16HAKTP: Melawan Kekerasan terhadap Perempuan Sebagai Upaya Penguatan Ruang Sipil

16HAKTP: Melawan Kekerasan terhadap Perempuan Sebagai Upaya Penguatan Ruang Sipil

(Jakarta, 25/11) – Penyempitan civic space (ruang kebebasan warga) bagi Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) di Indonesia telah mencapai tahap kritis dan sistematis. Hal ini menjadi temuan utama International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) pada laporan Country Focus Report (CFR) Indonesia 2025. 

INFID melakukan diseminasi laporan CFR melalui dialog publik bertajuk “16HAKTP: Melawan Kekerasan terhadap Perempuan Sebagai Upaya Penguatan Ruang Sipil” di Rumah Wijaya, Jakarta, pada 25 November 2025. Acara ini melibatkan lebih dari 80 peserta yang berasal dari OMS, kelompok perempuan, orang muda, jurnalis, akademisi, aktivis lintas sektor, disablitas, dan pekerja urban. Kegiatan ini secara khusus membawa pesan untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan, di tengah momentum 16 hari tanpa kekerasan terhadap perempuan (16HAKTP) pada 25 November-10 Desember.

Dalam satu dekade terakhir, tren kemunduran demokrasi semakin nyata. Hal tersebut ditandai dengan represi atas ruang kebebasan berekspresi berpendapat, korupsi yang tidak selesai, politik dinasti, dan tindakan koersif terhadap unjuk rasa dan protes publik.. Tidak hanya itu, terdapat pula regulasi restriktif seperti Perppu Ormas No. 2 Tahun 2017 yang memungkinkan pembubaran organisasi masyarakat sipil (OMS) tanpa proses hukum memadai, penyalahgunaan UU ITE, serangan digital berupa doxxing, peretasan situs web OMS, dan disinformasi oleh buzzer politik telah melemahkan kebebasan berserikat, berekspresi, dan berkumpul. Organisasi masyarakat sipil, jurnalis, serta aktivis—khususnya perempuan dan orang muda—semakin sering menghadapi intimidasi, penyalahgunaan proses hukum, kekerasan fisik saat demonstrasi, hingga kriminalisasi ekspresi di ruang digital.

Lebih jauh, penyempitan ruang sipil ini tidak lagi hanya menyasar aktivis atau OMS, melainkan telah mengancam masyarakat umum. Salah satu contohnya adalah kasus Figha Lesmana, yang ditangkap karena mengunggah kekecewaan atas kekerasan aparat yang terjadi pada akhir Agustus 2025. Dari contoh kasus tersebut, masyarakat umum pun merasakan chilling effect yang sama: takut bersuara, takut menayangkan kritik di media sosial, bahkan takut bergabung dalam aksi protes karena ancaman kriminalisasi. 

Country Focus Report (CFR) Indonesia 2025 – hasil riset dan penilaian mendalam INFID sepanjang 2025 – menganalisis kondisi ruang sipil melalui enam prinsip utama: kebebasan fundamental, kerangka hukum yang mendukung (skor 2,7), akses sumber daya yang berkelanjutan (skor 2,25), negara yang terbuka dan responsif (skor 2,4), budaya publik yang positif (skor 2,3), serta lingkungan digital yang aman (skor 2). Laporan ini menemukan bahwa perempuan pembela HAM, jurnalis perempuan, aktivis muda, dan warganet perempuan menjadi salah satu sasaran utama doxxing, ancaman kekerasan seksual daring, intimidasi fisik saat aksi protes, serta penangkapan sewenang-wenang atas ekspresi politik di media sosial. Temuan utama lainnya menunjukkan bahwa kekerasan dan penyempitan ruang sipil terhadap perempuan sering kali diperburuk oleh ketidaksetaraan struktural, kurangnya ruang partisipasi sipil, dan kelemahan penegakan hukum. 

