 
	Dorong Jurnalisme Inklusif: Fatayat NU Jatim dan INFID Ajak Jurnalis Media Berpihak pada Kelompok Rentan
Oleh: Syafira Khairani, Program Officer for Promoting Tolerance and Respect for Diversity INFID
Editor: Intan Bedisa, Communication INFID
Ibarat dua sisi dua mata uang, akses teknologi informasi saat ini semakin meluas dan mudah diperoleh. Namun, penyebaran tersebut kerap kali tidak dibarengi dengan kemampuan menyaring informasi menggunakan nalar kritis yang baik. Hal ini menyebabkan semakin maraknya berita bohong, ujaran kebencian, persekusi online, dan bahkan kekerasan yang dapat melanggar kebebasan beragama atau berkeyakinan.
PW Fatayat NU Jawa Timur bekerjasama dengan INFID mengadakan Pelatihan Jurnalistik Inklusif untuk Kebangsaan dan Kesetaraan di Surabaya, Jawa Timur pada 16-18 Juli 2024. Pelatihan ini tidak hanya dihadiri oleh jurnalis-jurnalis media mainstream seperti Tempo dan TribunNews, namun juga dari media alternatif, media komunitas, dan penulis lepas lainnya.

Menurut Ketua PW Fatayat NU Jawa Timur Dewi Winarti perkembangan teknologi informasi membuat sejumlah kalangan dengan mudah menyajikan informasi dalam bentuk pemberitaan maupun konten sosial media. “Sayangnya, kita seringkali melihat pemberitaan yang tidak cukup inklusif dan memicu perpecahan” ungkap Dewi.
Pelatihan jurnalistik inklusif ini hadir untuk mendorong para jurnalis untuk kembali mendalami sisi kemanusiaan dalam kerja peliputan. Inisiatif ini berangkat dari semakin tajamnya polarisasi yang muncul dari pemberitaan negatif yang seringkali memecah belah masyarakat.
Pelatihan ini menghadirkan narasumber berkompeten seperti Riadi Ngasiran (NU Online), Fikry Emeraldien (Dosen Komunikasi UINSA), dan Pendeta Andre, Tedi Kholiludin (ELSA), Miftah Faridl (AJI).
Program Officer untuk Promoting Tolerance and Respect for Diversity INFID Syafira Khairani menyoroti pentingnya menggunakan pendekatan berbasis empati dalam meliput isu keberagaman agama, gender, etnis, maupun pendapatan ekonomi. Ia menilai bahwa perbedaan jurnalisme inklusif dengan praktik jurnalisme lainnya adalah perlunya porsi kesabaran yang lebih besar. “Sebab dalam situasi konflik, jurnalis perlu cermat memperhatikan pihak-pihak yang paling terdampak dan dinamika perubahan kondisi yang mereka rasakan setelah mencuatnya konflik,” terang Syafira.
Harapannya, pelatihan ini dapat mengembalikan semangat jurnalisme yang kritis terhadap permasalahan sosial serta berpihak pada masyarakat (human-centered). Sebagai tindak lanjut pelatihan ini, para peserta berkomitmen untuk menerbitkan tulisan dengan mengimplementasikan unsur-unsur dan prinsip jurnalisme inklusif.

