Memperkuat Resiliensi Masyarakat Sipil di tengah Menguatnya Rezim Otoritarian
SIARAN PERS

Jakarta, (25/11) – Tren global menunjukkan adanya kecenderungan pelemahan demokrasi di berbagai negara. Dalam laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) yang diluncurkan pada 2024, beberapa negara yang sebelumnya berada dalam kategori “demokrasi penuh” kini terindikasi mengalami penurunan. Sedangkan banyak negara lain tetap berada dalam kategori “demokrasi yang cacat” atau bahkan “rezim otoriter”. Di Asia Tenggara, gejala politik dinasti memperburuk kualitas demokrasi.
Di Indonesia, terjadi peningkatan represi terhadap pembela HAM, jurnalis, aktivis lingkungan, dan organisasi masyarakat sipil di berbagai daerah di Indonesia. Sepanjang 2014 ‑ 2023 terdapat 1.609 insiden terhadap pembela HAM, dengan bentuk ancaman termasuk perundungan hukum (judicial harassment), intimidasi lewat fasilitas elektronik, serta pelecehan terhadap mereka yang berani menyuarakan kritik (laporan Dark Notes on the Protection of Human Rights Defenders, 2024). Organisasi perempuan tidak luput dari represi sistemik ini. Pada tingkat daerah, perempuan pendamping komunitas yang menolak pembangunan yang merusak lingkungan atau proyek strategis kerap menghadapi intimidasi, ancaman, bahkan kekerasan fisik.
Kondisi masyarakat sipil dan demokrasi di tingkat global, regional, dan nasional ini dibahas di berbagai forum seperti International Civil Society Week (ICSW), Asia Democracy Assembly, dan Indonesia Civil Society Forum (ICSF). Berkaitan dengan itu, International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) mengadakan diskusi bertema “Resiliensi Masyarakat Sipil di tengah Menguatnya Rezim Otoritarian: Pembacaan Hasil ICSW, Asia Democracy Assembly, ICSF” pada Kamis, 25 November 2025.
Kegiatan yang juga merupakan rangkaian kegiatan peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16HAKTP) ini, dipandu oleh Direktur IRE Yogyakarta, Rajif Dwi Angga dan menghadirkan berbagai narasumber ahli, yaitu Deputy Director INFID Bona Tua, Direktur AMAN Indonesia Dwi Rubiyanti Kholifah, Pengajar Universitas Presiden Muhammad AS Hikam, dan Direktur Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) Sita Supomo.
Dalam sambutan, Direktur Eksekutif INFID Siti Khoirun Ni’mah menekankan bahwa pentingnya pembacaan kritis menyangkut situasi demokrasi serta resiliensi masyarakat sipil. Kondisi ini berkaitan dengan terjadinya tren penurunan demokrasi di bawah rezim otoritarian. Ni’mah juga menyoroti praktik democracy performative, yakni tampilan semu partisipasi publik yang berpusat pada kekuasaan elit dan tidak memberi ruang nyata bagi masyarakat sipil untuk memengaruhi keputusan politik.
Dalam pembacaan forum ICSW, Sita Supomo menyampaikan bahwa hanya sekitar 4% populasi dunia yang menikmati kebebasan untuk mengorganisasi diri, memobilisasi, dan menyuarakan pendapat. Forum tersebut juga menyoroti kondisi global saat ini, termasuk meningkatnya otoritarianisme, kekerasan terhadap pembela HAM dan jurnalis, penyebaran disinformasi, konsentrasi kekayaan di tangan elit, manipulasi politik, hak-hak perempuan yang mengalami kemunduran, serta krisis iklim yang memperdalam ketidakadilan.
Sita menambahkan bahwa forum ICSW membahas tantangan krisis pendanaan yang mengancam keberlanjutan organisasi masyarakat sipil. “Krisis pendanaan masyarakat sipil bukan sekadar masalah finansial, tetapi juga krisis demokrasi. Dampaknya terlihat pada melemahnya organisasi masyarakat sipil, berkurangnya perlindungan bagi pembela HAM, menyempitnya ruang aman bagi kelompok rentan, serta berkurangnya daya tawar masyarakat sipil terhadap negara,” jelasnya.
