Dorongan Implementasi Dana Bantuan Korban dan Pelayanan Korban Kekerasan Seksual

Dorongan Implementasi Dana Bantuan Korban dan Pelayanan Korban Kekerasan Seksual

Oleh: Rinto Leonardo S

Melalui Open Government Indonesia (OGI), INFID dan IJRS mendorong sebuah Rencana Aksi Nasional (RAN) terkait UU TPKS. Open Government Indonesia (OGI) merupakan sebuah inisiatif untuk mendorong pemerintah yang terbuka dan partisipatif untuk mewujudkan solusi inovatif bagi masyarakat. Inisiatif ini juga merupakan upaya keterbukaan pemerintah melalui proses ko-kreasi yang mengkolaborasikan elemen pemerintah dan elemen non-pemerintah, seperti organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan mitra pembangunan. RAN ini merupakan bagian dari solusi atas sulitnya akses korban KS ke pelayanan pemulihan dan penanganan kasus yang berkualitas. Secara spesifik, komitmen ini mendorong partisipasi publik dalam proses penyusunan dan pengarusutamaan peraturan turunan tentang Dana Bantuan Korban (DBK) dan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) yang menjadi mandat Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

 

Maraknya kasus Kekerasan Berbasis Gender (KBG) di Indonesia merupakan red flag bagi masyarakat dan negara. Menurut data Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan pada 2022, jumlah kasus Kekerasan Berbasis Gender (KBG) tertinggi dalam kurun 10 tahun terjadi pada 2021 dengan total 338.496 kasus. Angka ini meningkat 50% dari 2020.

Implementasi penanganan kasus KS seperti amanat UU TPKS masih perlu pengawalan ketat. Misalnya, kesulitan bagi korban KS dalam mengakses layanan, mulai dari pelaporan hingga pemulihan seharusnya menjadi prioritas dalam advokasi kasus KS. Terdapat 10 mandat peraturan turunan UU TPKS yang harus diselesaikan agar perlindungan dari KBG dapat berjalan maksimal secara hukum. Salah satu terobosan penting yang diatur adalah terkait Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) untuk pemberian layanan yang terjangkau, cepat, terintegrasi, dan komprehensif bagi korban KS, serta terkait kompensasi melalui Dana Bantuan Korban (DBK).

Pada Kamis, 11 Mei 2023 lalu, dengan dukungan Sekretariat OGI Bappenas, INFID bersama IJRS melaksanakan Diskusi Publik pada Side Event Open Government Week 2023 dengan judul “Penguatan Mekanisme Pemulihan dalam UU TPKS: Mendorong DBK dan UPTD PPA”. Rizka Antika, Program Officer Promoting Tolerance and Respect for Diversity INFID memoderatori diskusi ini. Narasumber merupakan perwakilan dari sejumlah institusi; Dr. Livia Istania DF Iskandar, MSc, Wakil Ketua LPSK; Margareth Robin Korwa, mewakili KemenPPPA; Sri Nurherwati S.H, pemerhati dan aktivis gender; dan Marsha Maharani, peneliti IJRS.

“Ini adalah sebuah rangkaian dukungan bagi sesuatu yang sudah diperjuangkan lama, sejak diterbitkannya UU TPKS tahun lalu. Hal ini tidak cukup sampai di sini, sehingga kita harus terus bekerja sama. Sesi kali ini, kita akan bicara spesifik tentang pemulihan, terutama terkait dana bantuan korban dan UPTD PPA. Hal ini adalah sesuatu yang menjadi mandat yang harus dilakukan. Opsinya bukan “Ya” dan “Tidak” tetapi wajib”, tegas Iwan Misthohizzaman, Direktur Eksekutif INFID dalam sesi pembuka. Peneliti IJRS Marsha Maharani menjelaskan beberapa kebutuhan dalam implementasi DBK, di antaranya:

  1. Peraturan pelaksana tentang dana bantuan korban mengatur ketentuan mengenai jalur distribusi dana bantuan korban, baik berdasarkan pendekatan wilayah maupun jenis layanan.
  2. Pembiayaan untuk layanan/program pemenuhan hak korban, perlu mengatur tipe-tipe kegiatan yang akan dibiayai. Misalnya, pada korban anak yang ingin pindah sekolah.
  3. Skema pengawasan dan evaluasi dana bantuan korban dalam peraturan pelaksana.

Sejumlah kemajuan dan tindak lanjut mekanisme DBK telah dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). “LPSK menerima audiensi dan beberapa kali masukan dari masyarakat sipil pada bulan September 2022, sehingga kami melakukan pengusulan RPP DBK ke Kemenkumham untuk masuk dalam Progsun PP 2023 yang dilakukan pada 19 September 2022. Telah dilakukan rapat koordinasi dengan Kemenpan RB dan Kemenkeu terkait kelembagaan pengelola DBK dan pengelolaan sumber dana pada 11 April 2023.” ungkap Dr. Livia Istania DF Iskandar, Wakil Ketua LPSK.

 

UU TPKS telah mengatur tentang pemulihan sebelum, selama, dan pasca proses peradilan. Beberapa kebijakan juga sudah tersusun untuk proses pemulihan dan menjadi salah satu pegangan dalam rehabilitas sosial. Terkait skema pelayanan terpadu misalnya, korban memiliki ruang untuk melapor ke polisi secara langsung atau melalui pendamping. Aktivis gender Sri Nurherwati mendorong pentingnya koordinasi oleh semua pihak terkait dan menilai pendamping merupakan garda terdepan, terdekat, dan terakhir dalam penanganan. “Selama ini, masyarakat atau pengada layanan itu mengupayakan sendiri. Sekarang sudah saatnya bagi negara untuk memfasilitasi”, tegas Nurherwati.

Terkait penyelenggaraan pelayanan terpadu, Margareth Robin Korwa, perwakilan Deputi Pemenuhan Hak Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA RI), menyatakan saat ini tengah masuk dalam pembahasan antar kementerian tahap pertama. Pada tahap ini, kementerian membahas panitia antar kementerian dalam penyediaan layanan terpadu melalui UPTD PPA. Saat ini baru terbentuk 238 UPTD PPA di kabupaten/kota seluruh Indonesia dari total 416 wilayah. “Ke depannya, UPTD PPA melalui mekanisme pelayanan satu atap bagi korban, bukan korban yang mendatangani tenaga layanan, tetapi tenaga layanan yang harus melayani melalui mekanisme on call. Butuh 2 tahun untuk merevitalisasi UPTD yang sudah terbentuk, dan 3 tahun untuk daerah yang belum memiliki UPTD PPA”, jelas Margareth.

Kerja-kerja untuk mewujudkan implementasi UPTD PPA dan DBK dalam UU TPKS tidak berhenti pada diskusi ini. INFID dan IJRS melalui komitmen no. 14 RAN OGI VII 2023-2024 akan terus melanjutkan advokasi hal ini hingga terlaksana implementasi yang efektif dan berkelanjutan.