‘Gadis Kretek’, Hak Pekerjaan, dan Penghidupan Layak Bagi Perempuan 

‘Gadis Kretek’, Hak Pekerjaan, dan Penghidupan Layak Bagi Perempuan 

oleh Denty Piawai Nastitie

Cuplikan serial Netfilx Gadis Kretek.

Serial Netflix Gadis Kretek berhasil mencuri perhatian publik sejak pertama ditayangkan pada Kamis (2/11/2023) lalu. Tayangan drama berseri yang diadopsi dari novel dengan judul sama ini mengangkat cerita cinta berbalutkan unsur sejarah dan fenomena industri rokok linting alias kretek yang sempat berjaya di Indonesia. Lebih dari itu, drama ini menyinggung diskriminasi jender dalam pemenuhan hak pekerjaan dan penghidupan layak bagi perempuan.

Gadis Kretek disutradarai oleh Kamila Andini serta Ifa Isfansyah. Drama lima episode dengan durasi setiap episode mencapai 58-74 menit itu mengangkat cerita cinta anak juragan kretek bernama Dasiyah atau lebih dikenal dengan Jeng Yah (Dian Sastrowardoyo) yang jatuh cinta dengan pekerja biasa bernama Soeraja (Ario Bayu). 

Dengan setting tahun 1960-an, kisah cinta antara ‘kaum bangsawan’ dan masyarakat biasa tidaklah mudah diterima oleh masyarakat. Orang tua Jeng Yah pun menolak memberikan restu kepada putri sulung mereka untuk dekat dengan Soeraja. Ayah Dasiyah, Idrus Moeria (Rukman Roesadi), justru menjodohkan putrinya dengan anggota TNI bernama Senoaji (Ibnu Jamil) yang dianggap lebih pantas menjadi pendamping Dasiyah. 

Meskipun kental dengan cerita asmara, adegan-adegan dalam Gadis Kretek juga mengingatkan akan upaya pemenuhan hak pekerjaan dan penghidupan layak bagi perempuan dan laki-laki. Jeng Yah, meskipun berasal dari keluarga berada, rupanya tetap menjadi korban diskriminasi gender di tempat kerja, yang merupakan milik ayahnya sendiri. 

Selama ini, upaya pemenuhan hak pekerja sudah menjadi agenda nasional dan global. Setidaknya terdapat tujuh prinsip pemberdayaan perempuan (Women’s Empowerment Principles) berdasarkan kajian United Nations Global Compact dan United Nation Women (UN Women). Pengembangan prinsip-prinsip pemberdayaan perempuan dimulai sejak Maret 2009 dan mencapai puncak peluncurannya pada Hari Perempuan Internasional 2010.

Ketujuh prinsip itu, yakni kesetaraan dalam kepemimpinan perusahaan; kesetaraan kesempatan di tempat kerja; jaminan kesehatan, keselamatan, dan kesejahteraan; pendidikan dan pelatihan untuk perempuan; praktik pengembangan usaha profesional; kesetaraan dan advokasi inklusif komunitas, dan pengukuran serta pelaporan untuk mencapai kesetaraan. 

Prinsip-prinsip ini juga sejalan dengan UN Guiding Principle Business and Human Right, dan Perpres 60 tahun 2023 tentang Strategi Nasional Bisnis dan Hak Asasi Manusia. Bisnis yang inklusif dan bertanggung jawab ini dikenal dengan istilah Inclusive & Responsible Business (IRB). Meskipun sudah banyak prinsip dan aturan kerja, kenyataannya perempuan Indonesia kerap menjadi subyek paling lemah dan hak-haknya selama ini kerap diabaikan. 

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, jumlah perempuan pekerja pada 2022 mencapai 52,74 juta pekerja. Jumlah pekerja perempuan itu setara dengan 38,98% dari total pekerja yang ada. Masih berdasarkan catatan BPS pada 2022, perempuan Indonesia yang bekerja menduduki level kepemimpinan hanya 0,78%. Selain itu, yang menjadi pejabat pelaksana, tata usaha dan sejenisnya sebesar 6,2% dari populasi pekerja perempuan.