Dwi Rubiyanti Kholifah menyoroti pentingnya keterlibatan orang muda dalam mendorong pemerintahan yang demokratis. Merefleksikan hasil forum Asia Democracy Assembly, ia mengungkapkan bahwa Gen Z movement menggunakan media sosial, humor politik, dan mobilisasi yang cepat untuk menggungat pemerintah. “Sangat penting untuk memikirkan keberlanjutan gerakan orang muda. Di berbagai negara, orang muda memiliki cara-cara yang sangat unik dalam melakukan perlawanan,” imbuhnya.
Catatan dari forum ICSF 2025, Bona Tua menjelaskan bahwa pada 2025 masyarakat sipil berada dalam posisi yang terpinggirkan, yaitu minimnya pelibatan bermakna dan tantangan mengenai sumberdaya. Bona menekankan, makna utama resiliensi masyarakat sipil bukan hanya kemampuan untuk bertahan, tetapi juga kemampuan bertransformasi agar dapat menjadi lebih kuat atau melenting saat menghadapi tantangan serupa di masa depan. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa masyarakat sipil perlu secara terus-menerus melakukan konsolidasi politik, dengan fokus utama tidak hanya pada capaian administratif seperti akuntabilitas lembaga dan kaderisasi, tetapi juga fokus utama pada kemampuan memiliki posisi tawar politik dan negosiasi terhadap pemerintah dan pengambil kebijakan.
Muhammad AS Hikam menyoroti fenomena otokratisasi, yang menggambarkan strategi kekuasaan yang lebih canggih karena memanipulasi hukum secara terencana untuk melemahkan institusi pengawas dan pengontrol kekuasaan. Di Indonesia, hukum kerap dimanfaatkan oleh penguasa untuk merepresi masyarakat sipil. Selain itu, otokratisasi terlihat melalui revisi undang-undang yang melemahkan kontrol publik serta pengendalian dunia akademik, yang berdampak pada pembatasan partisipasi publik.
Dalam membahas masyarakat sipil, Hikam menekankan bahwa kelompok-kelompok di dalamnya memiliki kepentingan yang beragam, sehingga perlu kehati-hatian dalam menentukan mana yang akan dipersatukan dalam sebuah gerakan politik. Ia mengungkapkan, “Ada pluralitas dalam masyarakat sipil yang sifatnya kontradiktif. Kelompok masyarakat sipil pro demokrasi bisa menjadi kekuatan yang akan bernegosiasi dengan kekuatan politik dan hal ini yang perlu diperbesar.”
Masyarakat sipil penting untuk berefleksi terhadap kapasitas dan potensi masyarakat sipil untuk memperkuat solidaritas kolektif. Organisasi masyarakat sipil juga memiliki peran penting dalam membentuk kesadaran politik di tingkat akar rumput untuk mendorong masyarakat yang kritis. (END)
Narahubung:
Andi Nur Faizah, Research and Public Education Lead INFID, [email protected]
Tentang INFID:
International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) merupakan organisasi non-pemerintah berbasis anggota sejak tahun 1985. Sebagai forum organisasi masyarakat sipil di Indonesia, INFID mendorong pembangunan berkeadilan yang diwujudkan melalui demokrasi, kesetaraan, keadilan sosial, perdamaian, serta terjamin dan terpenuhinya Hak Asasi Manusia di tingkat nasional dan global. INFID mewujudkan visi tersebut melalui serangkaian kegiatan yang akuntabel, berbasis bukti, dialogis bersama anggotanya, serta mengedepankan solidaritas dan kesetaraan. INFID memiliki 80 anggota di seluruh Indonesia dan Special Consultative Status untuk UN ECOSOC.
Media Sosial:
Instagram infid_id
Twitter infid_id
Facebook infid
Youtube INFID TV
Linkedin International NGO Forum on Indonesian Development (INFID)
Website www.infid.org