan program dan anggaran untuk deradikalisasi dan reintegrasi bagi deportan dan returni perempuan dan anak.
-
Tersosialisasikannya terminologi deportan dan returni pada perangkat daerah sehingga meningkatkan pemahaman OPD dan kabupaten/kota termasuk menyinergikan persoalan dan program perlindungan perempuan dan anak dengan pencegahan dan penanganan radikalisme dan terorisme.
-
Surat Edaran Gubernur ini bagian dari implementasi Pergub dan Perda terkait penyelenggaraan perlindungan anak dalam situasi khusus dan darurat, perlindungan pekerja migran, serta pengarusutamaan gender di OPD Jawa Barat.