Ibuisme Langgengkan Domestifikasi Perempuan

Ibuisme Langgengkan Domestifikasi Perempuan

Penulis: Isthiqonita

Editor: Andi Faizah, Program Officer Inequality, Partnership and Membership INFID

Foto: Linkedin/teamlease

Aliansi Perempuan Indonesia melakukan aksi peringatan International Women’s Day pada 8 Maret 2024. Para demonstran menyoroti merosotnya demokrasi dan Presiden Indonesia ke-7, Joko Widodo, sebagai aktornya. Beberapa media meliput aksi tersebut, ditemukan berbagai komentar di salah satu akun media yang meliput aksi dengan narasi yang menstigma perempuan. Warganet menganggap perempuan yang melakukan aksi sebagai perempuan yang tidak ideal dengan alasan perempuan seharusnya mengurus rumah, masak dan cari resep baru, hingga urus suami dan urus anak. 

Perempuan yang kritis dan lantang bersuara menyampaikan ketidakadilan dianggap tidak ideal, norma patriarkal memandang bahwa perempuan harus patuh dan tidak melawan. Hal ini merupakan salah satu warisan ibuisme yang dikembangkan pemerintahan Soeharto di masa Orde Baru. Istilah ibuisme dimunculkan oleh Nieuwenhuis Djajadiningrat di dalam artikel “Ibuism and Priyayization: Path to Power?” (1987). Artikel tersebut salah satunya membahas peran dan tanggung jawab ibu dari kelas priyayi yang bertanggungjawab menjaga martabat suami mereka dengan cara menjaga dan mengatur simbol-simbol status (umumnya berbentuk perhiasan, batik, dan rumah) sesuai ketentuan adat. Suami dari kalangan priyayi kemudian menikmati akses kekuasaan, dan istri berkewajiban mendampingi suami. 

Istilah ibuisme kemudian dipopulerkan oleh Julia Suryakusuma dengan terma ibuisme negara dalam bukunya “Ibuisme Negara: Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru” (2011). Ibuisme adalah ideologi gender yang memosisikan istri sebagai penanggung jawab ranah domestik, tugasnya adalah pendamping suami, mengurus dan membesarkan anak, serta mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Apabila istri dapat mengakses sumber ekonomi, maka statusnya hanya sebagai pencari nafkah tambahan untuk membantu suami, tugas utama tersebut tertuang dalam Panca Dharma Wanita. 

Orde Baru mereduksi peran perempuan yang telah dibangun di era sebelumnya. Pada 22 Desember 1928, Kongres Perempuan di Indonesia pertama kali dilakukan, kongres tersebut membahas perkawinan anak, pendidikan bagi perempuan, taklik (perjanjian) dalam pernikahan Islam, poligami, hingga tunjangan untuk janda dan anak yatim. Isu perempuan juga disoroti oleh gerakan perempuan lainnya, salah satunya Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) yang didirikan pada 1954. Gerwani melakukan protes terhadap praktik pergundikan serta pelecehan dalam perkawinan. Gerwani juga mengagendakan perjuangan perempuan untuk mendapat hak setara dalam perkara tanah, mendapatkan kesempatan serupa laki-laki dalam pekerjaan, serta mendapat hak menduduki jabatan politik (Tirto.id, 2017).

Semangat revolusioner terkait isu perempuan yang dibawa Gerwani perlahan dimatikan seiring penumpasan Partai Komunis Indonesia (PKI) sejak 1965. Propaganda terhadap perempuan Gerwani terus disebarkan, mereka digambarkan sebagai perempuan yang tidak bermoral, kejam, dan mengalami penyimpangan seksual. Beralih ke era Soeharto, peran ibu ditafsirkan lewat program-program pembangunan Orde Baru dan organisasi bentukan pemerintah macam Dharma Wanita yang beranggotakan istri dari Pegawai Negeri Sipil (PNS). Soeharto kembali melekatkan perempuan sebagai individu yang selalu ikut suami, perempuan harus terlibat dalam pembangunan negara pun tidak dilepaskan dari predikatnya sebagai pendamping suami. Urusan domestik dianggap sebagai kodrat dan kewajiban perempuan yang menempatkan perempuan di rumah dan semakin tersingkir di ruang publik. Perempuan tidak bisa berdiri sendiri dengan identitas atau kemampuannya karena diharuskan berada dalam hubungan entah itu sebagai istri atau sebagai ibu dari anak. Perempuan juga semakin dijauhkan dari sumber ekonomi yang mengakibatkan ketergantungan pada penghasilan suami, ketika terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) perempuan terpaksa bertahan karena tidak berdaya dan terbiasa ketergantungan kepada suami. 

