
Peran Negara dalam Mencegah dan Menangani Kehamilan pada Anak
Mengatur usia minimum perkawinan bagi perempuan, yang awalnya 16 tahun menjadi 19 tahun tidak menjadikan faktor sosial, ekonomi, dan budaya yang mempengaruhi perkawinan anak dapat teratasi. Merujuk pada data Badan Peradilan Agama, jumlah pengajuan permohonan dispensasi kawin pada anak tetap tinggi, pada tahun 2020 dari yang sebelumnya 24.856 menjadi 64.222. Kemudian pada 2021 pengajuan permohonan dispensasi sebanyak 62.119 dan yang dikabulkan yakni 61.449 pemohon. Sedangkan pada 2022, permohonan yang diajukan sebesar 52.095, tetapi yang disetujui sebanyak 50.748 pemohon. Data ini memperlihatkan bahwa pengajuan dispensasi kawin masih banyak yang mendapatkan persetujuan dan minim penolakan.
Tingginya angka dispensasi kawin memerlukan upaya-upaya lainnya yang lebih optimal untuk menutup celah-celah terjadinya kasus perkawinan anak di Indonesia. Menurut data yang dihimpun oleh Australia-Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2 pada tahun 2023), sepanjang tahun 2019-2023 hanya 1% permohonan dispensasi yang ditolak Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri. Artinya, ada sebanyak 95% permohonan yang dikabulkan. Adapun permohonan terbanyak yang dikabulkan karena alasan anak perempuan telah hamil, yakni sebesar 31% (AIPJ2, 2019).
Angka kehamilan tak diinginkan di kalangan anak usia remaja Indonesia memang cukup tinggi. Menurut data Indeks Pembangunan Pemuda Indonesia tahun 2019, persentase remaja yang hamil pada 2018 sebesar 16,67%. Pada saat pandemi Covid-19, angkanya meningkat hingga sekitar 420 ribu atau 17,5%. Kehamilan pada anak perempuan disebabkan oleh berbagai faktor dan akan menimbulkan banyak risiko bagi ibu dan bayi. Sayangnya, hingga kini negara belum memiliki program maupun kebijakan yang secara komprehensif bertujuan untuk mencegah kehamilan pada anak perempuan dan melindungi anak perempuan yang mengalami kehamilan.
Faktor dan Risiko Kehamilan pada Anak
Anak-anak perempuan di Indonesia sebetulnya berisiko mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Di negara ini, pendidikan hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR) tidak dibahas secara utuh dalam sebuah kurikulum. Materi kesehatan reproduksi disisipkan dalam pelajaran Pendidikan Kesehatan Jasmani (Penjaskes) dan biologi yang hanya membahas anatomi tubuh. Pada tahun 2015, kelompok masyarakat yang menanamkan diri Aliansi SEPERLIMA, memohon uji materi cakupan muatan kurikulum Pendidikan Jasmani dan Kesehatan (Penjaskes) dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Pasalnya, materi kesehatan reproduksi dan seksualitas yang disisipkan dalam pelajaran sekolah dinilai masih belum cukup. Masih perlu menambahkan beberapa materi lagi agar menjadi komprehensif. Namun, permohonan tersebut ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dengan alasan pemohon tidak memiliki legal standing atau kedudukan hukum.
Pendidikan dan informasi HKSR yang komprehensif adalah salah satu faktor penting yang dapat mencegah kehamilan pada anak perempuan. Di dalam HKSR tidak hanya membahas pengetahuan kesehatan reproduksi dan seksualitas, tetapi juga tentang perspektif gender dan bagaimana mengambil keputusan untuk diri sendiri yang penting diketahui oleh anak maupun remaja. Remaja yang aktif berpacaran misalnya, akan memahami tentang relasi kuasa yang menjadikan mereka peduli terhadap otoritas tubuhnya sehingga tidak mudah dimanipulasi untuk melakukan hubungan seksual yang berdampak pada kehamilan yang tidak diinginkan. Karena menurut Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP), mayoritas remaja yang mengalami kehamilan adalah korban dari kekerasan seksual dan belum memahami hubungan seksual yang konsensual (2021).
Selain dikawinkan, anak perempuan yang mengalami kehamilan juga rentan mengalami stigma dari publik. Stigma kepada anak perempuan yang hamil juga terjadi di ranah digital. Di TikTok misalnya, seorang dokter kandungan kerap membuat konten tentang anak perempuan yang hamil. Alih-alih memberikan edukasi, dokter tersebut malah memuat narasi yang merundung dan melanggengkan stigma terhadap anak perempuan yang mengalami kehamilan. Anak perempuan yang hamil dan keluarganya akhirnya memilih menyembunyikan kehamilan karena malu. Dampaknya, anak perempuan yang hamil tersebut tidak terpapar edukasi dan mengakses layanan kesehatan selama kehamilan. Akibatnya bayi lahir dengan risiko stunting, kekurangan gizi, bahkan bayi atau ibu meninggal saat proses melahirkan.
