Kertas Kebijakan: Urgensi Surat Edaran Gubernur Provinsi Jawa Timur Tentang Deradikalisasi dan Reintegrasi Sosial Orang atau Kelompok Orang Terpapar Paham Radikal Terorisme Termasuk Deportan


  • Friday, 07 April 2023 09:00
  • Kertas Kerja
  • 0 Berkas di unduh
  • 193x dibaca.

Ringkasan Eksekutif

BNPT menyebut Jawa Timur salah satu provinsi yang menjadi zona merah tindakan terorisme (Kompas, 2016). Pengkategorian tersebut didasarkan pada pertimbangan banyaknya pejuang teroris asing (foreign terrorist fighter, disingkat FTF) dan jumlah korban tindak pidana terorisme yang berasal dari Jawa Timur. Kembalinya orang atau kelompok orang terpapar paham radikal terorisme ini sangat berisiko bagi Jawa Timur. Aksi bom pada 2018 di Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela Ngagel Madya, Gereja Pantekosta Pusat Surabaya Jemaat Sawahan serta Gereja Kristen Indonesia Diponegoro, Rusunawa Wonocolo Sidoarjo, Polrestabes Surabaya, membuka kesadaran kita bahwa Jawa Timur juga berisiko menjadi lokus tindakan teror ekstremisme berbasis kekerasan. Penangkapan puluhan terduga teroris di beberapa wilayah di Jawa Timur, penyerangan anggota Polsek Wonokromo Surabaya (2019), dan beberapa teror di luar Jawa Timur, yang pelakunya warga Jawa Timur, menjadi penegasan bahwa provinsi ini perlu segera melakukan deradikalisasi dan reintegrasi sosial yang kolaboratif, komprehensif, dan melibatkan semua unsur di masyarakat.

Deradikalisasi terhadap orang atau kelompok orang terpapar paham radikal terorisme termasuk deportan dan returni perempuan dan anak yang dilakukan pemerintah pusat selama ini masih memiliki keterbatasan, seperti singkatnya waktu deradikalisasi yang tidak bisa menjamin efektivitas upaya tersebut. Dalam pendampingan, pemerintah daerah belum memiliki sistem yang menjamin keberlanjutan pemenuhan hak dasar para deportan dan returni setelah mereka kembali ke masyarakat. Stigmatisasi dan pengucilan tidak hanya dialami oleh orang dewasa namun juga anak-anak mereka di sekolah. Tantangan tersebut dikhawatirkan berdampak pada semakin menguatnya kebencian dan ideologi ekstremisme berbasis kekerasan yang mereka percayai.

Deradikalisasi paham ekstremisme berbasis kekerasan terhadap deportan dan returni perempuan dan anak perlu memperhatikan proses radikalisasi dan pengalaman hidup mereka selama di lingkungan organisasi ekstremisme berbasis kekerasan. Keterlibatan perempuan dalam tindakan terorisme tidak dapat dilihat secara sederhana dalam pengkategorian sebagai korban atau pelaku. Perempuan secara aktif terlibat dalam pengumpulan dana, menyembunyikan buronan teroris, membantu membuat persiapan penyerangan, menjadi kombatan di garis depan, dan pelaku bom diri (martir) baik sebagai pelaku sendirian (lone wolf), pengantin kelompok teroris, dan produsen paham ekstremisme berbasis kekerasan bagi anak-anak mereka. Sementara itu, anak-anak yang pernah hidup di daerah konflik secara otomatis terpapar cerita-cerita kekerasan, menyaksikan peristiwa kekerasan, bahkan menjadi korban kekerasan. Anak laki-laki dipersiapkan untuk menjadi pelaku aksi kekerasan dengan dilatih untuk menggunakan senjata dan bahan peledak serta berisiko mengalami kekerasan seksual sesama jenis. Sementara itu, anak perempuan mengalami trauma karena menyaksikan kekerasan, mengalami pernikahan anak, pernikahan paksa, dan menjadi korban kekerasan seksual.