Selain melalui Dharma Wanita untuk istri pegawai negeri, pemerintah Soeharto juga mengontrol perempuan-perempuan di akar rumput melalui Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) yang didirikan pada 1961. Pembinaan adalah bahasa politik khas Orde Baru untuk menyatakan pengarahan dan pengontrolan, dilandasi dengan kepentingan ketahanan nasional untuk mengamankan pembangunan. PKK menjadi sarana memobilisasi perempuan untuk mendukung pembangunan negara dan mengharuskan mereka melakukan tugas tersebut secara suka rela (tanpa upah apalagi gaji tetap). Meskipun dilibatkan dalam ruang sosial, namun perempuan tetap dilekatkan dengan statusnya sebagai penanggung jawab keluarga dan tidak memiliki hak mendapat penghasilan. Baik Dharma Wanita maupun PKK lebih banyak tidak secara terbuka menentang penindasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh negara melalui kebijakan-kebijakannya.

Ibuisme Langgengkan Stigma kepada Perempuan Pembela HAM

Peran ibu yang dibentuk dan secara terus-menerus dicitrakan oleh Orde Baru masih bertahan hingga kini. Dalam peringatan Hari Gerakan Perempuan  pada setiap tanggal 22 Desember misalnya, kerap diekspresikan dengan rasa terima kasih karena jasa ibu dalam peran domestik dan pengasuhan. Perayaannya juga sering kali diisi dengan kegiatan yang mengukuhkan domestifikasi perempuan seperti lomba memasak atau merangkai bunga dan lain sebagainya ketimbang diperingati sebagai gerakan perempuan yang melakukan kongres pertama di Indonesia dengan pembahasan hak-hak perempuan. Citra ibu yang ideal juga memengaruhi cara pandang terhadap perempuan yang kritis dan berani melawan ketidakadilan, khususnya yang dialami perempuan pembela HAM (PPHAM). 

Komisioner Anti Kekerasan Terhadap Perempuan  (Komnas Perempuan) mendefinisikan PPHAM sebagai perempuan yang membela HAM Perempuan dan HAM pada umumnya dan setiap orang (perempuan, laki-laki, dan/atau jenis kelamin lainnya) yang berjuang untuk penegakan dan pemajuan hak asasi khususnya hak asasi perempuan. Upaya pembelaan ini dapat dilakukan baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama atau berkelompok (Komnas Perempuan, 2022).

Dalam catatan yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan, Perempuan Pembela HAM Berjuang dalam Tekanan (2007), PPHAM kerap alami serangan terhadap perannya sebagai ibu, istri, bahkan anak perempuan. Serangan tersebut bertujuan untuk mengikis kredibilitas PPHAM dengan mempertentangkannya dengan citra perempuan ideal, yaitu anak perempuan yang berbakti pada orang tua, istri yang patuh pada suami, dan ibu yang bertanggungjawab terhadap anak-anaknya. Selain berhadapan dengan tuntutan yang besar untuk memenuhi peran domestik, PPHAM juga dituntut untuk selalu siap menyediakan waktunya bagi kerja-kerja pendampingan korban dan komunitas. Akibatnya keputusan untuk membatasi jam kerja menyebabkan perempuan pembela HAM mengalami tekanan psikologis dari lingkungan kerjanya. Apalagi bila lembaga tempat ia bekerja memiliki SDM yang terbatas sementara harus mendampingi banyak kasus (Komnas Perempuan, 2007).

Karena perempuan dilekatkan perannya sebagai ibu dan istri, maka perempuan yang tidak menyandang status perkawinan dikerdilkan kredibilitasnya, baik yang tidak pernah menikah, atau perempuan yang berstatus ibu tunggal. PPHAM yang tidak berada dalam status perkawinan mengalami berbagai stigma. Mereka dianggap sebagai perawan tua, pembenci laki-laki, orientasi seksualnya dipertanyakan, dituduh liberal karena tidak menghargai institusi perkawinan. PPHAM yang mengalami trauma dalam rumah tangga kemudian memilih bercerai juga tidak divalidasi perasaannya dan dituduh sebagai barisan sakit hati yang gagal mempertahankan rumah tangganya. Stigma yang dialami oleh PPHAM berbuah diskriminasi, kekerasan, hingga persekusi yang dilakukan oleh orang terdekatnya, seperti keluarga hingga tindakan yang secara sistematis dilakukan oleh masyarakat dan negara. Komnas Perempuan mencatat setidaknya terdapat 101 kasus kekerasan terhadap perempuan pembela HAM dalam rentang waktu 2013 – 2023.

