Menjamin Rantai Nilai Perdagangan yang Adil bagi Petani Padi di Indonesia

Oleh: Wahyu Ridwan Nanta – KRKP

Belum kenyang kalau belum makan nasi”, demikian ungkapan sebagian besar orang Indonesia jika ditanya soal beras. Bagaimana tidak, komoditas satu ini telah menjadi bagian dari budaya masyarakat Indonesia baik bagi produsen maupun konsumen. Saat ini komoditas beras juga sedang menjadi perbincangan bagi masyarakat karena harganya yang meroket. Bagaimana tidak, pada tahun 2023 konsumsi beras mencapai 35,7 juta ton atau naik sebesar 1,1% dibandingkan tahun 2022. Hal ini membuktikan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia masih menggantungkan pangan terhadap komoditas ini. Tidak heran jika beras menjadi komoditas penyumbang inflasi. Kenaikan harga beras, akan berpengaruh besar bagi perekonomian keluarga menengah-kebawah.

Sebagai sub sektor penting, komoditas beras menjadi tumpuan hidup bagi banyak pihak. Rantai nilai beras tidak hanya melibatkan produsen dan konsumen, namun juga berbagai pedagang di berbagai jenjang. Akibatnya, rantai nilai komoditas beras menjadi lebih panjang dan tidak efisien. KRKP mencatat, terdapat setidaknya 3 tingkatan rantai sebelum beras sampai di tangan konsumen. Bahkan di daerah penghasil beras, situasinya dapat melebihi 6 rantai nilai. Rantai nilai yang panjang juga tidak saja menimbulkan ketimpangan nilai ekonomi, namun juga menimbulkan praktik usaha ekonomi yang saling melemahkan dan menekan. 

Di tengah rantai yang panjang, petani memiliki posisi sentral dalam tata niaga beras. Sebagai produsen, petani memiliki tugas yang paling besar dari mulai menyiapkan benih, menanam, merawat, hingga panen. Selain itu proses yang dilalui petani juga proses yang paling panjang. Setidaknya butuh 4 bulan agar bisa dipanen.

Saat ini, lebih dari 90% kebutuhan beras dalam negeri ditopang oleh petani skala kecil. Beberapa ciri petani padi di Indonesia adalah sebagai berikut: (1) rata-rata penguasaan lahan petani saat ini tergolong sempit yaitu sebesar 0,3 Ha/petani. (2) Sekitar 70% petani (termasuk buruh tani dan petani skala kecil) tergolong kepada masyarakat berpendapatan rendah. (3) 60% petani merupakan netto konsumen beras. (4) rata-rata pendapatan petani memberikan kontribusi 30% dari total pendapatan rumah tangga.

Melihat karakteristik yang demikian maka posisi petani kecil dalam rantai tata niaga beras sangat lemah. Posisi demikian menempatkan petani tidak memiliki daya tawar yang kuat. Menjadi wajar jika petani menjadi pihak yang paling sedikit menerima keuntungan dari tata niaga beras.

Posisi sentral petani dalam tata niaga beras tidak sebanding dengan risiko yang diterimanya. Dalam kasus penentuan harga beras, petani tidak memiliki posisi kuat. Mereka tidak juga menerima perlindungan harga dari negara saat panen raya tiba. Semua diserahkan pada mekanisme pasar yang berjalan. Akibatnya petani tidak memiliki kuasa dalam menentukan harga dan harus menerima keuntungan terendah. Sementara pangan yang diproduksi, sudah dinantikan oleh 281 juta jiwa masyarakat Indonesia.

Pada tahun 2018, impor beras telah menurunkan harga gabah petani saat panen raya, dan harga gabah kembali turun ketika rencana impor beras pada tahun 2021 meski impor belum terlaksana. Hal ini berdampak pada besarnya pendapatan bahkan kerugian bagi petani yang seringkali berujung pada penyusutan atau penjualan aset  petani . Anehnya, kerugian yang diderita petani dianggap wajar dalam mekanisme pasar terbuka sebagai “risiko normal dalam menjalankan usaha” sementara nyawa dan hak atas pangan dan gizi petani menjadi taruhannya. Lagi dan lagi petani skala kecil menjadi korban dari tidak adanya perlindungan perdagangan yang adil bagi petani.

Perpres No. 60 tentang strategi nasional bisnis dan hak asasi manusia (Stranas BHAM) salah satunya diciptakan guna mendukung United Nations Guideline Principles on Business and Human Right (UNGP BHR). Dalam konteks Indonesia, penerapan HAM dalam bisnis terutama bisnis sub sektor beras menjadi penting di tengah carut-marut tata niaga beras. HAM dan bisnis perlu diselaraskan untuk menciptakan perdagangan yang adil sebagai syarat tercapainya kedaulatan pangan. Perlindungan hak atas pangan, kesehatan, dan perekonomian petani skala kecil menjadi hal esensial yang harus diwujudkan.