Perubahan Iklim dan Bencana Memengaruhi Meningkatnya Kawin Anak
(Sumber foto: Antara Foto/ Rifan Awal Lingga)
Oleh: Isthiqonita
Ada banyak faktor yang memengaruhi terjadinya perkawinan anak di dunia, salah satunya adalah perubahan iklim yang ekstrem dan menyebabkan terjadinya berbagai bencana. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh The Ohio State University pada 2023 menemukan bahwa secara global, satu dari lima anak perempuan menikah sebelum usia 18 tahun, dan di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah jumlah tersebut meningkat hingga 40%. Jumlah kawin anak terus bertambah akibat perubahan iklim yang meningkatkatkan bencana ekstrem di seluruh dunia, terutama bagi mereka yang bergantung pada alam untuk mata pencaharian (Ohio State News, 2023).
Hal ini juga tergambar dalam ASEAN Gender Outlook 2024 yang dikeluarkan oleh UN Women, perubahan iklim memiliki dampak yang signifikan terutama bagi perempuan. Perubahan-perubahan pola hujan, suhu yang lebih tinggi, dan kekeringan yang lebih sering terjadi di wilayah ASEAN juga dengan meningkatnya angka kawin anak. Artinya, krisis iklim yang memicu bencana ekstrem menyebabkan sumber ekonomi keluarga terputus, kemudian berdampak pada kemiskinan, akhirnya perkawinan anak dilakukan untuk mengatasi pendapatan yang kian berkurang.
Sebagai contoh, di beberapa bagian Timor-Leste dengan kondisi kekeringan sering terjadi, 34% perempuan menikah sebelum usia 18 tahun, dibandingkan dengan 24% di wilayah yang jarang mengalami kekeringan. Kamboja dan Filipina juga memiliki tingkat perkawinan anak yang lebih tinggi di wilayah dengan frekuensi episode kekeringan yang lebih tinggi. Dampak perubahan iklim sangat memengaruhi pendapatan masyarakat, dan beberapa keluarga mengawinkan anak perempuan mereka untuk mengatasinya.
Perkawinan Anak Perempuan: Dianggap Beban Hingga Bentuk Perlindungan
Perubahan iklim sangat erat kaitannya dengan bencana. Ketika terjadi bencana, banyak keluarga yang mengungsi. Dalam situasi di pengungsian yang serba terbatas, anak-anak perempuan seringkali menjadi lebih rentan terhadap eksploitasi dan kekerasan seksual, keluarga mereka kemudian terpaksa mengawinkan anak perempuan dengan alasan untuk melindungi dari kekerasan.
Hal ini terjadi di Bangladesh yang sangat rentan terhadap perubahan iklim. Dalam sebuah laporan dari United Nations Population Fund (UNFPA), Bangladesh kerap mengalami banjir dan siklon yang berulang, selain itu Bangladesh adalah rumah bagi lebih dari 1 juta pengungsi Rohingya. UNFPA telah melihat peningkatan dalam perkawinan anak di kamp-kamp pengungsi sebagai akibat dari ketidakamanan dari bencana perubahan iklim. Orang tua, terutama ayah pengungsi banyak yang mengawinkan anak perempuannya untuk menjauhkannya dari kekerasan. Orang tua tidak menganggap bahwa menantu laki-laki adalah sumber potensial kekerasan. Anak perempuan yang sudah menikah mengalami tingkat kekerasan yang lebih tinggi secara fisik, emosional, seksual, dan finansial daripada teman sebaya mereka yang belum menikah. Anak perempuan yang menikah juga cenderung tidak melanjutkan pendidikan mereka dan lebih mungkin menjadi ibu muda dan menjadikan lingkaran kemiskinan diteruskan kepada anak-anak mereka.
