
INFID Diseminasikan Riset Dispensasi Perkawinan Usia Anak di Kabupaten Indramayu dan Lampung Tengah
Oleh: Ari Wibowo, Program Officer HAM & Demokrasi INFID
Jakarta (24/9) – INFID mendiseminasikan hasil riset terkait Kajian Dispensasi Perkawinan Usia Anak di Kabupaten Indramayu dan Lampung Tengah pada Selasa, 24 September 2024. Kajian ini dikerjakan selama tiga bulan pada periode Mei hingga Juli 2024. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui profil pemohon dispensasi perkawinan, menganalisis putusan hakim, mengidentifikasi pengetahuan hakim tentang prinsip kepentingan terbaik anak, serta tantangan dalam mengimplementasikan Perma No. 5 Tahun 2019.
Penelitian ini berbasis pada putusan pengadilan dari 2021 hingga 2023 dengan lima pertanyaan utama, yakni gambaran perkawinan anak dalam 92 putusan pengadilan agama terkait dispensasi kawin, cara hakim memutus perkara dispensasi, pemahaman hakim terhadap prinsip kepentingan terbaik anak, kontribusi institusi pemerintah dan masyarakat dalam pencegahan perkawinan anak, serta strategi sinergis untuk pencegahan perkawinan anak. Lampung Tengah, Lampung dan Kabupaten Indramayu, Jawa Barat terpilih menjadi wilayah penelitian, karena tingginya angka prevalensi kasus perkawinan usia anak di kedua lokasi tersebut. Diskusi kelompok terfokus (FGD) melibatkan tokoh agama dan akademisi, dan wawancara dilakukan dengan berbagai informan, termasuk hakim di luar wilayah penelitian.
Temuan menunjukkan adanya perbedaan karakteristik wilayah dengan situasi ekonomi yang sama-sama lemah. Pengadilan pun berbeda, yaitu Gunung Sugih yang merupakan Pengadilan Agama Kelas 1B dan Indramayu Kelas 1A, yang di dalamnya terdapat hakim-hakim senior. Potret perkawinan anak pada kasus dispensasi perkawinan tidak selalu menggambarkan kondisi sebenarnya. Bahkan, sebagian besar permohonan diajukan oleh orang tua pihak perempuan berusia 16-19 tahun. Riset ini juga mengungkapkan bahwa sebesar 36% suami tidak memiliki pekerjaan formal dengan penghasilan di bawah tiga juta rupiah.
Kuatnya norma gender terlihat dari anggapan bahwa laki-laki harus mengenyam pendidikan tinggi, dan jika tidak, harus bekerja. Dispensasi perkawinan merupakan proses mahal bagi keluarga, dengan tahapan yang melibatkan rekomendasi dari desa dan konseling sebelum proses di Mahkamah Agung. Alasan dispensasi sering kali didorong oleh upaya menjaga moral atau menutupi “aib”, terutama dalam kasus kehamilan yang tidak diinginkan.
Alasan penolakan hakim terhadap dispensasi, antara lain untuk menghindari risiko kesehatan reproduksi, ketidaksiapan perempuan, dan rentang usia yang jauh antara pasangan. Dalam beberapa kasus, dispensasi dianggap sebagai langkah akhir dan mahal, diharapkan dapat memberikan efek jera. Terdapat juga keragaman penafsiran mengenai kelengkapan berkas sebagai syarat menikah, dan konseling sering kali berupa rekomendasi dalam persidangan.
Keterdesakan dalam sejumlah kasus di Indramayu disebabkan oleh pertunangan dan potensi konflik keluarga. Pertimbangan hakim sering kali berfokus pada kemampuan mengurus rumah tangga bagi perempuan, sementara bagi laki-laki lebih ke aspek finansial. Hakim tunggal cenderung lebih fokus pada kenyamanan anak dibandingkan dengan panel tiga hakim.
Temuan mengenai kasus dispensasi kawin menunjukkan kompleksitas tertentu, dengan hakim sebagai pintu akhir dalam penanganan kasus ini. Di Gunung Sugih misalnya, hakim yang memiliki sertifikat Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) mengeluarkan putusan yang bervariasi juga melihat kepentingan terbaik bagi anak. Dalam temuan terungkap, beberapa alasan yang diberikan hakim dalam membuat putusan dispensasi yakni rentang usia anak yang terlalu jauh, risiko kesehatan perempuan, maupun usia perempuan yang dianggap belum dewasa.
