INFID Bagi Pengalaman Advokasi Rehabilitasi dan Reintegrasi Sosial di Tingkat Lokal dan Nasional

INFID Bagi Pengalaman Advokasi Rehabilitasi dan Reintegrasi Sosial di Tingkat Lokal dan Nasional

Oleh: Syafira Khairani, Program Officer Promoting Tolerance and Respect for Diversity INFID

Sumber: Dok. Kedutaan Besar Kerajaan Belanda dan Global Center 
on Cooperative Security 

INFID telah memberi perhatian pada topik berkenaan dengan toleransi, inklusifitas, serta pencegahan radikalisme dan ekstremisme sejak tahun 2015. Pada tahun 2020, secara khusus dan partisipatif INFID mulai terlibat dalam mendorong terciptanya mekanisme rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi orang atau kelompok orang terpapar paham radikal terorisme termasuk deportan dan returni. Kedutaan Besar Kerajaan Belanda dan Global Center on Cooperative Security menyambut baik keterlibatan INFID dalam mengadvokasikan isu ini sehingga diberi kesempatan untuk berbagi mengenai upaya yang telah dilakukan dalam lingkup rehabilitasi dan reintegrasi sosial dalam kasus kekerasan ekstremisme. 

Dalam upaya mendukung kebijakan serta program P/CVE yang di Asia Tenggara, Kedutaan Besar Kerajaan Belanda bersama dengan Global Center on Cooperative Security mengadakan Community of Practice yang bertajuk “Advancing CSOs Programming on Violent Extremism in Southeast Asia” pada 27-29 Mei, bertempat di Hotel Gran Melia Jakarta. Workshop ini mempertemukan perwakilan organisasi masyarakat sipil dan peneliti dari Indonesia, Filipina dan Malaysia yang merupakan mitra pembangunan Kedutaan Besar Kerajaan Belanda dan Global Center yang telah melaksanakan inisiatif pencegahan dan penanggulangan ekstremisme kekerasan selama lima tahun terakhir. 

Pertemuan ini hadir sebagai forum untuk berbagi wawasan, praktik, dan pengalaman dari berbagai inisiatif di seluruh Asia Tenggara, serta memajukan program organisasi masyarakat sipil yang efektif untuk P/CVE. Diskusi didesain untuk membahas mengenai tren dan pola gerakan ekstremisme dan terorisme di Asia Tenggara. Secara khusus, pertemuan ini membahas pengalaman antarmitra pembangunan mengenai topik-topik utama terkait  foreign terrorist fighters (FTF), rehabilitasi dan reintegrasi sosial, early warning dalam P/CVE, pendanaan terorisme, serta hubungan gender dalam kekerasan ekstremisme. 

Memantik diskusi mengenai dinamika gerakan terorisme di Asia Tenggara, Sidney Jones menyampaikan ancaman terorisme tidak hanya terjadi karena fenomena geopolitik global, namun juga faktor lokal. Terorisme dapat terjadi karena konflik komunal seperti di Ambon dan Poso, pembuktian eksistensi kelompok seperti MIT dan Maute Group, atau faktor personal seperti dendam karena anggota yang mati atau ditangkap. 

Pakar sekaligus peneliti senior Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) ini juga menyoroti pentingnya mendorong program-program masyarakat sipil yang berfokus pada intervensi dalam lapas dan lingkungan masyarakat. Menurutnya “kerja-kerja CSOs dengan narapidana dan keluarga narapidana teroris menjadi krusial.” Tahapan deradikalisasi dapat terbantukan dengan adanya peran perempuan untuk mendukung moderasi dalam beragama di lingkup keluarga dan meminimalisir ancaman terorisme melalui regenerasi aktor.  