Anak perempuan yang hamil juga berisiko mendapatkan diskriminasi yang menyebabkan putus sekolah. Menurut YKP, sekolah kerap mengeluarkan atau mendesak pelajar yang mengalami kehamilan agar mau mengundurkan diri dari sekolahnya, sekalipun aturan tersebut tidak tertulis (2021). Tidak ada kebijakan yang mengatur seorang pelajar hamil harus dikeluarkan, tetapi seringkali sekolah memakai kategori kenakalan remaja. Selain putus sekolah, anak perempuan yang alami kehamilan rentan kembali hamil di usia muda, alami kekerasan dari pasangan, dan berujung perceraian. Oleh karena itu, mengawinkan anak perempuan yang hamil akan menambah risiko terhadap anak.
Setelah melahirkan, tanggung jawab pengasuhan bayi yang dilahirkan sering diserahkan hanya kepada keluarga, karena kehamilan anak dianggap sebagai kelalaian keluarga dalam mendidik anak. Di sisi lain, anak perempuan yang mengalami kehamilan juga menghadapi stigma negatif dari keluarga yang kemudian mengalami kekerasan atau dikucilkan dari keluarga. Selain itu, keluarga sering menjadi aktor utama yang mendorong anak untuk menikah sebagai solusi dari kehamilan di usia anak. Sebab itu, negara harus bertanggung jawab untuk mencegah dan menangani kehamilan yang tidak diinginkan pada anak perempuan.
Tanggung Jawab Negara
Dalam proses pencegahan, penting bagi negara untuk mengintegrasikan pendidikan HKSR yang komprehensif ke dalam kurikulum pendidikan. Apabila masyarakat termasuk anak, terpapar informasi HKSR yang komprehensif, risiko kehamilan yang tidak diinginkan dapat direduksi dan kualitas kesehatan seksual dan reproduksi perempuan menjadi lebih terjamin. Penyediaan pendidikan HKSR yang komprehensif dalam kurikulum pendidikan mulai dari pendidikan usia dini hingga pendidikan tinggi tidak dapat ditunda lagi. Intervensi ini sebenarnya bukan hal baru yang disarankan, bahkan sudah disampaikan sejak hampir 40 tahun yang lalu. Sayangnya, tindak lanjut atas rekomendasi ini belum juga terealisasi. Pendidikan HKSR akan efektif untuk mencegah kehamilan pada anak, mengurangi angka perkawinan usia anak, di saat bersamaan juga akan mendorong penurunan angka kematian ibu melahirkan.
Pada tahun 2012 Rutgers WPF atau Yayasan Gemilang Sehat Indonesia (YGSI) sebetulnya telah menerbitkan modul HKSR yang komprehensif bernama SETARA, Semangat Dunia Remaja. Butuh waktu 15 tahun bagi Rutgers berproses untuk mengembangkan modul agar sesuai dengan dinamika kebutuhan remaja. Kini, modul terdiri dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga sekolah Menengah Atas (SMA), modul HKSR juga tersedia bagi anak dan remaja disabilitas. Rutgers telah bekerja sama dengan beberapa sekolah untuk mengimplementasikan modul tersebut. Namun, sayangnya modul belum dapat diakses oleh seluruh sekolah di Indonesia.
Selain itu, Rutgers WPF juga bekerja sama dengan Plan International Indonesia dan Aliansi Remaja Independen (ARI) dalam pelaksanaan program Yes I Do (YID), sebuah aliansi bersama yang berfokus pada pencegahan perkawinan anak, kehamilan remaja, dan praktik berbahaya bagi kesehatan reproduksi anak perempuan di Kabupaten Sukabumi, Rembang, dan Lombok Barat. Program ini berjalan dari tahun 2016 hingga 2020. Kegiatan ini berkontribusi pada pencapaian target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) tentang kehidupan sehat dan sejahtera, pendidikan berkualitas, dan kesetaraan gender, dengan memastikan remaja/anak perempuan menuntaskan pendidikan dasar 12 tahun tanpa terkendala karena perkawinan ataupun kehamilan tidak diinginkan pada anak perempuan.
Selain mencegah kehamilan pada anak, melindungi anak perempuan yang hamil dan setelah melahirkan juga diperlukan. Anak perempuan tidak seharusnya hanya dengan dikawinkan yang justru menambah risiko terhadap anak. Saat ini, Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dan poli Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) memiliki layanan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan anak perempuan selama kehamilan. Selain itu, Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA) sudah memiliki psikolog yang dapat memberikan pelayanan bagi anak perempuan dalam masa kehamilan. Namun, penguatan terhadap layanan tersebut masih perlu dilakukan agar layanan bisa diakses dan ramah terhadap anak. Hal ini disebabkan karena seringkali layanan untuk anak perempuan yang mengalami kehamilan mendapatkan perlakuan yang sama dengan layanan untuk orang dewasa.
