INFID Fasilitasi Konsolidasi OMS Mendorong Penegakkan HAM dan Inklusif Gender dalam Bisnis

INFID Fasilitasi Konsolidasi OMS Mendorong Penegakkan HAM dan Inklusif Gender dalam Bisnis

INFID memfasilitasi forum diskusi dan konsolidasi organisasi masyarakat sipil (OMS) terutama women right’s organization (WRO) untuk mendorong penegakkan HAM dalam bisnis (business and human rights/BHR). Forum ini adalah upaya membangun kolaborasi mendorong pengarusutamaan perspektif gender dalam implementasi bisnis yang inklusif dan bertanggungjawab — dalam terma global disebut inclusive and responsible businesses (IRB). Konsolidasi berlangsung di Jakarta pada Senin, 4 Agustus 2025 bersama 30 lebih OMS dan WRO.

Dalam beberapa tahun terakhir, isu bisnis semakin berkelindan dengan pentingnya penerapan hak asasi manusia (HAM). Kini, bisnis dan HAM telah menjadi perhatian global, terutama setelah sejumlah negara mulai mengadopsi United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs)  pada tahun 2011, termasuk Indonesia. Dokumen UNGPs bertujuan sebagai pedoman praktis bagi negara-negara dalam melaksanakan kewajibannya untuk melindungi HAM (state duty to protect), tanggung jawab perusahaan untuk menghormati HAM (corporate responsibility to respect), dan akses pemulihan bagi korban pelanggaran HAM yang disebabkan oleh kegiatan bisnis (access to remedy).

Di Indonesia, langkah konkret untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip tersebut tertuang dalam Strategi Nasional Bisnis dan HAM (Stranas BHAM). Hal ini diatur dalam Peraturan Presiden No. 60 Tahun 2023. Namun, Stranas BHAM masih menuai banyak catatan kritis, mulai dari ruang lingkup yang terbatas pada sektor darat, belum masifnya implementasi PRISMA oleh pelaku usaha, serta celah regulasi yang tidak mengikat perusahaan dikarenakan pendekatannya yang sukarela atau voluntary-based (no mandatory human rights due diligence/HRDD).

Dalam konteks gender, sekalipun dokumen Stranas BHAM sudah menyebutkan kelompok rentan, namun pendekatannya cenderung tokenistik — sekadar menyebut namun belum betul-betul dilibatkan secara bermakna. Salah satu contoh adalah belum adanya indikator spesifik gender dalam pelaporan PRISMA (Platform Rencana Aksi Bisnis dan HAM). Hal ini justru dapat menimbulkan kerentanan berlapis bagi pekerja perempuan. Risiko yang kerap dialami perempuan seperti kekerasan seksual di tempat kerja, diskriminasi upah, beban ganda dalam ekonomi informal, atau eksploitasi dalam rantai pasok belum terlihat dalam kerangka Uji tuntas HAM (HRDD) yang dikembangkan. 

Catatan kritis lainnya adalah belum ada kewajiban pengumpulan data terpilah berdasarkan jenis kelamin dan gender dalam indikator uji tuntas HAM, sehingga penilaian berpotensi tidak memperhatikan aspek gender (gender-blind). Kebutuhan pekerja perempuan juga menjadi semakin terabaikan. Padahal, kelompok perempuan, pekerja rumah tangga, pekerja migran perempuan, dan minoritas gender tidak hanya rentan mengalami dampak dari praktik bisnis, tapi juga mendapatkan hambatan struktural dalam mengakses pemulihan dan pelaporan. 

Saat ini, Kementerian Hak Asasi Manusia RI (KemenHAM) tengah mengembangkan pedoman uji tuntas HAM (human rights due diligence/HRDD) sebagai bagian dari tindak lanjut pelaksanaan Stranas BHAM. Proses ini membutuhkan kontribusi multisektor, termasuk dari organisasi masyarakat sipil (OMS), khususnya organisasi yang bekerja pada isu perempuan dan gender (women’s rights organizations/WROs), untuk memastikan bahwa prinsip inklusivitas dan keadilan substantif terintegrasi ke dalam seluruh tahapan kebijakan.

Dalam forum ini, INFID berupaya untuk mengkaji celah kebijakan dan kelemahan implementasi Stranas BHAM dari perspektif gender dan interseksionalitas. Diskusi ini juga menggali pengalaman dan perspektif organisasi masyarakat sipil (OMS) terhadap praktik bisnis yang berdampak pada perempuan dan kelompok rentan lainnya. Selain itu, momen ini sekaligus untuk mengidentifikasi indikator gender-responsive yang relevan dan operasional untuk diterapkan dalam kerangka uji tuntas HAM (HRDD). Pada akhirnya, forum ini harus menjadi solusi dengan perumusan rekomendasi strategis untuk penguatan kebijakan dan mekanisme HRDD yang berperspektif gender.