Keterangan: Program Officer Promoting Tolerance and Respect for Diversity di INFID Syafira Khairani sedang berbagi pengalaman dan perspektif mengenai advokasi rehabilitasi dan reintegrasi sosial. (Sumber: Dok. INFID)

Setali tiga uang, sebagai Program Officer Promoting Tolerance and Respect for Diversity di INFID, saya menyampaikan bahwa salah satu dinamika gerakan terorisme terkini adalah pergeseran tren pelibatan perempuan dan anak dalam terorisme, dari pelibatan pasif menjadi pelibatan aktif. Dalam beberapa kasus, perempuan dan anak bahkan terlibat secara sukarela berperan sebagai ‘pengantin’ bom. 

Dampak dari gelombang simpatisan ISIS sejak 2014 lalu menyebabkan banyak WNI yang terpaksa tinggal di kamp pengungsian Suriah, terutama perempuan dan anak. Berangkat dari kondisi tersebut, INFID menilai OMS perlu mendorong mekanisme rehabilitasi dan reintegrasi (R&R) yang menjamin pemenuhan hak anak dan gender responsif bagi orang atau kelompok orang terpapar paham radikal terorisme bagi perempuan dan anak. Urgensi lainnya dari R&R adalah karena faktor residivisme maupun kepulangan FTF atau deportan/returni melalui jalur-jalur ilegal tanpa prosedur asesmen, sehingga dapat menimbulkan ketidakstabilan keamanan nasional . 

Hadir sebagai salah satu panelis, saya turut membagikan pengalaman INFID mengadvokasikan kebijakan R&R dan forum multistakeholders di Indonesia. Advokasi harus dilakukan secara proporsional pada dua tingkat, yakni tingkat daerah dan tingkat pusat. Tujuannya adalah agar regulasi atau kebijakan yang dibuat tidak hanya bergema pada tatanan nasional saja, namun juga menjadi tanggung jawab pemangku kepentingan di daerah. Daerah menjadi focal point dalam memastikan terlaksana dan suksesnya proses reintegrasi orang/kelompok orang terpapar radikal terorisme ke lingkungan masyarakat. 

Pada kesempatan yang sama, saya juga membagikan pembelajaran baik advokasi R&R yang telah kami lakukan. Pertama, pentingnya melakukan critical engagement dengan leading sector di daerah. Kedua, inisiatif forum multistakeholders harus didasarkan pada kepemilikan bersama, bukan perorangan. Ketiga, pelibatan kementerian/lembaga dan OMS terkait dalam proses pengembangan produk pengetahuan sehingga memudahkan advokasi. Keempat, peningkatan kapasitas yang berkelanjutan kepada anggota forum untuk meminimalisir gap knowledge antar mitra.  

Demi menghimpun perspektif yang lebih luas untuk mendorong efektivitas CSOs dalam mengembangkan program P/CVE, kegiatan ini secara partisipatif juga dihadirkan dalam bentuk diskusi kelompok. Sanita Rini, Program Officer for Preventing Violent Extremism INFID, dalam diskusinya juga mendorong signifikansi budget responsive gender dalam program-program P/CVE. Sanita menambahkan informasi bahwa saat ini Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak sudah memiliki kebijakan Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender (PPRG) sehingga bisa menjadi praktik yang bisa dimaksimalkan dan didorong oleh negara lain. 

Mengutip kalimat Kepala Subdirektorat Intelijen Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada pertemuan konsultatif INFID 2022 lalu, Bayu Wijanarko, “tidak peduli seberapa efektif proses deradikalisasi yang dilakukan, tidak akan bermakna tanpa dibarengi dengan upaya reintegrasi yang komprehensif. Begitu juga sebaliknya.” Maka dari itu, INFID konsisten untuk terus mendorong kebijakan rehabilitasi dan reintegrasi sosial berbasis gender dan pemenuhan hak anak di tingkat lokal dan nasional. Harapannya, pertemuan mitra pembangunan ini dapat menginisiasi terciptanya program kolaborasi yang strategis dalam mendorong efektivitas program P/CVE di Asia Tenggara.