
Dorong Implementasi Bisnis Inklusif dan Bertanggungjawab dalam Momentum ASEAN
Oleh Naztia Haryanti
Mempromosikan dan memajukan bisnis yang bertanggungjawab dalam rantai nilai pertanian serta perikanan di Asia Tenggara adalah fokus program yang dimiliki oleh GRAISEA (Gender Transformative & Responsible Business Investment in Southeast Asia). Sejalan dengan fokus programnya, maka perlu untuk mendorong langkah aktif dalam implementasi rantai nilai yang inklusif.
Bertepatan dengan berakhirnya program GRAISEA 2 di tahun kelima ini, INFID mengadakan Pertemuan Nasional Bisnis dan HAM. Pertemuan ini rutin dilakukan setiap tahunnya dengan fokus saling bertukar pandangan, informasi, serta mengidentifikasi kebutuhan serta tantangan terkait isu bisnis dan HAM bersama dengan pemangku kepentingan.
Berbicara tentang bisnis maka bicara pertumbuhan ekonomi, namun jangan sampai mengabaikan nilai-nilai hak asasi manusia. Untuk itu diperlukan hak inklusi serta bertanggungjawab untuk dapat mendorong implementasi tersebut. Sinergis dari para pemangku kepentingan sangat diperlukan agar pemenuhan HAM bisa dijalankan di seluruh sektor bisnis.
Darsyad Ikhsan dalam pidatonya mengatakan, bila ada isu-isu yang menghambat pertumbuhan ekonomi, seperti isu pekerja anak di perusahaan kelapa sawit di Sumatera, maka sudah seharusnya pemerintah bergerak untuk memberikan solusi. Salah satunya saat ini di Kementerian Hukum dan HAM sedang menyusun Peraturan Presiden, membuat gugus tugas hukum dan HAM dari pusat, dan membuat aplikasi bernama PRISMA untuk melihat risiko bisnis dan HAM.
Josephine Satyono Direktur Eksekutif Indonesia Global Compact Network (IGCN) mengatakan, penting untuk memberikan penghormatan oleh bisnis kepada HAM dan bisnis yang anti korupsi. Pentingnya peran sektor swasta dalam membangun korporat yang berkelanjutan.
Global Compact memiliki program-program percepatan seperti, SDG (Sustainable Development Goals) Innovation, dimana pihak korporasi dapat menjadi katalisator serta pendampingan selama 6 bulan. Lalu ada target kualitas gender dalam meningkatkan peran perempuan di dalam bisnis. Mendorong bisnis menjadi lebih inklusif dan bertanggung jawab seharusnya tidak hanya dilakukan oleh masyarakat sipil tetapi juga pelaku bisnis juga dapat mendorong SDG.
Dalam konteks bisnis inklusif harus juga membahas ruang dan kesempatan untuk Penyandang Disabilitas (PD) untuk bisa berpartisipasi aktif dalam kegiatan ekonomi. Rina Prasarani Wakil Presiden Kedua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Bidang Advokasi dan Peningkatan Kesadaran menjelaskan, kendala yang sering dialami perempuan penyandang disabilitas hingga saat ini adalah bentuk diskriminasi.
Bentuk diskriminasi yang dialami perempuan penyandang disabilitas karena persepsi yang salah di masyarakat, bahwa pekerja penyandang disabilitas tidak memiliki potensi dan sering dianggap sebagai beban perusahaan. Fakta lain yang membuat miris adalah terbatasnya akses keuangan bagi usaha kecil penyandang disabilitas. Kondisi ini juga ditambah dengan hambatan internal, dimana penyandang disabilitas kurang mendapat literasi keuangan dan kondisi ekonomi yang dibawah rata-rata.
Perlu diketahui bersama bahwa belum semua aplikasi digital ramah terhadap ragam disabilitas. Teknologi informasi dan komunikasi masih terlalu eksklusif yang mana hanya dapat dinikmati oleh kalangan tertentu. Seharusnya di era digital seperti saat ini, digitalisasi yang sudah ada perlu untuk disesuaikan agar memiliki perspektif disabilitas.
Andy Ardian Program Manager ECPAT Indonesia, menyoroti hak anak dalam konsep bisnis inklusif. Lebih lanjut dikatakan, ada anak-anak yang dieksploitasi secara seksual di sektor pariwisata. Dalam konteks ini, anak-anak banyak dipekerjakan untuk menjual cinderamata, namun disisi lain ada ancaman predator anak yang dapat mengintai mereka kapan saja.
Berbicara dunia ramah anak, sebenarnya ada banyak regulasi baik di nasional maupun di tingkat global. Ketika upaya mendorong hak perempuan di ranah bisnis, maka turut membawa hak anak di dalamnya. Perlu untuk digali lebih jauh prosesnya di tingkat ASEAN.
Eri Trinurini Adhi Ketua Asian Solidarity Economy Council (ASEC) mengatakan, jika berbicara hak asasi manusia sudah sangat banyak dan saling terkait dengan berbagai sektor dan isu. Hal itu pun juga sudah tersebar di berbagai dokumen, termasuk Guideline for Promotion to Inclusive Business ASEAN.
Lebih lanjut Eri menambahkan, kekurangan dari prinsip-prinsip bisnis inklusif itu ada pada kode etik atau norma-norma kemanusiaan. Di ranah sektor swasta, bisnis inklusif berada di ranah bawah, tidak benar-benar berada di posisi ekonomi sosial dan solidaritas. Maka dari itu perlu untuk menentukan posisi masyarakat dalam memperkuat advokasi bisnis inklusif.
Menjadi pelaku bisnis tidak hanya fokus kepada advokasi tetapi penting untuk menerapkan praktik-praktik bisnis yang menghargai HAM serta bertanggungjawab. Sudah saatnya pola pikir diubah, bahwa bukan hanya memikirkan keuntungan semata, tetapi juga harus mempertimbangkan inklusivitas di dalamnya. Seperti pendapat Myrna Dominguez GRAISEA 2 project coordinator of Weaving Women’s Voice in Southeast Asia (WEAVE) bahwa, bisnis yang inklusif dan bertanggungjawab layaknya sebuah pohon yang setiap pergerakan/inovasinya selalu terhubung dengan berbagai isu yang beragam.