APFSD 2025: Akselerasi Pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) di Kawasan Asia-Pasifik

APFSD 2025: Akselerasi Pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) di Kawasan Asia-Pasifik

(Foto Pembukaan kegiatan APFSD 2025 di UN Conference Center, Sumber: Dok. INFID)

Oleh: Intan Kusumaning Tiyas

Forum Pembangunan Berkelanjutan Asia-Pasifik (APFSD) merupakan forum tahunan antar-pemerintah yang inklusif di kawasan Asia-Pasifik.  Forum ini mendukung tindak lanjut dan peninjauan kemajuan Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan serta Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) di tingkat regional. Diselenggarakan oleh Komisi Ekonomi dan Sosial untuk Asia dan Pasifik (ESCAP) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), APFSD memberi informasi, memberdayakan, dan mendukung negara-negara Asia-Pasifik, terutama negara-negara berkembang, negara-negara kurang berkembang, dan negara-negara kepulauan kecil, dalam mencapai 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dan targetnya.  APFSD mencapai hal ini dengan mengidentifikasi tren regional dan berbagi praktik terbaik.

APFSD ke-12, yang berlangsung di Bangkok pada 25-28 Februari 2025, mengangkat tema “Advancing sustainable, inclusive, science and evidence-based solutions for the 2030 Agenda and its SDGs for leaving no one behind in Asia and the Pacific”.  Forum ini mengumpulkan berbagai pihak, termasuk badan-badan PBB, negara-negara anggota di Asia Pasifik, organisasi internasional, masyarakat sipil, dan pemangku kepentingan lainnya.  Hasilnya akan memberikan masukan penting bagi Forum Politik Tingkat Tinggi (HLPF) 2025 di New York, yang meninjau kemajuan pembangunan berkelanjutan global.

Sejalan dengan fokus HLPF 2025, APFSD mengevaluasi kemajuan regional pada SDGs yang sedang ditinjau: Tujuan 3 (kesehatan yang baik dan kesejahteraan), 5 (kesetaraan gender), 8 (pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi), 14 (kehidupan di bawah air), dan 17 (kemitraan untuk tujuan).

Berikut adalah pesan-pesan kunci yang dihasilkan pada APFSD 2025:

  1. Kemajuan SDGs di Asia-Pasifik harus dipercepat melalui penguatan komitmen nasional, peningkatan investasi, dan solusi yang memperhatikan keragaman wilayah serta mempromosikan gaya hidup berkelanjutan;
  2. Kerja sama regional yang kuat dalam pembiayaan untuk pembangunan, transformasi digital, dan keadilan antargenerasi, didukung oleh akses teknologi yang adil, sesuai dengan Pact for the Future , akan memungkinkan negara-negara untuk akselerasi kemajuan menuju Tujuan;
  3. Voluntary National Review (VNR) yang inklusif dan berbasis bukti, dengan keterlibatan pemangku kepentingan yang kuat dari pemerintah, sektor swasta, masyarakat sipil, dan akademisi, sangat penting untuk menilai kemajuan SDGs dan mengidentifikasi kesenjangan, serta untuk pengambilan keputusan berbasis data;

Capaian SDGs di Asia Pasific

Kemajuan menuju 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) di Asia dan Pasifik masih jauh dari harapan. Kemajuan pada sebagian besar target masih lambat dan bahkan stagnan meskipun telah ada upaya yang dilakukan untuk mempercepat kemajuan pada implementasi dan capaian SDGs. Kemajuan pada beberapa tujuan masih sangat lambat, terutama pada konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab (Tujuan 12), pendidikan berkualitas (Tujuan 4), dan pekerjaan yang layak serta pertumbuhan ekonomi (Tujuan 8).

Faktor utama yang mempengaruhi stagnasi ini meliputi meningkatnya subsidi bahan bakar fosil, rendahnya kemampuan membaca dan matematika, serta pola produksi yang tidak berkelanjutan. Selain itu, tren negatif pada indikator lingkungan, seperti manfaat ekonomi dari perikanan berkelanjutan dan tingkat degradasi lahan, menghambat kemajuan pada ekosistem lautan (Tujuan 14) dan ekosistem daratan (Tujuan 15).

Kemunduran yang mengkhawatirkan juga terlihat pada penanganan perubahan iklim (Tujuan 13) yang dipicu oleh kerentanan terhadap bencana dan emisi gas rumah kaca yang terus berlanjut, yang menyumbang setengah dari polusi di seluruh dunia.

