
Fair for All untuk Petani Penderes
Oleh: Rakryan WD Ulhaq, Peneliti Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM
Siapa yang tidak mengetahui kecap manis? Sepertinya mustahil orang Indonesia tidak kenal bahan dapur ini. Apa saja bahan membuat kecap? Mungkin kedelai menjadi bahan paling dikenal. Namun terdapat komposisi penting yang menciptakan karakter khas kecap manis, bahan tersebut adalah gula kelapa. Berbeda dengan kebutuhan kedelai nasional yang disangga aktivitas impor, kebutuhan gula kelapa mayoritas dipasok oleh petani penderes. Selain untuk kecap, kegunaan gula kelapa yang tinggi dalam berbagai olahan menjadikan komoditas ini diekspor untuk industri makanan dunia.
Namun, apakah gula kelapa yang kita konsumsi berasal dari penderes yang sejahtera? Apakah mereka rentan eksploitasi sebagaimana ditemukan pada industri gula tebu, kelapa sawit, dan tekstil? Apakah hak asasi penderes terpenuhi dengan keterlibatan mereka dalam mata rantai ekonomi yang lebih besar? Sebelum jauh mengulik kisah para penderes, maka perlu kita menempatkan pemahaman tentang hak asasi manusia dan bisnis di atas meja diskusi.
Pada November 2023, telah disahkan Peraturan Presiden No. 60 tentang strategi nasional bisnis dan hak asasi manusia (Stranas BHAM). Stranas BHAM diciptakan salah satunya guna mendukung United Nations Guideline Principles on Business and Human Right (UNGP BHR). UNGP BHR ini dibentuk dengan keresahan yang sama ketika kita memandang para buruh industri tekstil brand fesyen terkemuka yang bekerja lembur dalam kondisi hamil dengan gaji tidak setimpal atau petani kopi yang terjerat hutang meskipun kopinya disajikan di cafe bintang lima mancanegara. Pada konteks Indonesia, penerapan HAM dalam bisnis menjadi sangat esensial dengan geliat industri yang sedang bermekaran. Oleh sebab itu HAM dan bisnis perlu diharmonisasikan agar Indonesia mampu menembus pasar global yang sangat memperhatikan tercapainya IRB (inclusive and responsible business). Serta jaminan bahwa produk bangsa kita dihasilkan dari petani yang tidak ditipu rentenir, tidak dieksploitasi tengkulak, dan tidak dipaksa bekerja pemilik lahan.
Fair for all menjadi konsep yang perlu diinternalisasikan dalam menciptakan bisnis yang selaras dengan IRB. Konsep fair for all berusaha memastikan pemenuhan hak bukan hanya aktor rantai pasok bisnis, namun juga kelompok yang tereksternalisasi oleh dampak bisnis itu sendiri. Sehingga kelompok yang terpinggirkan dipastikan keterpenuhan haknya, meskipun dia tidak secara langsung terlibat dalam aktivitas hulu hilir. Fair for all dapat menyempurnakan konsep fair trade yang lumrah digunakan selama lebih dari tiga dekade. Konsep ini secara persuasif dan progresif perlu diterapkan sehingga menjadi representasi ideal bagi para shareholder dan stakeholder. Cerita tentang fair for all dapat dilihat dari kisah penderes yang ada di Indonesia.
Penderes, angkatan udara dibayang-bayang jatuh tanpa parasut
Sebut saja Slamet, nama samaran seorang penderes di Jawa Tengah. Dia bercerita pengalamannya sebelum dan sesudah bergabung koperasi di desanya. Dahulu Slamet dan istrinya hanya mampu menghasilkan kurang dari sepuluh ribu per satu kilogram gula kelapa. Sedangkan dalam satu hari, suami istri ini hanya menghasilkan empat hingga delapan kilogram dari dua puluh lebih pohon kelapa yang dia sadap.
Hasil penjualan gula ke tengkulak digunakan Slamet untuk kebutuhan harian termasuk pendidikan anaknya. Apabila ada kebutuhan mendadak, Slamet mengandalkan pinjaman dari tengkulak. Akad cicilan berupa potongan harga gula yang disetor. Berhutang kepada tengkulak menjadi kebiasaan penderes bukan hanya untuk kebutuhan insidental namun juga modal usaha. Sedangkan penderes sulit mengakses skema kredit usaha rakyat karena ketidakjelasan penghasilan membuat bank tidak yakin cicilan terbayarkan.
