Festival HAM, Suara yang Terpinggirkan, dan Upaya Mencari Keadilan dari Mereka yang Rentan

Festival HAM, Suara yang Terpinggirkan, dan Upaya Mencari Keadilan dari Mereka yang Rentan

Penulis: Intan Bedisa, Communication INFID

Ini Oma Agustina. Usianya 65 tahun, tinggal di Desa Kalasey Dua, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Dengan menempuh jarak 63 km atau sekitar 1,5 jam naik ‘oto’ -sebutan untuk mobil di Sulawesi Utara- yang disewakan melalui aplikasi daring oleh kawan-kawan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Manado, Oma membela-belai diri datang ke Festival HAM 2024 pada 30 Juli 2024 di Kantor Wali Kota Bitung. Niatnya hanya satu: mengadukan soal lahan di desanya yang dirampas sepihak oleh Pemerintah Sulawesi Utara.

Keterangan: Oma Agustina (65) saat menyampaikan kasus perampasan lahan yang terjadi di desanya, Desa Kalasey Dua, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara pada sesi Town Hall Meeting di Festival HAM 2024 (30/07/2024). (Sumber: Dok. Stenly Pontolawokang/INFID)

Oma Agustina yang mendengar kabar adanya Festival HAM di Bitung dari kawan-kawan LBH Manado yang selama ini jadi pendamping hukum para petani Desa Kalasey Dua, tidak berpikir dua kali untuk datang. Sudah 12 tahun terakhir ini ia terus memperjuangkan lahan kebun produktif dan tempat tinggalnya yang terus tergerus dirampas oleh Pemerintahnya sendiri. Jika ada forum yang bisa menyuarakan teriakan rentanya, Oma akan datangi untuk memperjuangkan nasibnya dan petani di desanya. Lokasi Festival HAM 2024 yang masih terjangkau dari desanya, ditambah adanya sesi dialog tatap muka dengan Pemerintah dan Negara yang disediakan oleh INFID di Festival HAM, menjadi kesempatan emas bagi Oma untuk terus meneriakkan nasibnya.

Keterangan: Lokasi Desa Kalasey Dua, Sulawesi Utara

Bagi perempuan seusia Oma, mobilitasnya memang semakin terbatas. Tapi masa depan keluarganya dan para petani lainnya yang terancam suram dan makin terhimpit, memaksa fisik Oma untuk terus sigap mencari jalan keluar dan harapan untuk mempertahankan lahan mereka. Di Festival HAM, Oma bolak balik di bawah sinar matahari menyengat Kota Bitung dengan ditemani dua orang perempuan lain dari desanya. Oma melangkah sambil sesekali berpegangan dengan temannya untuk menopang tubuhnya saat berpindah-pindah dari ruang diskusi kelompok isu agraria ke ruang utama untuk menyampaikan hasil diskusi. 

Di forum Town Hall Meeting yang diampu INFID bertajuk “Dialog Kepala Daerah dan Masyarakat Kota Bitung: Mendorong Kepemimpinan Daerah yang Partisipatif dan Ramah Hak Asasi Manusia”, Oma bercerita mengenai kegetiran yang ia dan warga desanya saat ini. “Kami ini kan di Desa Kalasey Dua 80% adalah petani. Lahan petani ini sudah hampir semua mau diambil oleh Pemerintah. Kami kan petani, bagaimana dengan anak cucu kami akan hidup ke depannya?”, ujar Oma sambil sesekali menyeka air mata yang menetes di antara keriput wajahnya. 

Tahun 2012 adalah awal mimpi buruk Oma dan para petani di Desa Kalasey Dua, di mana lahan garapan petani mulai diambil oleh Pemprov Sulawesi Utara yang menghibahkan tanah kepada Brimob seluas 20 hektar. Pemberian hibah itu sendiri dilakukan secara sepihak. Petani tidak dilibatkan. Bahkan, saat itu warga hanya bisa meratapi pisang dan milu yang kala itu siap dipanen, dibabat alat berat (YLBHI, 2023).

Bahkan dari keterangan petani pada waktu itu, banyak warga yang dibodohi. Saat warga melakukan pertemuan dengan pihak pemerintah dan Brimob, warga diminta menulis nama dan menandatangani sebuah kertas yang awalnya diketahui warga sebagai absensi pertemuan. Namun, belakangan diketahui tanda tangan tersebut dijadikan legitimasi persetujuan warga bahwa tanah tersebut diserahkan pada Brimob (YLBHI, 2023). 

Tidak hanya Oma, ada sejumlah warga dari wilayah lain yang juga ikut berkeluh kesah tentang perampasan lahan yang dialaminya. Seperti seorang warga dari Pulau Sangihe, Sulawesi Utara. Ia mempermasalahkan reklamasi yang merusak alam Sangihe dan menggerus tanah warga. “Pemerintah Daerah Kabupaten Sangihe tidak memberi persetujuan, karena itu (reklamasi) sangat tidak layak dan sangat jelas melanggar UU No. 1 Tahun 2014 (tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil). Namun, persetujuan kesesuaian wilayah itu justru diterbitkan oleh Pemerintah Provinsi, dokumen itulah yang menjadi pelengkap, (dan) terbitlah AMDAL, terbitlah izin lingkungan”, tutur warga Sangihe yang berpartisipasi dalam Festival HAM.

