Pentingnya Penerapan Bisnis yang Inklusif dan Bertanggungjawab di Indonesia dalam Konteks ASEAN 2023


  • Wednesday, 03 May 2023 11:00
  • Artikel , Kegiatan
  • 0 Berkas di unduh
  • 485x dibaca.

Oleh: Naztia Haryanti

Pada tanggal 31 Maret 2023, International NGO Forum of Indonesian Development (INFID) menyelenggarakan kegiatan diskusi masyarakat sipil bertajuk “Diskusi Kelompok Terarah Dalam Konteks Bisnis yang Inklusif dan Bertanggungjawab di Indonesia dalam konteks ASEAN 2023”. Kegiatan ini dilaksanakan di Hotel Ashley Wahid Hasyim, Jakarta Pusat.

Tahun lalu Indonesia berhasil menjadi presidensi C20. Di tahun 2023 ini, Indonesia menjadi Keketuaan ASEAN atau ASEAN Chairmanship 2023. Maka dari itu, INFID ingin mendorong momentum ini dapat berkaitan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan kewajiban bisnis.

Pada tanggal 14 Maret 2023 lalu, telah dilakukan diskusi dalam mendorong Promosi dan Implementasi ASEAN Inclusive Business Framework (AIBF) di Indonesia. Kegiatan tersebut dihadiri oleh 20 lembaga, termasuk kementerian/lembaga, masyarakat sipil, dan pihak swasta. Terdapat dua poin dari hasil diskusi tersebut diantaranya, isu strategis dan pendekatan strategis.

Eri Trinurini dari Asian Solidarity Economy Council (ASEC), mengatakan jika permasalahan ASEAN pada umumnya adalah ketimpangan ekonomi. Dalam 20 tahun terakhir, di Indonesia ketimpangan antara kelompok terkaya dan kelompok yang lain mengalami peningkatan yang lebih cepat dibanding dengan negara-negara lainnya di Asia Tenggara (Oxfam, 2017).

Selain masalah ketimpangan, terdapat masalah kedua di ASEAN yaitu dominasi sektor informal dalam pembangunan ekonomi. Menurut data Kementerian Koperasi dan UKM, sektor informal memiliki angka persentase sebesar 99,8%, dimana angka tersebut sudah termasuk dengan sektor mikro.

Menurut Asian Development Bank (ADB) dengan studi di Asia-Pasifik, inclusive business adalah menciptakan kesempatan bekerja dan jasa yang dapat dijangkau oleh masyarakat dengan pendapatan rendah, daripada memfokuskan pada pembangunan infrastruktur publik atas investasi dengan efek menetes dari atas.

ADB menyatakan bahwa memang tidak mudah untuk transisi ke bisnis inklusif. Di Indonesia sendiri bentuk pemikiran tentang inklusif bisnis memang sudah ada, tetapi tidak dideklarasikan. Maka dari itu, untuk mencapainya terdapat tiga tahap. Hal pertama yaitu, mencanangkan bisnis inklusif. Lalu menjadi anak kegiatan bisnis inklusif. Terakhir, membuat usaha sosial. Itu semua adalah pendekatan yang bisa dilakukan semua perusahaan, menurut ADB. Menurut Oxfam, ada beberapa struktur model bisnis dengan bentuk piramida. Bagian paling bawah piramida itu fundamental responsibilities. Ini merupakan suatu bisnis yang sangat diperlukan, dibutuhkan oleh masyarakat. Di dalamnya terdapat hak-hak yang harus didapatkan oleh masyarakat, seperti hak untuk mendapatkan pekerjaan, hak untuk mendapatkan pendidikan, hak terhadap kebutuhan dasar, hak untuk perlindungan sosial, dan lain-lain.

Naik ke tingkat selanjutnya, social responsibilities yang merupakan suatu bisnis yang tidak hanya memberikan kewajiban, tetapi lebih dari itu terdapat pemberdayaan. Tingkatan berikutnya yaitu enlightened responsibilities, suatu model bisnis yang membagi tata nilai dan bersifat inklusif. Tingkatan terakhir adalah hybrid responsibilities, yaitu usaha memadukan semua model bisnis.

Menurut Oxfam, ada tiga karakteristik yang memadukan antara bisnis inklusif dengan usaha sosial. Pertama dari sisi profit, pembagian keuntungan dilakukan di antara pemangku kepentingan. Sangat berbeda dengan bisnis pada umumnya, dimana pembagian keuntungan bukan kepada pemangku kepentingan, tetapi kepada pemilik modal. Dalam bisnis inklusif, pembagian keuntungan diberikan kepada pemangku kepentingan.

Kedua dari sisi kekuatan, adanya dialog antara pemangku kepentingan dan keterlibatan dalam pengambilan keputusan. Berbeda dengan bisnis pada umumnya, dimana pengambilan keputusan berdasarkan siapa yang paling besar menanam investasi. Lalu yang ketiga dari sisi tujuan hybrid model, yaitu mencapai tujuan sosial melalui cara kewiraswastaan. Artinya tujuan sosial menjadi hal yang utama dibandingkan tujuan perusahaan.

Lalu apa tuntutan masyarakat sipil dalam kaitannya dengan tema ASEAN tahun ini? Pertama, memastikan ASEAN mendeklarasikan tentang perlindungan sosial bagi seluruh masyarakat. Perlindungan sosial itu merupakan hak yang harus dipenuhi. Menjadi kewajiban pemerintah untuk memenuhi perlindungan sosial, karena pekerja informal tidak bisa menjangkau dari bekerja ekonomi dan tidak akan dapat dipenuhi oleh Non-Govermental Organization (NGO).