Para penderes di desa sering mengumpamakan profesi mereka sebagai pekerja “angkatan udara”. Hal ini disebabkan penderes memanjat pohon kelapa dengan ketinggian belasan meter. Layaknya angkatan udara dengan risiko tinggi, penderes juga berisiko jatuh dari pohon. Ketika jatuh, meninggal menjadi musibah paling parah, sedangkan patah tulang dan cacat permanen menjadi konsekuensi yang lumrah dialami.
Pada musim hujan, para penderes lebih dari sekedar was-was, tapi pasrah. Hujan meningkatkan risiko kecelakaan kerja karena licin, sambaran petir, dan angin puting beliung yang dapat menghempas kapan saja. Kondisi tersebut menjadi keputusan dilematis untuk memanjat pohon. Di sisi lain, ketika hujan tidak kunjung reda dan mereka tidak memanjat maka penghasilan dua hari akan hilang karena tidak ada nira yang dipanen dan manggar yang disadap untuk dipanen besoknya.
Kerentanan ini menjadikan penderes terperangkap kehidupan tidak sejahtera. Slamet harus bekerja sampingan menjadi buruh tani dan serabutan. Di samping itu, ketika sakit ataupun jatuh, para penderes hanya bergantung bantuan tetangga dan keluarga. Apabila diperlukan tindakan operasi, mereka akan menjual aset kendaraan, ataupun tanah. Di sisi lain, para tengkulak cenderung tidak sanggup memberi pinjaman kepada penderes yang kemungkinan menjadi cacat dan tidak bisa lagi menghasilkan gula. Risiko profesi membuat jaring pengaman penghidupan absen dari penderes. Penderes seperti seorang angkatan udara yang terjun bebas tanpa parasut.
Namun resiliensi penderes menguat ketika bergabung dengan koperasi yang berfokus mengekspor gula kelapa. Koperasi ini dibangun dengan tujuan menciptakan keadilan bagi para penderes dan memberikan kebermanfaatan pada masyarakat. Slamet mendapatkan harga adil yang disepakati pengurus dan anggota koperasi. Selain itu, hak dan kewajiban sebagai anggota diatur secara jelas dan transparan.
Setiap tahun Slamet menerima laporan koperasi tentang kontribusinya menghasilkan gula kelapa, rata-rata perhari, dan penghasilan dari penjualan gula. Slamet juga mendapatkan bonus tahunan secara proporsional dari jumlah gula kelapa yang disetor selama setahun. Rata-rata penderes mendapatkan bonus dua juta dan bahkan ada penderes yang mendapatkan bonus lima belas juta rupiah.
Pada aspek keselamatan kerja, para penderes sudah terdaftar asuransi ketenagakerjaan. Biaya pengobatan dapat diklaim melalui jaminan kecelakaan kerja dan pendampingan dari pengurus koperasi selama masa pengobatan. Selain itu, penderes mendapatkan santunan bulanan selama dalam masa pemulihan. Di sisi yang sama, penderes sekarang dapat mengajukan KUR dari bank konvensional. Koperasi akan membantu penderes dengan surat rekomendasi dan catatan penghasilan sebagai jaminan dan bukti dapat mencicil tepat waktu.
Hadirnya koperasi memberikan dampak meningkatnya taraf hidup masyarakat di desa. Geliat ekonomi lokal menguat seiring dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat yang lebih merata, dibandingkan masa ketika koperasi belum dibentuk dan akumulasi keuntungan masih dikuasai elite lokal. Walaupun demikian, pengalaman Slamet masih belum banyak dialami para penderes di Indonesia. Fair for all sejatinya perlu diwujudkan bukan hanya oleh masyarakat, namun para pemangku kepentingan dan bisnis. Fair for all menjadi salah satu basis pijakan bagaimana Stranas BHAM diimplementasikan dan dibumikan dalam berbagai sektor bisnis di Indonesia, khususnya bisnis yang melibatkan masyarakat kecil sebagai produsen dalam rantai pasok operasinya.