Dalam banyak kasus, hak anak sering dilanggar dengan tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan saat orang tua memutuskan untuk pindah ke area konflik atau memilih sekolah dan paham yang ingin mereka pelajari (INFID, 2022b).

Jawa Timur bersiap menjalankan deradikalisasi dan reintegrasi sosial orang atau kelompok orang terpapar paham radikal terorisme, termasuk deportan dan returni perempuan dan anak. Melalui program HARMONI, INFID dan Fatayat NU Jawa Timur memfasilitasi proses koordinasi multipihak yang melibatkan Organisasi Perangkat Daerah (OPD), akademisi, organisasi masyarakat sipil (OMS) dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Langkah ini dilakukan bertujuan untuk menyusun rencana aksi sebagai upaya konkret melaksanakan deradikalisasi dan reintegrasi sosial pada orang atau kelompok orang terpapar paham radikal terorisme termasuk deportan dan returni perempuan dan anak. Melalui proses ini, risiko, kekuatan, tantangan, dan peluang masing- masing OPD dan OMS berhasil diidentifikasi. Sebuah kelompok kerja juga berhasil dibentuk melalui keputusan Gubernur Jawa Timur. Kelompok kerja ini akan merancang rencana aksi daerah terkait pencegahan dan penanggulangan ekstrimisme berbasis kekerasan di Jawa Timur.

Pokja mengusulkan kepada Gubernur Jawa Timur menerbitkan Surat Edaran. Usulan ini didasarkan atas tiga pertimbangan utama berikut. Pertama, landasan filosofis Negara Republik Indonesia sebagai negara yang berperikemanusiaan yang adil dan beradab dan berkeadilan sosial. Kedua, landasan yuridis Undang-Undang Dasar UUD 1945, tentang kewajiban negara untuk pemenuhan hak warga negara, serta Pasal 9 Ayat 2 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 tentang RAN PE yang menyebutkan bahwa Gubernur dan bupati/walikota berkewajiban menyampaikan perkembangan capaian pelaksanaan RAN PE secara periodik. Ketiga, landasan sosial, yaitu perkembangan situasi Jawa Timur terkait deradikalisasi dan reintegrasi sosial orang atau kelompok orang terpapar paham radikal terorisme termasuk deportan dan returni perempuan dan anak, serta iklim intoleransi dan radikalisme yang menghangat akhir-akhir ini, maka Surat Edaran Gubernur tersebut akan terdiri dari dua buah. SE pertama ditujukan kepada OPD provinsi untuk percepatan penyiapan dan pelaksanaan deradikalisasi dan reintegrasi sosial kepada orang atau kelompok orang terpapar paham radikal terorisme termasuk deportan dan returni perempuan dan anak. Sementara SE kedua ditujukan kepada pimpinan kabupaten/kota se-Jawa Timur untuk pelaksanaan deradikalisasi dan reintegrasi sosial orang atau kelompok orang terpapar, termasuk deportan dan returni perempuan dan anak.

SE Gubernur ini nantinya akan menjadi kebijakan yang lahir sebagai tindak lanjut Keputusan Gubernur (Kepgub) Jawa Timur Nomor 188/451/KPTS/013/2022 tentang Kelompok Kerja Pencegahan dan Penanggulangan Ekstrimisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Provinsi Jawa Timur Periode Tahun 2022-2024. Selain itu, regulasi itu sekaligus tindak lanjut Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri Nomor: 339/5267/SJ tanggal 29 September 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Ekstrimisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme.

Saat ini, Jawa Timur masih menyusun Rencana Aksi Daerah (RAD) dan belum memiliki Peraturan Gubernur sebagai landasan kebijakan yang mengaturnya. Terbitnya SE sangat diperlukan sebagai langkah strategis dengan mempertimbangkan efisiensi waktu, kebutuhan Provinsi Jawa Timur, dan kabupaten/kota yang ada di wilayahnya. Perkembangan ini dengan Provinsi Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Sulawesi Tengah. Ketiga pemerintah daerah tersebut sudah menerbitkan Peraturan Gubernur terkait Pencegahan dan Penanggulangan Ekstrimisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme.