RUU Penyiaran Berpotensi Membungkam Kasus Kekerasan Seksual

RUU Penyiaran Berpotensi Membungkam Kasus Kekerasan Seksual

Oleh: Isthiqonita

Pers Mahasiswa asal Universitas Gadjah Mada, Balairung Press, mempublikasikan berita investigasi berjudul ‘Nalar Pincang UGM atas Kasus Perkosaan’ pada 5 November 2018 mengenai mahasiswi penyintas kekerasan seksual bernama Agni (bukan nama sebenarnya). Agni mengalami kekerasan seksual oleh mahasiswa lain saat melaksanakan kegiatan kuliah kerja nyata di Provinsi Maluku. Agni mengalami ketidakadilan oleh kampus dalam penanganan kekerasan seksual. Berita investigasi Balairung Press mengundang gerakan #sayabersamaAgni, sebagai dukungan kepada para penyintas kekerasan seksual di kampus yang dibungkam demi nama baik kampus. 

Pada 2019 media nasional Tirto.id, The Jakarta Post, dan VICE Indonesia melakukan kerja jurnalisme kolaboratif ‘Nama Baik Kampus’ untuk memberitakan kasus kekerasan seksual yang terjadi di pendidikan tinggi. Dari tiga media nasional tersebut Tirto.id merekam testimoni kekerasan seksual dari 174 penyintas, 79 kampus, dan 29 kota di seluruh Indonesia serta menghasilkan berbagai laporan mendalam terkait carut marutnya penanganan kekerasan seksual di kampus yang tidak berpihak pada korban.

Berbagai laporan investigasi terkait kekerasan seksual di kampus yang mencuat di media nasional menjadi salah satu faktor yang mendorong diterbitkannya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (Permendikbud PPKS). Kala itu, Kemendikbud menyatakan bahwa kampus berada dalam kondisi darurat kekerasan seksual. Permendikbud ini dibentuk dengan tujuan untuk mencegah serta menangani kasus kekerasan seksual di Perguruan Tinggi. Penanganan dilakukan dengan empat metode, yaitu pendampingan, pemulihan, perlindungan bagi korban, serta sanksi administratif bagi pelaku. Penanganan kasus kekerasan seksual di kampus kini ditangani oleh Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS). Satgas PPKS ini bertugas untuk merancang dan mengimplementasikan program-program pencegahan, memberikan dukungan kepada korban, dan memastikan penanganan kasus yang berkeadilan. 

Investigasi kekerasan seksual juga dilakukan oleh media nasional Project Multatuli pada 6 Oktober 2021, tentang seorang ibu yang melaporkan kasus pemerkosaan terhadap ketiga putrinya di Luwuk Timur, Sulawesi Selatan. Namun laporannya dicabut lantaran pelaku (yang tak lain ayah kandung korban) memiliki posisi di kantor pemerintahan daerah. Ibu korban bahkan dituduh punya motif dendam melaporkan mantan suaminya. Pelapor juga diserang sebagai orang yang mengalami gangguan kejiwaan. 

Setelah diterbitkannya laporan tersebut, tagar #PercumaLaporPolisi mencuat di media massa juga media sosial. Beberapa portal berita bahkan turut mengunggah dan membagikan ulang laporan investigasi lantaran website Project Multatuli sempat mengalami gangguan. Pada Mei 2022, Polda Sulawesi Selatan menghentikan penyelidikan kasus dugaan pencabulan terhadap tiga anak di Luwuk Timur oleh ayah kandungnya karena tidak cukup bukti. Padahal menurut kuasa hukum korban dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, polisi telah memiliki dua alat bukti yang cukup untuk meningkatkan status perkara ini ke tahap penyidikan. Namun pihak kepolisian memilih untuk menyampingkan kesaksian ketiga korban. Hingga kini tagar #PercumaLaporPolisi masih digunakan sebagai bentuk protes atas kinerja polisi yang tidak berpihak pada korban, terutama dalam menangani kasus-kasus kekerasan berbasis gender. 

Berbagai upaya media tersebut memperlihatkan bahwa berita investigasi memiliki peran penting dalam mengungkap kasus kekerasan seksual. Apalagi ketika korban dalam posisi yang sangat lemah tanpa adanya keberpihakan dari aparat penegak hukum (APH). Dalam skandal Burning Sun di Korea Selatan misalnya, dua orang jurnalis perempuan mengungkap bintang Korea Selatan yang melakukan kekerasan seksual di sebuah kelab kepada pengunjung perempuan. Korban dibius, dilecehkan, dan direkam tanpa persetujuan, bahkan beberapa rekamannya disebarkan di grup-grup chat. Beberapa korban membawa kasus ini ke polisi Korea Selatan namun pelaku selalu terbebas dari segala tuntutan. Dua jurnalis kemudian menginvestigasi kasus tersebut dan mendapati polisi berpangkat tinggi dan jaksa agung terlibat di dalamnya. Setelah kasus terungkap ke media, pelaku kemudian dapat dituntut dan dipidanakan. 

Dari berbagai kasus di atas, media memiliki kemampuan untuk mengangkat kasus kekerasan seksual yang mungkin tidak akan pernah diketahui publik. Banyak penyintas yang merasa malu bahkan takut untuk melapor, atau dalam banyak kasus laporannya diabaikan oleh APH. Media dapat mewakili suara para penyintas, membantu membawa kasus ini agar menjadi perhatian publik. Dengan melaporkan kasus kekerasan seksual kepada publik, media dapat memberikan informasi yang akurat dan mendidik masyarakat tentang isu kekerasan seksual, cara mengenalinya, dan apa yang dapat dilakukan untuk mencegahnya. Termasuk mengedukasi hak-hak korban dan prosedur hukum yang dapat ditempuh serta terbangunnya gerakan untuk melindungi korban dan menuntut pelaku. Media juga dapat menjadi sumber edukasi penanganan kekerasan seksual dengan mempromosikan Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

Regulasi Pencegahan dan Penanganan Seksual Banyak Disahkan, Namun Korban Masih Memiliki Hambatan

UU TPKS telah disahkan, regulasi lainnya yang mendukung pencegahan dan penanganan kekerasan seksual juga telah diterbitkan. Misalnya, Peraturan Menteri Agama No. 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama (PMA 73/2022), Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi No. 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (Permendikbud Ristek 46/2023), serta Keputusan Menteri Ketenagakerjaan No. 88 Tahun 2023 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja (Pedoman P3KS di Tempat Kerja).

Namun sepanjang hampir dua tahun setelah pengesahan UU TPKS, korban kekerasan seksual masih menemui hambatan dalam mengakses keadilan. Penyelesaian kasus kekerasan seksual masih dilakukan melalui penyelesaian di luar pengadilan, pemberian ganti kerugian dari pelaku menghentikan kasus, pelaku tidak diberhentikan di tempat kerja, tuduhan pencemaran nama baik, permintaan uang untuk transportasi pemeriksaan terlapor, dan perlakuan yang tidak nyaman dalam pemeriksaan korban. 

Dalam praktik di lapangan, APH tidak merujuk pada UU TPKS dalam menangani kasus kekerasan seksual. Alasannya belum keluarnya petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis (juklak dan juknis), atau peraturan turunan seperti Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Kapolri mengenai teknik  hukum  acara  UU  TPKS. Sementara peraturan pelaksanaan UU TPKS hingga kini belum juga diselesaikan pemerintah. Tanpa adanya aturan pelaksana, penerapan UU TPKS akan berbeda-beda. Misalnya yang terjadi di Provinsi Aceh, penanganan dan penyelesaian kasus kekerasan seksual tidak diselesaikan dengan menggunakan UU TPKS, tetapi menggunakan Qanun Jinayat yang tidak memiliki keberpihakan pada korban.

Akibat dari implementasi UU TPKS yang masih mengalami hambatan, penyintas maupun pendamping korban kekerasan seksual kerap menemukan jalan buntu ketika menuntut keadilan. Peran media untuk menginvestigasi dan mengungkap agar mendapat perhatian dari publik sangat diperlukan. Liputan media dapat meningkatkan kesadaran, solidaritas, memobilisasi dukungan masyarakat, hingga mengorganisir aksi.

