Menyigi Pengaturan Uji Tuntas HAM bagi BUMN dan Perusahaan Swasta di Indonesia
Oleh: Nabhan Aiqani – Peneliti Bisnis dan HAM SETARA Institute
Berdasarkan analisis terhadap peraturan, regulasi dan kebijakan nasional, sampai saat ini belum ada legislasi nasional yang secara spesifik dan eksplisit memuat pengaturan tentang Uji Tuntas HAM. Ketiadaan pengaturan mengenai persyaratan wajib uji tuntas HAM, bukan berarti tidak adanya kanal ataupun wadah bagi upaya mitigasi dan memulihkan risiko HAM yang merugikan. Terdapat instrumen kebijakan yang promotif dan beririsan dengan penerapan Uji Tuntas HAM, seperti (1) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 2 Tahun 2017 tentang Sertifikasi HAM Perikanan, (2) Peraturan Presiden No. 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Sawit Berkelanjutan Indonesia, dan (3) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) No. 51/POJK.03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten dan Perusahaan Publik, yang menjadi dasar hukum mandatori Laporan Keberlanjutan bagi perusahaan publik di Indonesia untuk terbuka (disclosure) terhadap aksi perusahaan dalam konteks Lingkungan, Sosial dan Tata Kelola berkelanjutan (ESG).
Selain itu, perusahaan Indonesia, terutama yang memiliki kerjasama perdagangan dan kemitraan dengan Uni Eropa, juga diikat oleh kewajiban untuk menerapkan uji tuntas HAM untuk memenuhi European Union Directive on Corporate Sustainable Due Diligence (EU Mandatory Human Rights Due Diligence.
Secara umum, pada dinamika Internasional Assessment UNWG (United Nations Working Groups on Business and Human Rights), menunjukkan bahwa implementasi Uji Tuntas HAM (Human Rights Due Diligence) masih mengalami stagnasi. Refleksi Uji Tuntas HAM yang sedianya muncul dalam serangkaian legislasi dan kerangka kebijakan pemerintah, seperti pengungkapan wajib risiko perbudakan modern dalam rantai pasokan (mandatory disclosure of risks of modern slavery in supply chains) masih menemui kebuntuan. Sebagian besar Negara di dunia tidak memenuhi kewajiban terhadap standar HAM, terjadinya inkonsistensi undang-undang dan mandeknya penegakkan peraturan untuk melindungi kelompok pekerja dan masyarakat terdampak (affected community). Bahkan, secara umum, pemerintah tidak menyediakan seperangkat panduan yang kompleks tentang uji tuntas HAM dan dukungan yang disesuaikan dengan ukuran, sektor, konteks operasional, kepemilikan dan struktur entitas bisnis, termasuk usaha kecil dan menengah.

Embed Responsible Business Conduct into Policies and Management Systems for Human Rights Due Diligence
Dalam konteks Indonesia, hasil analisis yang dilakukan, menyimpulkan belum ada legislasi nasional yang secara spesifik dan eksplisit memuat pengaturan tentang Uji Tuntas HAM. Meskipun begitu, laporan UNWG tersebut, menyebutkan bahwa kerangka kebijakan yang diterapkan dalam mekanisme pasar negara berkembang (emerging market), seperti Indonesia, terinspirasi dan mengadopsi konsep Uji Tuntas HAM yang ada di UNGPs. Progresivitas Pemerintah Indonesia dalam kerangka kebijakan termanifestasikan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 2 Tahun 2017, yang menetapkan persyaratan dan mekanisme sertifikasi untuk memastikan industri perikanan bebas dari pelanggaran HAM. Kemudian, Peraturan Presiden No. 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Sawit Berkelanjutan Indonesia, dengan konsentrasi untuk mewujudkan transparansi rantai pasok, penghormatan dan tanggung jawab perusahaan atas hak-hak pekerja, implementasi grievance mechanism, serta pengelolaan lingkungan hidup, sumber daya alam, dan keanekaragaman hayati.
Uji Tuntas HAM bagi BUMN
Prinsip 4 UNGPs tentang The State-Business Nexus mensyaratkan Uji Tuntas HAM bagi perusahaan yang dimiliki atau dikontrol oleh negara, ataupun yang menerima dukungan dan layanan substansial dari badan-badan Negara seperti badan-badan kredit ekspor dan badan-badan asuransi atau penjaminan investasi resmi. Dalam hal ini, terutama merujuk pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dikarenakan, otoritas dan kekuasaan yang dimiliki negara atas BUMN ataupun perusahaan yang dikendalikan Negara, pada laporan UNWG tahun 2016 merekomendasikan agar negara menetapkan kebijakan, peraturan dan regulasi yang mengarah pada kerangka legally binding instrument sehubungan dengan uji tuntas HAM. Dalam rilis resmi OHCR, Dante Pesce selaku Ketua UNWG, menyerukan “sudah saatnya bagi Negara untuk menunjukkan kepemimpinan yang nyata, dan mewajibkan perusahaan yang mereka miliki atau kendalikan untuk menjadi panutan dalam hak asasi manusia.”
Namun, rezim peraturan BUMN dan perusahaan swasta di Indonesia sama sekali belum mengatur tentang kewajiban perusahaan BUMN untuk menerapkan Uji Tuntas HAM yang selaras dengan kewajiban HAM Internasional. UU No 40 tahun 2007 dan Peraturan Menteri BUMN tentang Program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan yang diatur setiap tahunnya, hanya terbatas mengatur tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL/CSR). Kelompok masyarakat sipil memandang CSR dengan sikap skeptis, meskipun telah bersifat mandatori dan mengikat secara hukum, hanya saja CSR memungkinkan perusahaan untuk memoles reputasi mereka sambil menghindari akuntabilitas nyata atas keterlibatan perusahaan dalam perilaku yang merugikan hak asasi manusia. Hal ini memperlihatkan perbedaan paradigma antara prinsip Bisnis dan HAM yang berfokus pada akses pemulihan bagi para korban, sekaligus menekankan peran negara untuk meminta pertanggungjawaban dari perusahaan yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia. Sementara, CSR berfokus pada kesukarelaan dan gagasan aspiratif tentang bagaimana perusahaan harus terlibat dan berkontribusi positif terhadap pemangku kepentingan dan masyarakat.
Penting untuk dipahami, tidak ada satu pun implementasi rezim mandatori Uji Tuntas HAM yang bersifat tunggal. Norma yang ada dalam UNGPs, ketika ditetapkan dalam rezim hukum yang mengikat (legally binding regime) memiliki tafsiran dan tipologi regulasi dengan kemungkinan hukum dan peraturan berbeda. Poin kunci dalam upaya penerapan regulasi uji tuntas HAM memerlukan diskusi dan partisipasi yang bermakna dari semua aktor – pembuat kebijakan, legislator, bisnis, serikat pekerja, organisasi masyarakat sipil dan pemangku kepentingan lainnya – yang harus memiliki kejelasan dan kesamaan pandangan tentang berbagai pilihan legislasi dan regulasi yang akan diterapkan.
Meskipun, Indonesia belum memiliki Undang-Undang Proses Uji Tuntas HAM. Dalam konteks rantai pasok global (global supply chain), salah satunya perusahaan-perusahaan Indonesia yang memiliki kerjasama perdagangan dan kemitraan dengan Uni Eropa terikat dengan European Union Directive on Corporate Sustainable Due Diligence (EU Mandatory Human Rights Due Diligence) November 2020 – September 2022, yang saat ini tengah dibahas oleh Parlemen Uni Eropa. Regulasi ini memandatkan pada perusahaan untuk mengidentifikasi, mencegah, dan memitigasi dampak buruk aktivitas perusahaan terhadap HAM, dan Lingkungan, selain itu, juga untuk membentuk Rantai Pasok Global (Global Supply Chain) yang transparan, berkelanjutan dan bertanggung jawab.
Referensi:
- OHCHR, Corporate Human Rights Due Diligence: Emerging Practices, Challenges and Ways Forward, Summary of the Report of the Working Gorup on Business and Human Rights (UNWG) to the General Assembly, October 2018.
- https://documents-dds-ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/G16/091/71/PDF/G1609171.pdf ?OpenElement
- https://www.ohchr.org/en/press-releases/2016/06/state-owned-enterprises-must-lead-example-business-and-human-rights-new-un
- Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-05/MBU/04/2021 Tentang Program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Badan Usaha Milik Negara
- John F. Sherman III, Beyond CSR: The Story of the UN Guiding Principles on Business and Human Rights, A Working Paper of the Corporate Responsibility Initiative, Harvard Kennedy School: Working Paper No. 71, March 2020
- Anita Ramasastry, Corporate Social Responsibility Versus Business and Human Rights: Bridging the Gap Between Responsibility and Accountability, Journal of Human Rights 14, 2015, 250.
- OHCHR, Mandatory Human Rights Due Diligence Regimes, Some Key Considerations, June 2020.