Keterangan: Warga Sangihe yang tengah menyampaikan mengenai reklamasi yang berdampak buruk pada lingkungan dan mencerabut ruang hidup nelayan lokal di Festival HAM (30/07/2024). (Sumber: Dok. Stenly Pontolawokang/INFID)

Keluh kesah Oma dan warga lainnya ini langsung sampai ke telinga beberapa perwakilan Pemda yang turut mengikuti diskusi di grup yang membahas isu perampasan lahan ini. Mereka mengikuti dengan seksama, sesekali mencatat. Tim INFID juga memiliki tim pencatat atau note taker di setiap kelompok, untuk memastikan bahwa setiap aspirasi, solusi, tanggapan, dan rencana tindak lanjut betul-betul terekam dan menjadi komitmen untuk dikawal oleh seluruh pihak.

Setelah 1,5 jam sesi diskusi kelompok yang intens, Oma dan peserta lainnya kembali berjalan kaki ke ruang utama yang berjarak sekitar 200 meter dari ruangan kelompoknya. Masuklah mereka ke sesi berikutnya, di mana satu orang perwakilan dari 5 kelompok menyampaikan hasil diskusinya ke depan Wali Kota Bitung dan Komisioner Komnas HAM RI.

Setelah moderator Abdul Waidl dari INFID mempersilahkan kelompok isu perampasan lahan untuk mengambil alih mikrofon, dengan langkah agak tergopoh, Oma maju. Sontak seluruh ruangan berseru, memberi tepuk semangat untuk Oma.

“Kami digusur paksa! Itu direkomendasi berdasarkan perintah Gubernur Sulawesi Utara. Berhadapan dengan Brimob, polisi Polresta, dengan Satpol PP ada 250. Kami cuma dengan tangan ini, minta pertolongan agar mereka tidak ambil tanah kami. Oma ini seumur 65 tahun. Cuma hidup dari hasil kebun. Sekarang mereka mau ambil semua tanah itu”, ucap Oma dengan nada bergetar.

“Jangan ambil hak kami!!! Lawan!!!”, sahut para peserta memenuhi ruangan. Mereka riuh sambil mengangkat poster-poster aspirasi mereka. Ada yang bertuliskan “Penggusuran paksa adalah pelanggaran HAM”, “Perjuangan HAM bukan isu lima tahunan”, “Buktikan kesungguhan pemerintah tuntaskan pelanggaran HAM berat secara hukum”, dan banyak lainnya.

Keterangan: Para peserta Festival HAM yang membawa dan menunjukkan poster tuntutan dan aspirasi. (Sumber: Dok. Stenly Pontolawokang/INFID)
Keterangan: Perwakilan INFID yang menjadi fasilitator di diskusi kelompok kasus agraria tengah mencatat dengan seksama indentifikasi masalah yang menjadi perbincangan di dalam kelompok. (Sumber: Dok. Stenly Pontolawokang/INFID)

Asa dari Festival HAM

Cukup banyak aktivis, warga, organisasi kemasyarakatan, yang hadir ke Festival HAM. Mereka memanfaatkan sesi ini untuk menyampaikan permasalahan pemenuhan hak warga yang belum optimal.

“Saya senang sekali ikut Festival HAM ini, apalagi INFID sudah menjamin bahwa ini adalah ruang aman untuk masyarakat sipil bersuara”, ujar Ruth Kesia dari Gerakan Perempuan Sulawesi Utara (GPS) yang datang salah satunya untuk mengadvokasi isu perampasan lahan di Kelelondey, Sulawesi Utara.

Di kesempatan yang sama, Setryano Pangkey dari LBH Manado juga mengikuti Festival HAM menuturkan bahwa ia melihat tren yang mengkhawatirkan dari pemenuhan HAM di Indonesia. Khususnya di Sulawesi Utara, Yano -nama panggilannya- dan kawan-kawannya di LBH Manado mencatat kasus pelanggaran HAM yang terjadi semakin masif, salah satunya kasus kriminalisasi pembela HAM.

“Hal ini beriringan dengan kasus perampasan lahan yang semakin menjadi-jadi dengan melibatkan banyak aktor yang terlibat, baik itu dari negara, dari korporasi, dari aparat, polisi TNI, itu nyata terjadi di hari-hari ini di Sulawesi Utara. Salah satu contoh itu yang dialami petani Kalasey Dua yang berhadapan dengan pemerintah yang memposisikan petani Kalasey itu sebagai ancaman dari pembangunan”, ungkap Yano.

Yano dan kawan-kawan LBH Manado juga memanfaatkan forum Festival HAM untuk mengadvokasi isu reklamasi di Manado Utara yang mencerabut mata pencaharian dan kehidupan nelayan.

“Bagi kami ini proyek genosida terhadap nelayan atau kelompok kecil secara umum”, tambah Yano.

“Kami berharap Festival ini tidak hanya menjadi seremonial belaka, tapi ini betul-betul bisa mendarat pada pada kaum tapak, kaum petani, nelayan, kaum miskin kota. Kami berharap ada rekomendasi yang jelas dan berpihak (pada warga). Kami menunggu hasil dari Festival HAM ini agar betul-betul bisa menjawab paling tidak dari keresahan dari kelompok seperti Oma ini,” pungkas Yano.

Keterangan: Booth masyarakat sipil di lokasi Festival HAM yang dihiasi dengan poster-poster aspirasi. (Sumber: Dok. Stenly Pontolawokang/INFID)
Keterangan: Tidak hanya poster, banyak masyarakat sipil yang menggunakan atribut seperti kaos untuk menyuarakan tuntutan mereka terkait pemenuhan HAM. (Sumber: Dok. Stenly Pontolawokang/INFID)