Namun, kawasan Asia-Pasifik telah membuat kemajuan yang signifikan pada industri, inovasi, dan infrastruktur (Tujuan 9) serta kehidupan sehat dan sejahtera (Tujuan 3), didorong oleh akses yang lebih luas ke jaringan seluler dan peningkatan dalam kesehatan ibu, bayi, serta anak. Hal ini menunjukkan bahwa investasi yang terarah dan kebijakan yang efektif pada tujuan tersebut telah dilaksanakan.

Jika dibandingkan dengan kawasan lainnya, Asia-Pasifik telah menunjukkan kemajuan yang cukup signifikan pada beberapa tujuan dan target. Misalnya, Asia-Pasifik memimpin kemajuan pada Tujuan 1 (terutama untuk pengurangan kemiskinan pendapatan), Tujuan 2 (untuk mengurangi prevalensi kekurangan gizi), Tujuan 9 (untuk volume penumpang dan barang serta industri kecil dengan pinjaman atau jalur kredit), Tujuan 12 (untuk mengurangi limbah berbahaya yang dihasilkan), Tujuan 15 (untuk memperlambat degradasi lahan), dan Tujuan 16 (untuk mengurangi jumlah korban perdagangan manusia dan pembunuhan yang disengaja). Namun, kawasan Asia-Pasifik tertinggal secara signifikan dibandingkan dengan kawasan lain dalam kemajuan pada Tujuan 8, 13, 14, dan 17.

Penilaian kemajuan di tingkat negara menunjukkan bahwa manfaat pembangunan sering kali tidak menjangkau kelompok rentan, dengan faktor-faktor saling terkait seperti usia, gender, pendidikan, lokasi, dan tingkat kemiskinan yang mempengaruhi ketimpangan sosial. Data survei rumah tangga mengungkapkan bahwa kemiskinan dan tingkat pendidikan adalah faktor paling signifikan yang berkontribusi terhadap ketimpangan kesempatan. Kedua keadaan ini sering kali berkelindan dengan faktor lain seperti lokasi, jenis kelamin, dan usia dalam memperburuk ketimpangan. Misalnya, rumah tangga yang lebih miskin, terletak di daerah pedesaan, dan memiliki tingkat pendidikan lebih rendah adalah yang paling dirugikan dalam mengakses layanan dasar seperti air bersih, sanitasi, dan energi bersih. Pembuat kebijakan memerlukan data yang komprehensif untuk memetakan realitas kelompok populasi tertentu.

Kemitraan antara pemerintah, mitra pembangunan, dan komunitas lokal di kawasan Asia-Pasifik telah menerapkan pendekatan inovatif untuk menjembatani kesenjangan informasi dan meningkatkan pemantauan SDG. Inisiatif-inisiatif ini telah memperkuat suara kelompok rentan dalam proses pengambilan keputusan serta memberi mereka peran dalam menghasilkan data agar pembuat kebijakan dapat merespons kebutuhan mereka dengan lebih baik.

 Gambar 1. Capaian SDGs di Asia Pasifik

Situasi Pelaksanaan dan Pencapaian SDGs di Indonesia 

Sejak Oktober 2024, Indonesia telah terdaftar menjadi salah satu negara yang akan menyusun dan mempresentasikan VNR 2025 yang memuat praktik baik, tantangan, dan kemajuan implementasi SDGs pada HLPF 2025 di New York. Namun, pada gelar APFSD 2025, delegasi Indonesia yang berasal dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Bappenas belum menyampaikan proses implementasi dan kemajuan SDGs di Indonesia. Padahal, APFSD merupakan forum regional yang diselenggarkan khusus untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi tren regional terkait tantangan, kemajuan serta praktik baik dalam implementasi SDGs di negara-negara Asia-Pasifik.  

Indonesia yang diwakili oleh Wakil Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas menyampaikan poin dalam rangka percepatan pencapaian agenda 2030 yaitu “menegaskan kembali komitmen terhadap aksi kolektif pencapaian 2030 agenda dan menyadari urgensi untuk mengatasi tantangan ekonomi, sosial, dan lingkungan yang terus memengaruhi jutaan orang di wilayah Asia-Pasifik”. Disampaikan juga terkait komitmen Indonesia terhadap implementasi SDG menuju tahun 2030, yaitu: 