Perkawinan anak akibat bencana perubahan iklim juga terjadi di Pakistan, anak perempuan dikawinkan dengan imbalan kepada keluarga perempuan, agar mereka mampu bertahan hidup di kala musim hujan yang menyebabkan banjir kemudian menenggelamkan dan merusak hasil pertanian mereka. Perkawinan anak perempuan juga dianggap mengurangi beban biaya makan selama bencana iklim berlangsung. United Nations Children’s Fund (UNICEF) melaporkan, setelah banjir bandang yang terjadi di Pakistan pada 2022, terjadi peningkatan kawin anak sebanyak 18%.
Maraknya perkawinan anak dalam situasi bencana juga pernah terjadi di Indonesia, salah satunya saat bencana gempa, likuifaksi, dan tsunami di Palu pada September 2018 silam. Bencana tersebut mengakibatkan lebih dari 2000 orang meninggal dan ribuan keluarga kehilangan tempat tinggal sehingga terpaksa untuk mengungsi. Bencana ini mencakup tiga wilayah yaitu Palu, Sigi dan Donggala. Perkumpulan Lingkar Belajar untuk (LIBU) Perempuan Sulawesi Tengah, menerima laporan 51 kasus perkawinan anak di beberapa tempat pengungsian pada periode Oktober 2018 – Oktober 2019. LIBU memaparkan alasan terjadinya perkawinan anak didominasi karena faktor ekonomi, orang tua dalam situasi serba terhimpit ekonomi terpaksa mengawinkan anak perempuannya agar salah satu ‘beban’ menjadi lepas dari tanggung jawab mereka.
Direktur LIBU Perempuan, Dewi Rana Amir, menjelaskan setelah bencana di tahun 2018, kemudian disusul pandemi Covid-19, situasi kawin anak di Sulawesi Tengah semakin mengkhawatirkan. LIBU Perempuan pernah mencegah terjadinya perkawinan kepada 17 anak perempuan putus sekolah di dusun terpencil di Kabupaten Sigi. Anak-anak tersebut putus sekolah akibat banjir karena hujan berkepanjangan sehingga tidak ada akses menuju sekolah. Hujan berkepanjangan yang terjadi di dusun itu diakibatkan oleh perubahan iklim karena sebelumnya tidak pernah terjadi.
Kebijakan Pemerintah Indonesia Perihal Iklim yang Berperspektif Gender
Pemanasan global dan perubahan iklim disebabkan oleh emisi gas rumah kaca yang menyelimuti Bumi dan memerangkap panas matahari. Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya emisi gas, namun 3 hal ini yang paling sering terjadi di Indonesia. Pertama, pembuatan energi listrik dan panas dengan membakar bahan bakar fosil akan menghasilkan emisi global dalam jumlah besar. Kedua, manufaktur dan industri menghasilkan emisi, yang sebagian besar berasal dari pembakaran bahan bakar fosil untuk menghasilkan energi guna membuat berbagai hal seperti semen, besi, baja, elektronik, plastik, pakaian, dan barang lainnya. Ketiga, penebangan hutan (deforestasi) untuk membuat lahan pertanian atau peternakan, ataupun untuk alasan lainnya, akan menghasilkan emisi, karena pohon yang ditebang akan melepaskan karbon yang tersimpan di dalamnya.
Indonesia sebetulnya telah cukup lama memiliki perhatian terhadap perubahan iklim, salah satunya ditandai dengan meratifikasi UNFCCC (Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim) pada 1994. Pada tahun 2009, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) membentuk Kaukus Hijau, pembentukannya bertujuan untuk memperkuat peran legislator dalam mendorong kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan lingkungan dan pembangunan yang ramah lingkungan. Kaukus Hijau dibentuk oleh anggota DPR yang memiliki kepedulian terhadap isu-isu lingkungan hidup, perubahan iklim, dan keberlanjutan. Sejak awal, kaukus ini menjadi wadah bagi legislator yang ingin memajukan agenda lingkungan hidup di dalam sistem legislatif Indonesia, serta berperan aktif dalam mengawal berbagai kebijakan yang berdampak pada kelestarian alam.