Sayangnya, jurnalisme investigasi kini tengah diusik melalui Rancangan Undang-undang (RUU) Penyiaran. RUU Penyiaran dirancang untuk menyesuaikan perkembangan ranah digital di Indonesia yang pada mulanya hanya menyasar televisi, merevisi UU No. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran. RUU Penyiaran rencananya akan dirampungkan pada 2024 dan dianggap akan memutakhirkan dan memperkuat pedoman-pedoman sebelumnya mengenai penyelenggaraan penyiaran di Indonesia. Namun terdapat berbagai pasal yang bermasalah dan mengancam kebebasan berpendapat, berekspresi, serta membungkam kerja-kerja jurnalistik.

RUU Penyiaran Pasal 56 ayat 2 memuat bahwa standar isi siaran melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Pasal ini tidak hanya akan merugikan insan pers, tetapi juga berpotensi melanggengkan diskriminasi terhadap perempuan dan kelompok minoritas lainnya yang memiliki kerentanan menjadi korban kekerasan seksual. Selain itu, dalam RUU Penyiaran, konten yang memuat pencemaran nama baik serta menyinggung kelompok tertentu dianggap tidak layak siar, sedangkan dalam banyak kasus kekerasan seksual, pelaku kerap menggunakan ‘kartu’ pencemaran nama baik untuk mengkriminalkan korban. Situasi ini menambah beban korban kekerasan seksual untuk mengakses keadilan. 

Oleh karena itu, RUU Penyiaran yang dapat mengancam kebebasan pers dan hak publik untuk mendapatkan informasi harus dikaji ulang. Artinya, regulasi tersebut harus dikaji ulang dengan melibatkan pengalaman perempuan yang rentan menjadi korban kekerasan seksual. Proses penyusunan kebijakan mestinya melibatkan partisipasi publik terutama kelompok yang termarginalkan. Jika dipaksakan, undang-undang yang seharusnya melindungi masyarakat, justru memberangus dan membatasi hak asasi perempuan dan kelompok rentan lainnya. 

*Skandal Burning Sun merupakan salah satu skandal terbesar di Korea Selatan yang diungkap ke publik pada tahun 2019 oleh dua jurnalis perempuan. Burning Sun adalah kelab terbesar di Gangnam Seoul yang dioperasikan oleh mantan anggota BIGBANG Seungri. Investigasi mengungkap daftar kejahatan mengerikan yang dilakukan oleh selebriti terkemuka di kelab tersebut. Perempuan dibius dan diperkosa oleh klien VIP kelab dan difilmkan tanpa persetujuan. Video dan gambar ini disebarkan di ruang obrolan pribadi pelaku berisi rincian mengerikan tentang kekerasan seksual tersebut. Skandal ini juga melibatkan pebisnis hingga polisi dengan pangkat yang tinggi. 

Sumber Rujukan:

Adam, Aulia, dkk “Testimoni Kekerasan Seksual: 174 Penyintas, 79 Kampus, 29 Kota.” Tirto.id, 23 Apr. 2019, https://tirto.id/testimoni-kekerasa

Adinda, Permata. Buku Panduan Meliput Kekerasan Seksual Bagi Persma Dan Jurnalis. Project Multatuli, 2022.

Maudy, Citra. “Nalar Pincang UGM Atas Kasus Perkosaan.” Balairungpress, 5 Nov. 2018, https://www.balairungpress.

Yasintha, Maulani. “Keputusan Pembentukan Satuan Tugas Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) Untuk Menangani Kasus Kekerasan Seksual (Studi Kasus Universitas Negeri Surabaya).” Jurnal Psikologi, no. 3, Indonesian Journal Publisher, Mei 2024.

Rusdianto, Eko. “Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan.” Project Multatuli, 6 Okt. 2021, https://projectmultatuli.org/kasus-pencabulan.

Sinombor, Sonya Helen. “Dua Tahun Disahkan, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual Masih Belum Punya Aturan Pelaksanaan.”Harian Kompas, 12 Mar. 2024, https://www.kompas.id/baca/humani.

“Kasus Dugaan Kekerasan Seksual Tiga Anak Di Luwu Timur Dihentikan, Kesaksian Korban ‘Diabaikan’ Dan ‘Seperti Menegaskan Percuma Lapor Polisi’ – BBC News Indonesia.” BBC News Indonesia, 23 May 2023, https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-61539916.