Kepemimpinan Perempuan

Fenomena perempuan pekerja ini tercermin dari adegan-adegan serial “Gadis Kretek”. Sekilas, keterlibatan perempuan dalam serial ini sudah terlihat dengan banyaknya simbok-simbok yang bertugas melinting kretek. Ekspresi jenaka dan kalimat-kalimat yang dilontarkan simbok-simbok ini menjadi warna tersendiri dalam tayang serial yang diproduksi BASE Entertainment dan Fourcolours Films pada 2023 itu. 

Tetapi, kalau diperhatikan, perempuan dalam serial ini berperan sebagai pekerja biasa. Tokoh utama dalam serial, Jeng Yah, bahkan harus kehilangan posisi sebagai mandor perusahaan begitu ia dijodohkan. Oleh ayahnya, posisi mandor diberikan kepada Soeraja, pekerja andalan yang sebenarnya masih minim pengalaman. 

Keputusan Idrus Moeria untuk mengganti posisi Jeng Yah sebagai mandor menunjukkan bahwa kerap kali keputusan perusahaan tidak berpihak pada perempuan. Keputusan Idrus melarang putrinya bekerja di pabrik kretek dan tidak lagi menempatkannya sebagai mandor menggambarkan bagaimana perempuan kerap ditempatkan di ruang domestik untuk mengurus keluarga, suami, dan anak-anak. Padahal, sama seperti laki-laki, perempuan juga punya hak untuk menjalani peran sesuai kehendaknya. 

Jeng Yah juga mengalami diskriminasi untuk berinovasi dan mengembangkan diri dengan adanya larangan perempuan membuat campuran saus kretek. Saus ini dibutuhkan untuk membuat kretek yang nikmat. Upaya membatasi gerak perempuan ditampilkan melalui mitos bahwa sentuhan perempuan pada bahan-bahan dan alat-alat saus dapat mengganggu rasa kretek. Tak peduli betapa besar passion dan skills yang dimiliki Jeng Yah untuk melakukan pekerjaan ini, ia tetap dilarang membuat saus kretek.

Petugas pembuat saos kretek, Pak Dibjo (Whani Darmawan), mengeluarkan mitos terkait perempuan dengan mengungkapkan, “Tidak bisa perempuan ada di ruang saus. Ora elok (tidak baik). Kalau sesudah itu Kretek Merdeka rasanya asam, jangan salahkan saya, ya.”

Pak Dibjo juga sempat meragukan kemampuan Dasiyah dengan berkata, “Maksud kamu saus aku tidak enak? Kamu tahu apa soal saus?” kata Pak Dibjo. Dasiyah dengan tegas menjawab kalimat ini melalui kalimat, “Saya tahu, jika diberi kesempatan.”

Meskipun menghadapi sejumlah kendala, Jeng Yah tetap maju. Ia beruntung dengan bantuan Soeraja, Jeng Yah bisa mencuri kesempatan masuk ke ruang saus dan bereksperimen membuat saus. Setelah membuat saus, Jeng Yah mampu membawa perusahaan lebih maju. 

Sayangnya, tokoh-tokoh perempuan lain dalam serial itu, seperti ibu dan adiknya, kurang mendukung Jeng Yah untuk mengembangkan diri di industri kretek. Ia justru banyak dibantu oleh Soeraja, yang menyelundupkannya masuk ke ruang saus dan bereksperimen membuat kretek, dan Seno, yang melindunginya dalam pengasingan di bagian akhir serial. 

Mengatasi persoalan gender di tempat kerja memang bukanlah pekerjaan mudah. Dibutuhkan perubahan paradigma, kebijakan yang berpihak pada perempuan, serta kepemimpinan yang terus mendorong perempuan berinovasi dan mengembangkan diri. (Denty Piawai Nastitie)