Film ‘Midwives’: Simbol Solidaritas Perempuan dalam Ketegangan Politik Myanmar

Film ‘Midwives’: Simbol Solidaritas Perempuan dalam Ketegangan Politik Myanmar

Penulis: Gesia Nurlita, Program Assistant for Preventing Violent Extremism INFID

Film Dokumenter berjudul “Midwives” tahun 2022 karya sutradara perempuan Hnin Ei Hlaing mengeksplorasi hubungan antara bidan Buddha, Hla dan murid magangnya, perempuan Muslim Rohingya bernama Nyo Nyo di negara bagian Rakhine, Myanmar Barat. Keberadaan Nyo Nyo dan kelompoknya terancam akibat konflik politik dan etnis yang menginginkan minoritas Muslim untuk keluar dari Myanmar karena dianggap sebagai imigran ilegal. Pemerintah dan mayoritas masyarakat Buddha melakukan pengucilan sosial, pembatasan terhadap hak-hak dasar atas etnis Rohingya. Namun, solidaritas antara Hla dan Nyo Nyo adalah simbol kerja sama lintas identitas yang langka. Meski relasi mereka tidak setara, kemitraan di antara keduanya memungkinkan layanan kesehatan bagi ibu tetap tersedia untuk komunitas Rohingya yang termarginalkan. Walaupun dipenuhi ketegangan politik namun solidaritas mereka dapat dilihat sebagai  bentuk perlawanan tersendiri terhadap sistem yang menindas hak-hak Rohingya.

Sumber : Film Dokumenter “Midwives” 2022 (kiri Hla dan kanan Nyo Nyo)

Di tahun 2019, Republik Gambia mengajukan gugatan di Mahkamah Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terhadap Myanmar karena melanggar Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida (Konvensi Genosida) terhadap kelompok etnik minoritas Rohingya (United Nation, 2019). Dalam petisi Gambia, mereka menyatakan bahwa di tahun 2017 militer Myanmar, ‘Tatmadaw’ melakukan genosida atau yang disebutkan oleh pemerintah Myanmar sendiri sebagai ‘operasi pembersihan’ yang meluas dan sistematis terhadap kelompok Rohingya dengan pembunuhan massal, pemerkosaan, pembakaran dan penghancuran rumah-rumah di desa-desa di Rakhine. 

Pemerintah Myanmar telah lama melakukan diskriminasi terhadap kelompok etnis Muslim Rohingya melalui Undang-Undang Kewarganegaraan Myanmar tahun 1982. Namun, jauh sebelumnya, kelompok minoritas Muslim Rohingya telah tinggal di Rakhine selama beberapa generasi, tetapi mereka dianggap imigran ilegal dari Bangladesh. Etnis Rohingya tidak diakui sebagai salah satu dari 135 kelompok etnis resmi Myanmar, hingga akhirnya, UU tersebut membatasi pengakuan kewarganegaraan bagi kelompok Rohingya dan membuat mereka menjadi kelompok tanpa kewarganegaraan (Jurnal Konstitusi, 2017). Undang-Undang ini menjadi titik mula diskriminasi struktural yang menghalangi hak-hak dasar Rohingya, yakni hak atas kewarganegaraan, kebebasan bergerak, pendidikan, hingga akses pada layanan kesehatan.

Situasi politik yang berkecamuk di Myanmar membuat Hla (bidan Buddha) mengalami tekanan dari komunitas Buddha di sekitarnya yang memata-matai aktivitasnya dalam membantu Nyo Nyo dan memberikan layanan kesehatan bagi komunitas Rohingya. Meski dukungan Hla kepada Nyo Nyo tidak ideal, namun dapat menjadi simbol solidaritas yang terjebak dalam ketegangan politik dan sosial. 

Ketimpangan Struktural dan Diskriminasi Berlapis terhadap Perempuan Rohingya

Komunitas Rohingya di Myanmar mengalami ketimpangan struktural yang berlangsung sistematis, melibatkan kebijakan negara, diskriminasi sosial dan kekerasan yang terstruktur. Dalam film “Midwives”, ketimpangan nampak melalui relasi sehari-hari antara Hla dan Nyo Nyo di klinik bidannya. Klinik Hla adalah satu-satunya klinik yang berada di Rakhine dengan fasilitas seadanya. Sebagai perempuan yang memiliki identitas mayoritas, Hla memiliki hak istimewa dibandingkan Nyo Nyo. Dalam komunikasi sehari-hari dengan Nyo Nyo dan pasien Rohingya lainnya,  Hla menggunakan bahasa yang merendahkan dan menunjukkan sikap superioritasnya –mencerminkan keterbatasan pemahaman sebagai perempuan yang hidup dalam sistem pemerintahan nasionalistik dan rasis. Hal ini berdampak pada bagaimana prasangka etnis menjadi begitu kuat di mayoritas masyarakat Myanmar. Sedangkan Nyo Nyo, tidak memiliki banyak pilihan untuk mencapai kesuksesannya menjadi bidan profesional. Ia terpaksa menetap di Rakhine dan bekerjasama dengan Hla demi mendukung komunitasnya mengakses layanan kesehatan di klinik Hla. Hal ini menggambarkan bagaimana ketidaksetaraan struktural membatasi mobilitas sosial perempuan Rohingya. 