Orde Baru Tumbang, Ibuisme Bertahan

Setelah Orde Baru tumbang, berbagai gerakan perempuan yang selama ini diredam mulai bangkit kembali. Berbagai regulasi yang memiliki keberpihakan pada kesetaraan dan keadilan juga mulai menggema. Misalnya Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), UU ini mengakui bahwa setiap orang, termasuk perempuan, memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dari diskriminasi dan kekerasan, serta hak atas kebebasan untuk hidup dalam martabat dan kebebasan. Perempuan memiliki hak yang setara dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam hal pendidikan, pekerjaan, dan perlindungan dari tindak kekerasan. 

Kemudian Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Terhadap Rumah Tangga (UU PKDRT) yang disahkan tanggal 14 September 2004 dan diundangkan pada 22 September 2004. UU PKDRT mengubah cara pandang dan kebijakan bahwa negara harus terlibat jika terjadinya kekerasan terhadap perempuan di ranah domestik. Ada pula Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, kebijakan ini mengatur tentang hak-hak perempuan dalam dunia kerja, termasuk hak atas kesetaraan upah, kesempatan yang sama dalam promosi jabatan, dan perlindungan dari diskriminasi. UU ini juga mengatur tentang hak-hak ibu hamil dan menyusui, seperti cuti hamil, cuti melahirkan, dan perlindungan bagi pekerja perempuan dari pemutusan hubungan kerja (PHK) selama masa kehamilan.

Berbagai kebijakan yang telah ada tersebut tidak lepas dari peranan PPHAM. Mereka melakukan pengorganisasian dalam mengadvokasi kebijakan yang berpihak pada perempuan dan kelompok rentan lainnya. Namun, tumbangnya Orde Baru tidak serta merta menghapus ideologi ibuisme yang telah tertanam lebih dari 3 dekade. Beberapa kebijakan yang melanggengkan domestikasi perempuan masih dipertahankan, bahkan kebijakan baru yang disahkan juga tidak lepas dari ideologi ibuisme. Pasalnya, runtuhnya Orde Baru diiringi dengan bangkitnya kelompok konservatif yang ingin mempertahankan kebijakan-kebijakan diskriminatif terhadap perempuan. Implikasinya, kebijakan-kebijakan yang ada masih sarat terhadap domestifikasi perempuan. 

Misalnya, Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Seribu Hari Pertama Kehidupan (UU KIA) yang telah disahkan 4 Juni 2024. Menurut Komnas Perempuan, UU KIA meneguhkan perspektif pembakuan peran domestik perempuan, salah satunya ditunjukkan dengan perumusan mengenai hak ibu dan ayah. UU ini hanya menyebutkan hak atas pendidikan pengembangan wawasan pengetahuan dan keterampilan tentang perawatan pengasuhan, pemberian makan dan tumbuh kembang anak sebagai hak ibu, tapi tidak menjadi hak ayah. Contoh lain dari kecenderungan pembakuan domestikasi perempuan juga tampak pada penambahan hak cuti pengasuhan anak yang lebih besar bagi perempuan dibandingkan dengan laki-laki. UU KIA mengatur cuti perempuan pekerja karena hamil dan melahirkan hingga 6 bulan, dari 3 bulan yang diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Sementara itu, cuti untuk suami/ayah hanya bertambah dari 2 hari menjadi mungkin ditambah tiga hari atau sesuai kesepakatan (Alimatul Qibtiyah, 2024).

Ada pula Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang juga belum disahkan dan mandek di DPR selama 20 tahun. PRT yang didominasi perempuan tidak dianggap sebagai pekerja, tetapi ‘asisten’ atau ‘pembantu’, sehingga tidak mendapatkan hak dan perlindungan sebagaimana yang diterima oleh pekerja formal. Hal ini mengukuhkan pandangan bahwa pekerjaan domestik adalah kewajiban alami perempuan, bukan pekerjaan yang harus diakui dan dilindungi secara hukum.