Anak perempuan yang hamil maupun setelah melahirkan mestinya tetap mendapatkan perlindungan dengan diberi akses terhadap pendidikan, karena hak anak untuk mendapatkan pendidikan dijamin oleh negara sesuai dengan Pasal 49 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Anak juga mesti didampingi agar mendapatkan informasi tentang perkawinan anak, sehingga anak perempuan yang alami kehamilan tidak menjadikan perkawinan sebagai satu-satunya pilihan. Akhirnya anak perempuan tidak terjebak dalam lingkaran kekerasan dan tidak kembali mengalami kehamilan di usia anak.
Menurut data Peneliti Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia atau Puskapa UI (2023), regulasi yang ada sebetulnya telah menjamin para remaja yang hamil ini tetap berhak mendapatkan pendidikan. Di DKI Jakarta misalnya, Peraturan Gubernur Nomor 31 Tahun 2013 menyatakan secara jelas bahwa siswi yang hamil tidak boleh dikeluarkan dari sekolah. Sejumlah daerah lain juga memiliki aturan serupa. Begitu pula di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat yang mengizinkan remaja yang hamil untuk kembali bersekolah di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) setelah melahirkan, bahkan juga diizinkan untuk membawa anaknya.
Sejumlah negara juga memiliki sekolah khusus bagi para remaja hamil atau ibu muda demi memenuhi hak pendidikan mereka. Sekolah khusus remaja hamil telah dibuka di Malaka, Malaysia sejak 2010 karena tingginya angka kehamilan remaja dan penelantaran bayi. Di Texas, Amerika Serikat, sebuah SMA negeri menjadi tempat bagi para remaja yang mengalami kehamilan tidak direncanakan untuk lanjut bersekolah. SMA itu bahkan menyediakan fasilitas pendukung seperti pusat penitipan anak gratis. Kenya juga telah memiliki sekolah khusus seperti ini, yang merupakan satu-satunya sekolah khusus remaja hamil di negara itu.
Indonesia sebetulnya bisa melakukan kebijakan serupa. Langkah awal adalah dengan menyepakati prinsip bahwa anak perempuan yang mengalami kehamilan tidak diinginkan adalah korban. Mereka adalah korban dari berbagai sistem yang belum melihat kepentingan serta partisipasi anak secara utuh. Minimnya pendidikan HKSR yang komprehensif, lemahnya sistem pendukung bagi anak perempuan ketika hamil seperti akses pendidikan dan layanan kesehatan merupakan rentetan masalah kebijakan publik yang harus dibenahi oleh negara.
SEPERLIMA adalah konsorsium untuk isu HKSR yang terdiri dari Rahima, Puskagenseks FISIP UI, PKBI dan PAMFLET
Sumber Artikel:
Adolescent Pregnancy. World Health Organization (WHO), 10 Apr. 2024, https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/adolescent-pregnancy.
Alaidrus, Fadiyah. “Saya Jadi Nggak Percaya Diri Banget: Dikeluarkan Dari Sekolah, Perundungan Terhadap Remaja Hamil Tak Diinginkan.” Project Multatuli, 10 Sept. 2021, https://projectmultatuli.org/pelajar-hamil-tak-diinginkan-mengalami-bullying.
Aulia Widadio, Nicky. “Diperkosa Lalu Diminta Keluar Dari Sekolah, Remaja Perempuan Yang Alami Kehamilan Tidak Diinginkan ‘menjadi Korban Dua Kali’ – BBC News Indonesia.” BBC News Indonesia, 27 Mar. 2023, https://www.bbc.com/indonesia/articles/cqleqx5p18wo.
Batara Munti, Ratna, dkk. Laporan Studi Kualitatif Persepsi Dan Dukungan Pemangku Kepentingan Terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Dan UU Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas UU Perkawinan. INFID, 2020.
Esti Utami, Mulat. “Kawin Usia Anak Itu Gak Oke, Hentikan Perkawinan Anak – Yayasan Kesehatan Perempuan.” Yayasan Kesehatan Perempuan, Yayasan Kesehatan Perempuan, 11 Jan. 2022, https://ykp.or.id/kawin-usia-anak-itu-gak.
Kirnandita, Patresia. “Pendidikan Seks Remaja Masih Dianggap Tabu Oleh Masyarakat.” Magdalene.Co, 3 Dec. 2021, https://magdalene.co/story/yang-ideal-dari-pendidikan-.
Kusumaningrum, S, dkk. Pencegahan Perkawinan Anak untuk Perlindungan Berkelanjutan bagi Anak. Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), 2023.
Kusumaning Tyas, Intan. “Bahaya Laten Absennya Materi HKSR Pada Kurikulum Pendidikan Dasar – INFID.” INFID, 4 Sept. 2020, https://infid.org/bahaya-laten-absennya-materi-hksr.
Pusat Studi Kependudukan Dan Kebijakan – Universitas Gadjah Mada, 24 Oct. 2017, https://cpps.ugm.ac.id/pelajar-perempuan-hamil-kerap.
YKP. “Kehamilan Yang Tidak Diinginkan Pada Remaja – YKPPEDIA.” Yayasan Kesehatan Perempuan, 8 May 2020, https://ykp.or.id/datainfo/materi/222.