9 Rekomendasi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Keuangan Global, Pengentasan Utang, dan Transisi Hijau yang Berkeadilan
SIARAN PERS JELANG KTT G20 2025
17 November 2025
Jakarta (17/11) – Pertemuan puncak G20 2025 akan digelar di Johannesburg, Afrika Selatan pada 22-23 November 2025. Tahun ini, pemerintah Afrika Selatan mengangkat tema utama “Solidaritas, Kesetaraan, dan Keberlanjutan (Solidarity, Equality, and Sustainability)” dan kembali memastikan ketimpangan sebagai agenda utama G20.
Koalisi masyarakat sipil Civil 20 (C20) Indonesia mendorong peran dan kepemimpinan Pemerintah RI yang kuat pada G20 dalam komitmen solidaritas pengentasan utang luar negeri bagi negara Selatan-Selatan, transisi energi berkeadilan, serta reformasi institusi keuangan global. Seruan ini disampaikan melalui diskusi publik bertajuk “Menguatkan Peran Indonesia di G20 untuk Tatanan Global yang Adil dan Seimbang” pada 17 November 2025 di Jakarta. Selain koalisi masyarakat sipil, kegiatan ini juga menghadirkan akademisi, media, serta perwakilan Kementerian Luar Negeri RI dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI yang terlibat dalam G20.

Dunia saat ini sedang dibayangi krisis akibat utang. Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa urusan Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) mencatat kenaikan utang pemerintah secara global mencapai USD 102 triliun di tahun 2024, meningkat USD 5 triliun dari tahun 2023. Nilai nominal utang negara berkembang meningkat dua kali lebih cepat dibandingkan negara maju.
Tingginya beban biaya utang menjadi perhatian serius masyarakat sipil di Presidensi G20 2025. Pada tanggal 14 Oktober 2025, INFID bersama dengan 165 masyarakat sipil dari berbagai negara mengirimkan surat kepada Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa selaku Presidensi G20 2025. Isinya menyerukan tindakan nyata di bawah kepemimpinan Afrika Selatan untuk mengatasi krisis utang yang semakin parah di negara-negara Selatan, terutama di Afrika.
Masyarakat sipil menyoroti negara-negara berkembang menghadapi beban utang yang tidak berkelanjutan, biaya pinjaman tertinggi dalam dua dekade, dan pembayaran bunga yang menggerus anggaran untuk kesehatan, pendidikan, serta pembangunan. Meskipun G20 telah memiliki Common Framework, mekanismenya dinilai lambat, tidak adil, dan belum mampu memulihkan keberlanjutan fiskal.
Saat utang meningkat dan terus menumpuk, penurunan kemiskinan kian lambat, diskriminasi yang dialami kelompok rentan terutama perempuan terus meningkat, dan ketimpangan global semakin lebar. Bank Dunia (2025) melaporkan bahwa 831 juta orang di dunia masih hidup dengan kurang dari USD 3 per hari, setara sekitar Rp 546.000 per bulan. Tujuan SDGs yang manargetkan tahun 2030 tidak ada lagi orang miskin, terancam gagal.
Di sisi lain, sistem keuangan global saat ini juga telah memperdalam ketimpangan dari segi distribusi kekayaan yang terkonsentrasi di negara-negara maju. Di Indonesia, berdasarkan laporan Indonesia Institute for Sustainable Development (IISD, 2023), nilai Comprehensive Wealth Index (CWI) Indonesia selama 25 tahun terakhir mencatatkan pertumbuhan rata-rata sebesar 4,3% per tahun. Namun dalam periode yang sama rata-rata pertumbuhan PDB riil per kapita hanya sebesar 2,8% per tahun. Kondisi ini menunjukkan bahwa Indonesia belum mendapatkan manfaat optimal dari peningkatan kekayaannya. Sistem perpajakan global masih berpihak pada negara-negara maju dan kelompok ultra kaya, sehingga tidak mampu memberikan potensi pajak yang signifikan untuk negara-negara berkembang.
Di tengah meningkatnya kompetisi global atas mineral kritis dan kebutuhan pendanaan transisi energi, G20 memiliki peran strategis untuk memastikan bahwa agenda industrialisasi hijau tidak hanya menguntungkan negara maju, tetapi juga memberikan ruang bagi negara berkembang seperti Indonesia untuk membangun kapasitas domestik, memperkuat tata kelola, dan melindungi hak masyarakat di wilayah terdampak.
Di tengah momen COP30 di Belem dan menuju G20 Summit di Johannesburg, perubahan iklim merupakan isu global yang perlu menjadi urgensi bersama yang tercermin pada aksi mitigasi yang ambisius. Gagasan transisi dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan semakin mengemuka (Down to Earth, 2025), dan dunia perlu segera mengakselerasi transisi energi, khususnya bagi G20 yang menyumbang 77% emisi gas rumah kaca global di tahun 2024 (UNEP, 2025).
Oleh karena itu, koalisi C20 mendorong kepemimpinan Indonesia dalam G20 untuk memastikan sejumlah agenda penting sebagai berikut.