Diseminasi CFR 2025, menegaskan bahwa penyempitan ruang sipil telah melampaui ranah publik dan masuk secara sistematis ke ranah privat. Hal tersebut malah menciptakan mekanisme represi ganda yang menjadikan perempuan sebagai korban paling rentan. Di ranah privat, represi ini memperkuat budaya “diam saja”; korban kekerasan seksual yang berani speak up sering kali justru dikriminalisasi balik dengan pasal pencemaran nama baik atau fitnah. Pendamping korban—pengacara perempuan, konselor, aktivis pembela hak perempuan—juga menghadapi ancaman pidana serupa, teror psikologis, dan kekerasan fisik, yang pada akhirnya mengisolasi korban sepenuhnya karena tidak ada lagi ruang aman untuk melapor tanpa rasa takut.

Di ranah publik, aktivis perempuan yang mendampingi kasus kekerasan terhadap perempuan langsung berhadapan dengan represi berlapis: jeratan UU ITE untuk membungkam kritik dan pendampingan, teror terkoordinasi berupa ancaman pembunuhan, doxing, serta pelecehan daring, hingga penangkapan sewenang-wenang dengan dalih ketertiban umum. Represi ini menghasilkan chilling effect yang sangat kuat, sehingga sorotan terhadap kekerasan terhadap perempuan meredup dan pelaku, terutama yang memiliki kekuasaan, memperoleh impunitas.

Penyempitan ruang sipil juga tercermin dalam tekanan struktural yang disengaja: RUU Pekerja Rumah Tangga tak kunjung disahkan, implementasi UU TPKS masih tertatih-tatih, akses keadilan bagi perempuan disabilitas terhambat birokrasi dan stigma, sementara kerja perawatan (care work) yang mayoritas dilakukan perempuan tetap tidak diakui dan tidak dilindungi. Ketika suara gerakan perempuan dibungkam melalui kriminalisasi, kebijakan perlindungan pun sengaja dimangkrakkan, memperparah situasi di mana perempuan tidak hanya kehilangan hak berpendapat di ruang publik, tetapi juga kehilangan hak atas tubuh, keselamatan, dan martabat di ruang privat.

Di tengah kondisi tersebut, pers sebagai watchdog demokrasi sedang dikepung melalui kriminalisasi, tekanan hukum, dan kepentingan korporasi, sehingga independensinya semakin rapuh. Justru dalam situasi ini, suara jurnalis perempuan menjadi sangat krusial karena membawa perspektif gender yang utuh, mengungkap kekerasan berbasis gender, korupsi kebijakan yang berdampak spesifik pada perempuan, hak buruh perempuan, kesehatan reproduksi, serta isu minoritas gender dan seksual. Tanpa keberanian mereka, isu-isu vital ini akan terkubur, meninggalkan korban tanpa pembelaan yang layak.

INFID bersama seluruh peserta Diseminasi CFR 2025 menyerukan kepada pemerintah dan penegak hukum untuk segera menghentikan praktik kriminalisasi ekspresi damai, merevisi regulasi yang membatasi kebebasan berserikat dan berekspresi, serta membangun lingkungan sipil yang aman dan inklusif bagi semua warga negara. 

Narahubung:

Intan Kusumaning Tiyas, MEAL and Design Lead (She/her), [email protected]

Tentang INFID:

International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) merupakan organisasi non-pemerintah berbasis anggota sejak tahun 1985. Sebagai forum organisasi masyarakat sipil di Indonesia, INFID mendorong pembangunan berkeadilan yang diwujudkan melalui demokrasi, kesetaraan, keadilan sosial, perdamaian, serta terjamin dan terpenuhinya Hak Asasi Manusia di tingkat nasional dan global. INFID mewujudkan visi tersebut melalui serangkaian kegiatan yang akuntabel, berbasis bukti, dialogis bersama anggotanya, serta mengedepankan solidaritas dan kesetaraan. INFID memiliki 80 anggota di seluruh Indonesia dan Special Consultative Status untuk UN ECOSOC.

Media Sosial:

Instagram : infid_id
Twitter : infid_id
Facebook : infid
Youtube : INFID TV
Linkedin International NGO Forum on Indonesian Development (INFID)
Website www.infid.org