Ibu Bumi

Oleh: Dzatmiati SariTransparency International Indonesia

Andai kamu bisa bayangkan bagaimana kompleksnya sistem pemikiran manusia. Setiap saat kita menuju bifurkasi dan bila ditekan dengan satu turbulensi kita siap untuk meledak. Kita kerap kali bicara soal mengelola ruang hidup sendiri dan keberkahan yang Tuhan kasih, atau keberkahan hidup di Republik yang kaya akan Sumber Daya Alam, tapi faktanya—saat ini keberkahan itu seperti sebuah kutukan. Tak heran kita sering lihat tulisan di pinggir jalan “Hidup di Negara Agraris tapi Kita Menangis”. Karena banyak mengabaikan, negara seperti ‘meyatimkan’ masyarakat yang telah hidup bermiliar-miliar tahun bergantung pada alam—kini mereka hanya menjadi penonton dan terasingkan dari tanahnya sendiri akibat makmurnya pembangunan ekstraktif.

Ibu bumi wis maringi
Ibu bumi dilarani
Ibu bumi kang ngadili
Laa…Ilaaha Illallah
Almalikul Haqqul Mubin Muhammadul Rosulullah Sodiqul Wa’dil Aamiin

Shalawat itu dikidungkan oleh para perempuan di kaki gunung Kendeng. Gunung Kendeng telah menjadi salah satu korban dari banyaknya penambangan skala massif berkedok ‘pertumbuhan ekonomi’. Cerita perlawanan perempuan Kendeng untuk tanah ibu mereka, bisa kalian saksikan di film Tanah Ibu Kami besutan The Gecko Project dan Mongabay Indonesia. 

Tidak hanya Kendeng yang menjadi korban dari ganasnya pertumbuhan ekonomi dan ambisi investasi. Hal serupa yang tak kalah mengerikan datang dari Papua, yakni proyek Merauke Integrated Food and Estate Energy (MIFEE) yang telah merampas tanah dan seluruh kehidupan masyarakat adat Marind Anim. Berapapun yang diberikan sebagai uang tali asih atau kompensasi tak akan pernah sebanding dengan kerugian yang diterima oleh masyarakat. Kompensasi yang tak masuk akal itu yakni di Kampung Zanegi, 300.000 hektar tanah dibayar hanya dengan Rp 300 juta rupiah, artinya 1 hektar tanah adat dengan masa pinjam pakai selama 60 tahun hanya dihargai Rp 1.000 rupiah/hektar. Begitu pun di Kampung Domande, 40.000 hektar tanah dikompensasi sebesar Rp 3 Miliar rupiah, artinya 1 hektar tanah dihargai Rp 75.000 dengan masa pinjam pakai selama 35 tahun. Panjang umur ya korporasi ini, mengerikan!

Konflik yang tercipta akibat gesekan kepentingan bisnis dan kekuasaan negara ini baik di Kendeng maupun masyarakat adat Marind Anim telah mengorbankan hak-hak masyarakat termasuk perempuan untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Perempuan menjadi pihak yang paling menderita, karena berpengaruh pada ketergantungan subsistennya pada tanah dan alam yang ia tinggali. 

Solidaritas Perempuan memaparkan bahwa kehidupan perempuan adalah 90% dekat dengan air, karena “peran gender masih menempatkan perempuan pada pekerjaan domestik.” Pekerjaan tersebut seperti mencuci, memasak, membersihkan diri (higienitas alat reproduksi) hingga mata pencaharian. 

Coba kita bayangkan, jika mereka (re; perempuan) yang terbiasa bekerja di sawah ataupun hutan dan menggantungkan hidup mereka pada alam, ketika hutan tak lagi ada, maka hilang juga mata pencaharian mereka. Akhirnya, mereka dipaksa menjadi buruh pabrik. Hak-hak buruh yang tak terpenuhi juga menjadi masalah. Isu buruh dibayar minimum sudah bukan lagi menjadi rahasia. Misalnya saja, berdasarkan data Survei Angkatan Kerja, BPS, Februari 2020 menyebutkan perempuan memiliki pendapatan 23% lebih rendah dibandingkan laki-laki. Pada akhirnya, akumulasi lewat perampasan (Harvey, 2005) telah menciptakan konflik dan pelanggaran Hak Asasi Manusia. 

Pemerintah sudah berhasil melindungi para pebisnis lewat UU Cipta Kerja, lantas mengapa negara belum mampu melindungi para pekerja? Padahal, Indonesia sudah meratifikasi banyak instrumen internasional yang mengatur berbagai kewajiban negara untuk perlindungan dan pemenuhan HAM, termasuk perempuan di wilayah konflik dan pasca konflik. Indonesia juga sudah mengadopsi beberapa kebijakan nasional serta kelembagaan yang bertujuan untuk memenuhi HAM perempuan secara umum dan perempuan korban secara khusus. Yang terakhir ini penting mengingat Prinsip-Prinsip Panduan Persatuan Bangsa-Bangsa mengenai Bisnis dan HAM (United Nation Guiding Principles on Business and Human Rights/UNGP) tahun 2011 menyebutkan bahwa negara berkewajiban untuk melindungi pelanggaran terhadap HAM yang dilakukan oleh pihak ketiga, termasuk perusahaan, dan mensyaratkan negara untuk mengambil langkah-langkah melalui kebijakan, regulasi dan sistem peradilan yang efektif. Lha yo kok masih banyak pekerja khususnya perempuan yang tidak terpenuhi haknya? Jangan-jangan Pemerintah tak patuh pada regulasi yang telah diratifikasi? 

Bisnis bisa saja berdiri. Mengeruk alam sebagai komoditas unggulan di Republik ini. Tapi kita lupa bahwa waktu tak kenal belas kasihan. Ia akan menggulung apa saja yang tak sempat kita jangkau—termasuk bencana yang mengakibatkan kerusakan. Maka itu hidup yang layak adalah hak yang harus diperjuangkan.