Perlu langkah yang sistematis untuk melawan ideologi ibuisme, salah satunya dengan mengubah cara pandang peran perempuan dalam keluarga dan masyarakat. Sebagai warga negara, perempuan memiliki hak untuk berpartisipasi, berekspresi, berpendapat, dan negara harus menjamin hak-hak tersebut. Termasuk kepada PPHAM agar aktivisme dan kerja-kerjanya yang berisiko  juga dilindungi. 

“Pergerakan dan perjuangan perempuan dalam melawan ketidakadilan sudah dimulai sejak beberapa puluh tahun yang lalu. 22 Desember 1928 di kongres pertama perempuan Indonesia menyatakan dan mempertegas hak-hak perempuan dalam ruang publik. Perempuan bukan penanggung jawab pekerjaan rumah tangga. Perempuan dilahirkan bukan hanya menjadi Ibu dan Istri, tetapi perempuan dilahirkan juga untuk menjadi dirinya sendiri,” ujar Dewan Pengurus INFID, Listyowati. 

Pembakuan peran gender sudah sepatutnya dimusnahkan. Regulasi-regulasi yang mendukung kesetaraan dan keadilan harus terus didorong sehingga peranan domestik menjadi tanggung jawab semua pihak. Penting pula memastikan perempuan untuk memiliki akses yang setara dalam pekerjaan, pendidikan, dan kehidupan sosial tanpa rasa bersalah karena memilih untuk tidak terikat pada peran “ibu” yang kaku.

Referensi

Amindoni, Ayomi, and Anindita Pradana. “Sejarah Gerwani Sebagai Organisasi Perempuan Progresif Pasca Peristiwa G30S – BBC News Indonesia.” BBC News Indonesia, 30 Sept. 2021, https://www.bbc.com/indonesia/media-58731310 

Ardanareswari, Indira, and Fadrik Aziz Firdausi. Bangsawan Perempuan Penguasa Keuangan Keraton Jawa. Tirto.id, 18 June 2021, https://tirto.id/bangsawan-perempuan-penguasa-keuangan-keraton-jawa-ggLJ 

Djayadiningrat-Nieuwenhuis. “Ibuism and Privatization Path to Power,” dalam Elsbeth Locher-Sholten dan Anke Niehof (eds), Indonesian Women in Focus. Holland: Foris Publication, 1987.

Handayani, Maulida Sri, and Patresia Kirnandita. “Aksi Gerwani Dan Serikat-Serikat Perempuan Lainnya.” Tirto.Id, Tirto.id, 5 Oct. 2017, https://tirto.id/aksi-gerwani-dan-serikat-serikat-perempuan-lainnya-cxz4 

Kirnandita, Patresia, et al. Bagaimana Orde Baru Mereduksi Peran Kaum Ibu? Tirto.id, 22 Dec. 2022, https://tirto.id/bagaimana-orde-baru-mereduksi-peran-kaum-ibu-cBXR 

“Komnas Perempuan.” Komnas Perempuan | Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, 6 June 2024, https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/siaran-pers-komnas-perempuan-tentang-undang-undang-kesejahteraan-ibu-dan-anak-pada-fase-seribu-hari-pertama-kehidupan 

Misbahul Pratiwi, Andi. “Julia Suryakusuma: Ibuisme Negara Adalah Perkawinan Antara Feodalisme Dan Kapitalisme.” Jurnal Perempuan, 7 Oct. 2015, https://www.jurnalperempuan.org/warta-feminis/julia-suryakusuma-ibuisme-negara-adalah-perkawinan-antara-feodalisme-dan-kapitalisme 

Sinombor, Sonya Hellen. “Perempuan Pembela HAM Masih Hadapi Ancaman Kriminalisasi, Termasuk Ancaman Nyawa.” Kompas.Id, 29 Nov. 2024, https://www.kompas.id/artikel/perempuan-pembela-ham 

Soetjipto, Ani W and Adelina, Shelly. “Suara dari Desa Menuju Revitalisasi PKK”. Program Studi Kajian Gender Program Pascasarjana Universitas Indonesia dan Yayasan Tifa, 2013.  

Uyun, Dhia Al. “Terjebak ‘Ibuisme’: Mampukah Dharma Wanita Menjadi Organisasi Progresif Dalam Perjuangan Kesetaraan Gender?” The Conversation, 5 Dec. 2023, https://theconversation.com/terjebak-ibuisme-mampukah-dharma-wanita-menjadi-organisasi-progresif-dalam-perjuangan-kesetaraan-gender-216829

Yuri Cahyani, Dewi. PEREMPUAN PEMBELA HAM: Berjuang Dalam Tekanan. Komnas Perempuan, 2007.