Pertama, perjelas komitmen G20 dalam penghapusan utang bagi negara berpendapatan menengah dan rendah. Perlu peningkatan cakupan G20’s Common Framework for Debt Treatment dan memperkuat kerangka kerja bersama agar lebih prediktif, tepat waktu, dan terkoordinasi. G20 juga perlu meningkatkan alokasi Special Drawing Rights (SDRs), serta memastikan penggunaannya fokus pada pengentasan kemiskinan, transisi energi yang adil, pembangunan sosial, dan kesetaraan gender. Selain itu, perlu langkah reformasi lembaga-lembaga pemeringkatan (credit rating agency) yang bias dengan kepentingan negara berpendapatan tinggi.
Kedua, memastikan reformasi struktural lembaga keuangan internasional, terutama lembaga keuangan Bretton Woods agar sejalan dengan agenda pembangunan negara-negara berpendapatan menengah dan rendah. Reformasi tersebut meliputi penguatan peran negara-negara Selatan, modernisasi struktur dewan, revisi aturan kuota dan hak suara, serta pelonggaran akses terhadap sumber daya agar tidak tergantung pada formula kuota yang kaku.
Ketiga, pastikan komitmen G20 untuk memperkuat kebijakan industri di negara-negara berpendapatan menengah dan rendah.
Keempat, mendesak komitmen G20 untuk mendukung reformasi sistem perpajakan global yang lebih adil dan representatif dengan mendukung proses konvensi pajak PBB sebagai forum yang lebih inklusif. G20 juga perlu mendorong agenda penerapan pajak kekayaan (wealth tax) sebagai instrumen konkret untuk redistribusi kekayaan dan pembiayaan SDGs.
Kelima, menekankan perlunya kepemimpinan Indonesia agar pembahasan mineral kritis di G20 tidak hanya mengamankan kebutuhan negara maju, tetapi memastikan tata kelola yang transparan dan berkeadilan. Ekspansi nikel, tembaga, dan mineral kritis lainnya berisiko memunculkan korupsi, tumpang tindih perizinan, serta dampak sosial-lingkungan. Karena itu, Indonesia perlu mendorong G20 mengadopsi standar transparansi rantai pasok dan keterbukaan data perizinan untuk memperkuat akuntabilitas publik.
Keenam, menegaskan bahwa transisi energi harus berlangsung adil, termasuk adil gender, dan tidak mengulang ketidakadilan sektor ekstraktif. Hilirisasi dan investasi energi hijau perlu disertai perlindungan pekerja, kelompok perempuan, masyarakat terdampak, dan lingkungan. Indonesia perlu mendorong G20 memperluas pembiayaan energi terbarukan, memastikan transfer teknologi yang adil, dan menempatkan hak serta kesejahteraan masyarakat sebagai pusat agenda transisi energi global.
Ketujuh, mendorong G20 untuk memperjuangkan (championing) isu iklim dan transisi energi sebagai jangkar utama untuk pertumbuhan ekonomi hijau global dengan memberi contoh nyata(leading by example). Penyampaian dokumen Indonesia SNDC kepada UNFCCC belum selaras dengan target 1.5 derajat Paris Agreement, sehingga diperlukan pemutakhiran target penurunan emisi ke depannya. Ambisi iklim tinggi merupakan modalitas diplomasi Indonesia yang tinggi.
Kedelapan, mendorong agar dokumen BALI COMPACT dan Bali Energy Transition Roadmap yang dihasilkan pada Presidensi G20 Indonesia 2022 perlu diterjemahkan pada kemitraan nyata yang mendukung tiga komponen utama; 1) transfer teknologi, 2) pendanaan, dan 3) peningkatan kapasitas untuk mempercepat penurunan emisi sektor energi selaras Paris Agreement.
Kesembilan, mengamplifikasi/mengadopsi keputusan formal atau inisiatif non-formal yang mendukung akselerasi energi terbarukan dan penghapusan bahan bakar fossil di COP30 sebagai agenda pembahasan G20. Salah satu contohnya, “global fossil fuel phase-out roadmap“. (END)
Narahubung:
- Meliana Lumbantoruan, Deputi Direktur PWYP Indonesia, [email protected]
- Siti Khoirun Ni’mah, Direktur Eksekutif INFID, [email protected]
- Roby Rushandie, Manajer Riset dan Pengetahuan, The PRAKARSA, [email protected]
- Mieke Verawaty, Koalisi Perempuan Indonesia, [email protected]
- Irvan Tengku Harja, Peneliti The Habibie Center, [email protected]
- Uliyasi Simanjuntak, Manajer Komunikasi, Institute for Essential Services Reform (IESR), [email protected]
Tentang Civil 20 (C20):
C20 adalah engagement group resmi dari G20 yang terdiri dari kumpulan organisasi masyarakat sipil dari seluruh dunia, khususnya negara-negara G20. Jaringan C20 Indonesia juga aktif terlibat dalam Presidensi G20 Indonesia pada 2022 yang saat itu diketuai oleh International NGO Forum on Indonesian Development (INFID). Pada G20 Afrika Selatan 2025, koalisi masyarakat sipil yang aktif dalam C20 di antaranya terdiri dari INFID, Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, The Habibie Center, The PRAKARSA, Institute for Essential Services Reform (IESR), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Kalyanamitra, dan lainnya.