  1. Indonesia, sebagai negara kepulauan, menekankan Ekonomi Hijau dan Biru sebagai pendorong utama pembangunan berkelanjutan. Ekonomi Hijau dan Biru bukan hanya peluang ekonomi semata; ini adalah kebutuhan untuk mencapai SDGs, terutama SDG 14, SDG 13, dan SDG 8.
  2. Sebagai salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang kaya akan keanekaragaman hayati, Indonesia menyadari bahwa daratan dan lautan sangat penting bagi kemakmuran ekonomi, ketahanan iklim, keanekaragaman hayati, serta kesejahteraan rakyat.
  3. Indonesia berkomitmen untuk melestarikan, mengelola, dan memanfaatkan daratan serta lautan secara berkelanjutan demi pertumbuhan ekonomi, perlindungan lingkungan, dan inklusi sosial.

Pemerintah Indonesia juga menyelenggarakan side-event yang berjudul “Multi-Stakeholder Partnerships to Achieve Economic Resilience for Women and People with Disabilities”. Dalam side-event tersebut pemerintah berkolaborasi dengan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS), dan sektor swasta (Aisyiyah, Yayasan BaKTI, dan Nikel USAID) untuk mengeksplorasi praktik baik peran kemitraan multi-stakeholder dalam mengurai hambatan signifikan partisipasi ekonomi dan memperkuat ketahanan ekonomi bagi perempuan dan penyandang disabilitas di tingkat lokal. 

Peran Organisasi Masyarakat Sipil

Gambar 2. Side-event VNR and Gender Equality (Sumber: Dok. INFID)

Perwakilan OMS dari seluruh negara di Asia-Pasifik, terutama negara-negara yang akan menyampaikan VNR di HLPF 2025 turut berperan pada APFSD 2025. Sebagai salah satu perwakilan OMS dari Indonesia, INFID juga turut menjadi salah satu panelist dalam side-event yang berjudul VNR and Gender Equality. Side-event ini diselenggarakan oleh Action for Sustainable Development (A4SD), Asia Civil Society Partnership for Sustainable Development/SDGs (APSD) dan bertujuan untuk membahas tantangan signifikan dalam mengintegrasikan pendekatan responsif gender ke dalam proses VNR dan mencapai hasil yang bermakna bagi perempuan dan kelompok marjinal.

Selain meyampaikan hambatan capaian Tujuan 5 dalam kerangka tata kelola dan hambatan integrasi gender equality pada proses VNR, INFID juga menyampaikan 3 rekomendasi peningkatan implementasi SDGs seusai dengan kondisi terkini, yaitu: 

  1. Meningkatkan Komitmen Pendanaan, Terutama ODA, di Tengah Menurunnya Dukungan Internasional. Negara-negara seperti Jepang, China, Inggris, Eropa, dan Australia harus menegaskan kembali komitmen untuk mencapai target Bantuan Pembangunan Resmi (ODA) sebesar 0,7% dari Pendapatan Nasional Bruto (GNI). 
  2. Mendorong Enabling Environment di Asia-Pasifik. UNESCAP harus mendorong pembentukan regulasi spesifik yang mendukung implementasi SDGs negara-negara Asia-Pasifik. 
  3. Transparansi dan Akuntabilitas. Sektor swasta harus melibatkan OMS dalam memantau pelaksanaan SDG yang dilakukan oleh entitas swasta untuk memastikan bahwa proyek pembangunan lebih akuntabel dan bermanfaat bagi publik, sejalan dengan prinsip Bisnis dan Hak Asasi Manusia.

Berikut merupakan hasil diskusi terkait dengan tantangan kesetaraan gender baik dalam implementasi SDGs maupun proses VNR di Asia Pasifik: 

  1. Data Terpilah Gender yang Terbatas: Banyak negara masih menghadapi kesulitan dalam pengumpulan data dan mekanisme pelaporan, sehingga tidak dapat mengurai tantangan spesifik yang dihadapi perempuan dan anak perempuan di seluruh indikator SDG. Tanpa data yang akurat, intervensi kebijakan yang efektif tetap terbatas.
  2. Lemahnya Pengarusutamaan Gender dalam Rencana Nasional: Meskipun kesetaraan gender diakui sebagai tema lintas sektor dalam SDGs, banyak kebijakan nasional tidak memiliki target spesifik berbasis gender, alokasi anggaran, dan mekanisme kelembagaan untuk implementasi.
  3. Tokenisme vs Keterlibatan Bermakna: Beberapa negara menyebutkan referensi gender dalam VNR tetapi tidak mendukungnya dengan komitmen kebijakan atau pendanaan.