Dalam situasi konflik dan meningkatnya diskriminasi terhadap kelompok minoritas Rohingya, Nyo Nyo memilih berdamai dan bekerjasama dengan Hla di klinik bidannya. Solidaritas Hla terhadap Nyo Nyo dan komunitasnya tetap pada keadaan yang tidak setara tetapi penting untuk menjaga keseimbangan sosial di tengah konflik. Hla memegang kendali karena privilesenya sementara Nyo Nyo bergantung kepada kekuasaan dan kesempatan yang diberikan oleh Hla. Hubungan semacam itu mencerminkan solidaritas yang buta terhadap dinamika kekuasaan sehingga berisiko terhadap reproduksi hierarki sosial. Di sisi lain, sebagai perempuan Muslim Rohingya, Nyo Nyo menghadapi lapisan diskriminasi, ia tidak hanya terpinggirkan karena identitas gendernya, lebih jauh lagi ia mengalami diskriminasi karena identitas etnis yang mengakibatkan keterbatasan atas hak-haknya sebagai perempuan. Namun, melalui pekerjaannya di klinik Hla, ia menunjukkan bentuk agensi –meskipun agensi tersebut dibatasi  dan penuh resiko.

Dalam keadaan politik yang semakin mencekam, Hla mendorong Nyo Nyo untuk dapat mendirikan kliniknya sendiri agar dapat membantu komunitasnya. Dengan semua tantangan hidup yang dihadapinya, Nyo Nyo menempuh perjuangan panjang hingga akhirnya berhasil membangun kliniknya sendiri. Ini adalah agensi nyata bagi pemenuhan kebutuhan komunitas etnis Rohingya terutama perempuan. Sementara negara tidak memberikan perlindungan maupun bantuan, solidaritas yang terbangun di antara perempuan –baik melalui bimbingan Hla maupun dukungan kelompok mikro loan perempuan Muslim –menjadi bagian penting bagi keberlangsungan pelayanan kesehatan yang ia usahakan. Apa yang dikerjakan Hla dan Nyo Nyo menggambarkan kontribusi perempuan terhadap pencapaian dalam layanan kesehatan ibu, dalam hal ini adalah perawatan kesehatan maternal. Walaupun terdapat kontradiksi dalam cara Hla memandang komunitas Rohingya, namun keputusannya untuk terus memberikan layanan medis menunjukkan bahwa solidaritas berbasis kebutuhan bersama mampu melampaui batas etnis, agama atau identitas seperti yang terjadi di Myanmar.

Minimnya dukungan dan perlindungan bagi minoritas Rohingya membuat ‘solidaritas lokal’ menjadi semakin krusial. Dalam “Midwives”, perempuan berinisiatif menciptakan jaringan dukungan bagi komunitasnya sendiri. Hla dengan klinik daruratnya sedangkan Nyo Nyo dengan pendirian klinik baru di rumahnya. Ini menggambarkan dalam situasi konflik yang terjadi, sering kali kekuatan perempuan muncul dan membentuk solidaritas internal yang tumbuh secara organik. Meski perempuan berada dalam posisi yang paling rentan seperti yang terjadi pada Rohingya di Rakhine, namun agensi yang mereka lakukan memberikan dampak signifikan bagi keberlangsungan hidup komunitas. Ihwal ini menjadi cerminan bagaimana perempuan seringkali menjadi “aktor kunci” ketika situasi kekerasan dan krisis kemanusiaan terjadi. Solidaritas semacam ini dapat dilihat sebagai langkah awal untuk membangun koalisi yang lebih setara dan adil dengan tetap memperhatikan hubungan kekuasaan.

Melalui film ini, kita dapat berefleksi tentang pentingnya membangun solidaritas lintas identitas dan mendorong agensi perempuan dalam memperjuangkan hak dan keadilan. Solidaritas yang kuat dan efektif akan tumbuh dari pengalaman bersama dan kebutuhan yang saling beririsan sehingga dapat menarik partisipasi banyak pihak. Pasca konflik Poso di Indonesia pada awal tahun 2000-an, muncul gerakan Solidaritas Perempuan Muslim-Kristen dengan membangun Women’s School for Peace yang bertujuan untuk memberdayakan perempuan melalui pendidikan resolusi konflik, hak-hak perempuan hingga pemberdayaan ekonomi perempuan (Green Network Asia, 2023). Di Indonesia, perempuan dari berbagai latar belakang—baik agama, etnis, maupun kelas sosial–sering menghadapi diskriminasi berbasis gender. Hal ini bisa menjadi titik temu untuk membangun solidaritas lintas identitas.

Referensi:

BBC. (2019). ‘Genosida’ Muslim Rohingya di Myanmar: Aung San Suu Kyi Menyanggah Tuduhan di Mahkamah Internasional (Diakses pada 10 Maret 2025).

Collins, P. H. (2019). Intersectionality. Polity Press. 

Green Network Asia. (2023) Lian Gogali Brings Back Harmony in Poso with Schools Peace. (Diakses pada 17 Maret 2025).

Hooks, b. (1984). Feminist Theory: From Margin To Center. South End Press. 

Mohanty, C.T. (2003). Feminism Without Borders: Decolonizing Theory, Practicing Solidarity. Duke University Press.

Jurnal Konstitusi. 2017. Kasus Rohingya dan Tanggung Jawab Negara dalam Penegakan Hak Asasi Manusia, Jurnal Konstitutsi. (Diakses pada 11 Maret 2025).

Kompas. 2022. Rohingya, Etnis yang Terbuang dan Tersisih. (Diakses pada 11 Maret 2025).

United Nation. 2020. Report of the International Court of Justice: (Diakses pada 10  Maret 2025).