Indonesia juga telah menetapkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change (Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai perubahan Iklim). Kini, kebijakan mitigasi perubahan iklim yang dilakukan Indonesia secara garis besar tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) V tahun 2020-2024, terutama dalam Prioritas Nasional 6, yakni membangun lingkungan hidup, meningkatkan ketahanan bencana dan perubahan iklim. Terkait perubahan iklim dan gender, pada Maret 2024, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLH) meluncurkan Rencana Aksi Nasional Gender dan Perubahan Iklim (RAN GPI). Adapun tujuan dari RAN GPI adalah keadilan sosial dan ketahanan terhadap bencana serta perubahan iklim bagi semua orang serta adanya perencanaan dan penganggaran perubahan iklim yang responsif gender dan inklusif.
Tidak hanya di tataran pemerintahan, lembaga masyarakat juga turut mengupayakan pengendalian perubahan iklim. Misalnya sejak tahun 2017, INFID bersama dengan organisasi masyarakat sipil yang lain mendorong dan mengawal agar Bisnis dan HAM masuk dalam RAN HAM 2021-2025. INFID memilih mendorong isu pemberdayaan ekonomi perempuan dan perubahan iklim dapat diintegrasikan dalam RAN HAM. Diharapkan perempuan menjadi subyek dalam penyusunan dan implementasi kebijakan pembangunan sehingga lebih ramah terhadap perempuan. Selain itu, dampak buruk dari perubahan iklim, terutama dalam sektor keamanan pangan dan perikanan, juga diharapkan dapat ditangani oleh negara dan korporasi terlibat secara serius, sehingga tidak menambah beban berat bagi masyarakat, khususnya perempuan. Tahun 2020 – 2021 INFID juga turut tergabung dalam upaya advokasi terkait inisiatif pembangunan rendah karbon kepada DPR RI terutama komisi 4 dan juga 7. Tahun 2024 hingga 3 tahun ke depan, INFID terlibat dalam konsorsium Low Carbon Development Indonesia (LCDI) 2, fokus pada pemangku kebijakan. Di tahap awal ini INFID melakukan riset tentang penilaian cepat implikasi hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) provinsi untuk inisiatif pembangunan rendah karbon dan riset tentang penilaian konteks tingkat provinsi dalam mendukung inisitif pembangunan rendah karbon.
Perubahan Iklim: Antara Regulasi dan Implementasi
Eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran menjadi salah satu faktor meningkatnya perubahan iklim yang menyebabkan bencana ekstrem. Selama periode menjabat, Presiden RI Ke 7 Joko Widodo kerap berpidato pentingnya mengendalikan krisis iklim. Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI), mencatat, selama 10 tahun kepemimpinan Jokowi, kebijakan dan aksi-aksi iklim yang dijalankan bukan hanya tidak menyelesaikan akar masalah dari krisis iklim, justru semakin mengancam keselamatan rakyat, merusak lingkungan, dan melanggar hak asasi manusia. Beberapa kebijakan yang mengancam perubahan iklim di antaranya proyek transisi energi melalui pendanaan internasional Just Energy Transition Partnership (JETP), pemberian konsesi tambang batubara kepada ormas keagamaan, proyek food estate, proyek shrimp estate, dan skema perdagangan karbon (Bandung Bergerak, 2024).
Kepemimpinan Joko Widodo dilanjutkan oleh Presiden Prabowo Subianto yang secara tegas akan melanjutkan program-program Jokowi. Dalam pidato pertamanya sebagai presiden pada 20 Oktober 2024 di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Prabowo Subianto menyampaikan sejumlah cita-cita penting, antara lain mencapai swasembada pangan dan energi. Beberapa sumber energi yang disebut bakal menopang swasembada itu, antara lain, kelapa sawit, singkong, tebu, sagu, dan jagung, yang bisa menghasilkan solar dan bensin. Namun dalam pidatonya, Prabowo sama sekali tidak menyampaikan pentingnya upaya perlindungan lingkungan, termasuk dari krisis iklim yang akan menghancurkan cita-cita tersebut. Selain itu, saat pembukaan COP29 (Konferensi Perubahan Iklim PBB 2024) di Baku, Azerbaijan, Hashim Djojohadikusumo berpidato mewakili kakaknya, Presiden Prabowo Subianto (12/11/2024). Alih-alih menjabarkan agenda mencapai target mitigasi krisis iklim, Hashim sebagai Ketua Delegasi RI malah menawarkan proyek-proyek baru, hal ini mendapatkan kritikan dari berbagai aktivis lingkungan karena dianggap sebagai langkah mundur komitmen Indonesia dalam mengatasi perubahan iklim (Tempo.co, 2024).