Kedua, menyepakati kerangka kebijaksanaan dan prinsip dasar usaha sosial. Prinsip dasar bisnis inklusif harus disepakati di tingkat ASEAN, agar memiliki pemahaman yang sama di setiap sektor, baik dari pihak swasta, pemerintah, dan masyarakat sipil. Ketiga, adanya kesempatan yang sama pada ketiga sektor dalam pembangunan. Lalu yang terakhir, membangun ekosistem yang mendukung bertumbuh kembangnya bisnis inklusif.

Menurut penuturan Luhur Pradjarto selaku Staf Ahli Menteri Bidang Hubungan Antar Lembaga Kementerian Koperasi dan UKM, terdapat kesamaan antara bisnis inklusif yang dilakukan oleh Oxfam dengan teman-teman di ASEAN, yaitu dari segi kebutuhan dasar. Model bisnis yang dapat menghasilkan barang dan jasa yang berperan sebagai mata pencaharian yang layak dan komersial dalam skala usaha tertentu bagi masyarakat yang hidup di dalam piramida dasar ekonomi dan menjadikannya sebagai rantai bisnis perusahaan.

Jagat Patria dari Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) menambahkan pandangannya tentang bisnis inklusif jika dilihat dari segi pangan. Dalam dimensi petani atau produsen yang sangat mengandalkan alam untuk proses kerja dan keseluruhannya, sepertinya proses bisnis inklusif masih terlalu jauh.

Sebelum menciptakan bisnis inklusif, ada baiknya untuk menciptakan sistem ekonomi inklusif. Sebagai warga negara, kita perlu mendorong negara untuk menyiapkan fasilitas umum, seperti kesehatan atau hal mendasar untuk kepentingan umum.

Walin Hartati dari Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) ikut menambahkan pandangannya. Mayoritas teman-teman yang berpendidikan rendah, perekonomian lemah, serta penyandang disabilitas bekerja di sektor informal. Mereka dibekali pelatihan kewirausahaan untuk memperkaya keterampilannya sehingga dapat menjual produk buatannya sendiri secara daring.

Unang Mulkhan, Senior BHR Specialist dari FIHRSST mengatakan, jika paparan sebelumnya sudah sangat baik, tetapi jangan lupa tentang fakta bahwa ASEAN adalah negara anggota, yang tentunya sistem ekonomi keanggotaanya juga berbeda-beda. Indonesia sebagai ketua ASEAN, sudah banyak melakukan kerja bagus dalam panggung tertentu untuk menghormati HAM oleh perusahaan, misalnya dengan kehadiran PRISMA.

Bisnis inklusif ini juga perlu didasarkan pada UNGPs on BHR (United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights). UNGPs diadopsi oleh berbagai negara menjadi prinsip-prinsip dasar Bisnis dan HAM karena disana terdapat aspek-aspek tentang Universal of Declaration on Human Rights. Kemudian, spesifik pada bentuk penghormatan perusahaan untuk hak asasi manusia.

Salah satu dasar dikembangkannya bisnis yang inklusif di ASEAN adalah adanya pelibatan aktif yang dilakukan Indonesia untuk menyatukan kepentingan pemerintah, bisnis, dan masyarakat, utamanya masyarakat berpenghasilan rendah (Wahyu, 2023).

Dijelaskan oleh Hajerati, Direktur Kerja Sama Direktorat Jenderal HAM Kementerian Hukum dan HAM, jika saat ini pemerintah sudah memiliki Strategi Nasional Business and Human Rights. Selain itu, pengembangan aplikasi PRISMA, Penilaian Risiko Bisnis dan HAM juga terus dilakukan. Aplikasi ini nantinya dapat digunakan dengan 13 indikator. Indikator tersebut terkait hak asasi manusia.

Prabianto, Komisioner Mediasi Komnas HAM menjelaskan, jika dalam periode Komnas HAM saat ini, isu bisnis dan HAM, termasuk Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), buruh migran, disabilitas itu menjadi prioritas mereka. Dalam lima tahun kedepan, Komnas HAM akan kawal dan kembangkan negara memenuhi, perusahaan menghormati hak-hak masyarakat.

Jika melihat laporan Komnas HAM RI tahun 2022, pengaduan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh sektor bisnis memiliki angka yang tinggi. Begitupun dengan laporan indeks HAM yang dilakukan oleh SETARA Institute dan INFID tahun 2022 menunjukkan masih banyaknya kasus agraria yang terjadi dan rendahnya implementasi hak atas tanah di Indonesia.

Rosyana Dewi dari Biro Hukum dan Kerja Sama Kementerian Koperasi dan UKM mengatakan jika pihaknya ikut andil dalam Guideline for the Promotion of Inclusive Business. Terdapat 12 kebijakan terkait IB (Inclusive Business) di dalamnya antara lain, strategi dan penciptaan iklim yang mendukung IB, kelembagaan dalam IB, akreditasi dan pendaftaran IB, upaya peningkatan kesadaran IB, pembinaan IB bagi perusahaan, insentif bagi investasi IB, pengalaman risiko investasi yang berdampak, promosi IB dalam pengadaan pemerintah, target IB dalam sektor swasta dan program pembangunan lainnya, relevansi IB dalam perusahaan sosial dan tanggung jawab sosial perusahaan, serta penciptaan sinergi hasil IB.

Dita Nur Hidayah dari Indonesia Global Compact Network (IGCN) menjelaskan jika perlu adanya kolaborasi dari Pemerintah, bisnis, NGO, masyarakat sipil, dan lainnya. Tidak lupa juga untuk melibatkan media, karena peranannya sangat penting bukan hanya menyebarkan kasus pelanggaran HAM oleh bisnis, tetapi juga memberikan pendampingan bagi para pihak-pihak yang terdampak. Media menjadi pemangku kepentingan yang sering dilupakan padahal tugasnya sangat besar.