Mufliha Wijayati, mewakili peneliti dari Aliansi Perguruan Tinggi Responsif Gender (PTRG) menyampaikan bahwa program pencegahan perkawinan usia anak dinilai masih bersifat sporadis dan sektoral. “Misalnya, penyuluhan kesehatan reproduksi oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3KAB) dinilai efektif bagi sebagian pihak. Pengaruh media juga terlihat, di mana sebagian anak ingin atau tidak ingin menikah karena konten. Pernikahan anak kadang dijadikan strategi untuk bekerja di luar negeri.” ujar Mufliha.
Kesimpulan penelitian adalah PERMA Nomor 5 Tahun 2019 belum tersosialisasi dengan baik dan masih tingginya kasus dispensasi yang ditangani oleh hakim tunggal. Program pencegahan perkawinan anak sering kali bersifat sporadis, dan terdapat miskonsepsi terhadap makna rekomendasi dalam peraturan tersebut. Suara anak dalam persidangan cenderung diformalisasikan dan terikat dengan relasi kuasa pihak keluarga.
“Pada tahun 2014, Indramayu dikenal dengan stigma negatif RCTI (Rangda Cilik Turunan Indramayu) karena tingginya angka perkawinan usia anak yang dipengaruhi oleh dorongan orang tua. Faktor ekonomi yang buruk serta rendahnya akses pendidikan juga berperan, dengan banyak orang tua yang lebih memilih anak untuk bekerja saja. Kasus-kasus perkawinan usia anak sering kali bukan hanya karena pergaulan, tetapi juga keputusan orang tua yang enggan menghadapi masalah, memilih menikahkan anak agar ada yang bertanggung jawab,” ungkap Siti Nurhasanah yang merupakan Duta Genre Kab. Indramayu.
Upaya untuk mengubah mentalitas ini dilakukan oleh Duta Genre bersama Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disduk) melalui sosialisasi kepada calon pengantin dan remaja, menekankan pentingnya pendewasaan usia menikah. Kini, Indramayu berupaya mengubah citra menjadi kota “Remaja Cerdas Indramayu” dengan melibatkan berbagai elemen seperti tenaga kesehatan dan koalisi perempuan. Remaja didorong untuk bergaul secara positif dan memiliki peran dalam komunitas, serta pentingnya komunikasi yang baik dengan orang tua untuk mendukung terwujudnya remaja yang cerdas dan berkualitas.
Penanggap dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Margaret, menyoroti dampak celah hukum dalam UU No. 16 tahun 2019 yang memungkinkan dispensasi perkawinan meskipun usia minimal menikah telah dinaikkan. Setelah perubahan UU, angka pernikahan anak tetap tinggi, bahkan meningkat dua kali lipat pada tahun 2020, terutama karena dispensasi. “Studi oleh KPAI menemukan berbagai kendala, termasuk kurangnya pelatihan bagi hakim tentang hak anak dan tidak adanya tim khusus untuk pencegahan perkawinan anak di banyak daerah. Rekomendasi ke depan, penting untuk adanya kolaborasi yang harmonis antara institusi pemerintah dan sosial serta membentuk tim desa untuk pencegahan, dengan regulasi yang kuat. Untuk efektivitas, peran organisasi masyarakat dan alokasi anggaran yang tepat harus diperkuat.” ujar Margaret.
Komentar lain juga datang dari Zudi Rahmanto dari Bina Kantor Urusan Agama (KUA) dan Keluarga Sakinah, Kementerian Agama (Kemenag). “Penelitian yang saya lakukan pada 2021 di Kabupaten Gunung Kidul mengenai dispensasi perkawinan usia anak dengan kasus didominasi oleh kehamilan mendukung temuan INFID. Meskipun UU No. 16 tahun 2019 bertujuan untuk menaikkan usia menikah, celah dispensasi dan praktik pernikahan siri tetap membuat angka pernikahan anak tinggi. Banyak putusan pengadilan bersifat template, dan kurangnya perspektif gender pada hakim dapat menyebabkan keputusan yang tidak optimal untuk kepentingan anak. Sementara itu, KUA menolak pernikahan anak guna mematuhi UU, mengarahkan kasus ke pengadilan untuk dispensasi.” jelas Zudi.
Terakhir, Pribudiarta dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menggarisbawahi perkawinan anak sebagai masalah kompleks yang berbeda-beda tergantung wilayah dan terkait berbagai isu, memerlukan pendekatan dari hulu dengan meningkatkan kapasitas dan kemampuan anak, edukasi kesehatan reproduksi, serta kesiapan mereka untuk bersuara. “Penting juga untuk menciptakan lingkungan yang mendukung pencegahan melalui penguatan peran keluarga dan perubahan nilai-nilai masyarakat. Aksesibilitas layanan sebelum dan sesudah perkawinan menjadi krusial untuk mengurangi dampak negatif seperti putus sekolah dan peningkatan kemiskinan.” pungkas Pribudiarta.