Kemunduran negara dalam mengatasi perubahan iklim yang mengakibatkan bencana ekstrem berarti kemunduran dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang terdampak. Akibatnya, perkawinan anak tidak bisa dielakkan karena tetap dianggap sebagai solusi untuk bertahan hidup. Edukasi terkait pencegahan kawin anak kepada pemangku kebijakan maupun masyarakat tidaklah cukup jika sumber ekonomi mereka direbut, karena dalam kasus perubahan iklim dan bencana, kawin anak sangat erat kaitannya dengan kemiskinan.
Rujukan artikel
Amindoni, Ayomi. “Hari Anak Nasional: Kisah-Kisah Anak Yang Menikah Dini Di Kamp Pengungsian Palu – BBC News Indonesia.” BBC News Indonesia, 22 July 2019, https://www.bbc.com/indonesia/majalah-49055764
“Anak Penyintas Tsunami Palu Suarakan Stop Pernikahan Anak Dalam Situasi Bencana Di PBB.” Save the Children Indonesia, 30 Sept. 2020, https://savethechildren.or.id/artikel/anak-penyintas-tsunami-palu-suarakan-stop-pernikahan-anak-dalam-situasi-bencana-di-pbb
“ASEAN Gender Outlook 2024 Achieving the SDGs for All and Leaving No Woman or Girl Behind.” Unwomen.Org, https://data.unwomen.org/sites/default/files/documents/Publications/2024/ASEAN-gender-outlook_2024.pdf. Accessed 18 Nov. 2024
Fikri Asy’ari, Muhamad. “Abainya Implementasi Adaptasi Iklim Di Indonesia | ICW.” Anti Korupsi | ICW, 24 May 2024, https://antikorupsi.org/id/abainya-implementasi-adaptasi-iklim-di-indonesia
Janjua, Haroon. “Bencana Iklim Tingkatkan Risiko Pernikahan Anak Di Pakistan – DW – 04.09.2024.” Dw.Com, Deutsche Welle, 4 Sept. 2024, https://www.dw.com/id/bencana-iklim-tingkatkan-risiko-pernikahan-anak-di-pakistan/a-70122638
Kirkegaard, Dana. “Marriage in the Forecast: The Link between Climate Change and Child Marriage – USA for UNFPA.” USA for UNFPA, https://www.facebook.com/usaforunfpa, 12 July 2021, https://www.usaforunfpa.org/marriage-in-the-forecast-the-link-between-climate-change-and-child-marriage/
Rajul, Awla. “Satu Dekade Basa-Basi Rezim Jokowi Pada Keadilan Iklim Dan Transisi Energi Berkeadilan | BandungBergerak.Id.” BandungBergerak.Id, 21 Aug. 2024, https://bandungbergerak.id/article/detail/1597832/satu-dekade-basa-basi-rezim-jokowi-pada-keadilan-iklim-dan-transisi-energi-berkeadilan
The Ohio State University. Extreme Weather Events Linked to Increased Child Marriage. The Ohio State University, 29 Aug. 2023, https://news.osu.edu/extreme-weather-events-linked-to-increased-child-marriage/
Wijaya, Agoeng, and Dody Hidayat. “COP29 Azerbaijan Prabowo Subianto | Tempo.Co.” Tempo, Tempo, 14 Nov. 2024, https://www.tempo.co/lingkungan/cop29-azerbaijan-prabowo-subianto-1167857