Kelindan Intoleransi dan Pentingnya Pendidikan Inklusif di Era Pasca Kebenaran (Post-Truth)

Kelindan Intoleransi dan Pentingnya Pendidikan Inklusif di Era Pasca Kebenaran (Post-Truth)

oleh Syafira Khairani

Rentetan tindakan intoleran terus terjadi di Indonesia, terutama yang berkaitan dengan intoleransi beragama. Mulai dari pembredelan rumah ibadah kelompok agama minoritas, pemaksaan penggunaan atau pelepasan atribut identitas agama tertentu, serta bentuk diskriminasi agama lainnya. Setara Institute (2023) merekam bahwa sepanjang 2018 terdapat 175 peristiwa dengan 333 tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.

Post Truth dan Darurat Literasi

Kondisi ini meningkat seiring dengan melesatnya perkembangan teknologi informasi. Arus informasi digital yang bertransformasi dengan cepat menaruh pengaruh substansial pada pola pikir dan perilaku masyarakat dalam memahami nilai-nilai keagamaan. Media digital bahkan membuka ruang bagi terjadinya tindakan intoleransi dan kekerasan simbolik, terutama terhadap perempuan. Misalnya, konten social experiment yang diproduksi kanal youtube Zavilda TV yang menggunakan dalil agama untuk memaksa perempuan lain menutup auratnya di ruang publik (Supriansyah, Agustus 2022). Konten semacam ini justru gagal menunjukkan wajah Islam yang sesungguhnya yang anti terhadap intimidasi dan diskriminasi.

Isu yang kerap muncul karena dampak buruk dari ketidaksiapan menerima perkembangan teknologi ini adalah merebaknya penyebaran berita palsu (hoax/fake news)), ujaran kebencian (hate speech), dan konten negatif lainnya yang dengan mudah dikonsumsi dan disebarluaskan ke publik. 

Fenomena ini melekat kuat dalam sebuah masa yang dikenal dengan era pasca kebenaran (post-truth era) dimana kebenaran tidak lagi dilihat sebagai fakta objektif melainkan sebuah relativisme. J.A Llorente menyebutnya sebagai iklim sosial-politik dimana objektivitas dan rasionalitas membiarkan emosi atau hasrat memihak pada keyakinan sekalipun fakta menunjukkan hal yang berbeda (Suwignyo, 2018: 5). Era ini mencoba untuk menghancurkan rasionalitas dan mengeksploitasi emosi dengan memainkan narasi minim data untuk membentuk opini publik.

Pada era ini masyarakat mulai kehilangan kemampuan untuk menganalisis kebenaran yang objektif dan hanya mengkonfirmasi kebenaran yang diyakininya saja–kebenaran alternatif. Akibatnya, isu-isu bernada SARA dan diskriminatif bermunculan sehingga menimbulkan polarisasi dan segregasi sosial di masyarakat. 

Peristiwa ini berdampak suram pada upaya pemajuan toleransi di Indonesia mengingat angka literasi masyarakat yang masih jauh dari kata baik. Tingkat literasi digital Indonesia masih termasuk rendah dibandingkan negara ASEAN lainnya, yakni hanya 62% dengan rata-rata negara ASEAN mencapai 70% (Anam, Februari 2023). Menurut hasil studi Program for International Student Assessment (PISA) pada 2019 lalu, Indonesia menempati posisi 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah. Penemuan tersebut juga menunjukkan bahwa kemampuan membaca pelajar secara komprehensif pelajar Indonesia bahkan mengalami penurunan. 

Literasi tentu saja bukan hanya perkara membaca, namun juga kemampuan untuk menelaah dan menganalisis informasi yang diperoleh. Selain itu, rendahnya kemampuan berpikir kritis dan rasional juga akan memperburuk keadaan masyarakat dalam beradaptasi dengan era digital yang sarat akan kompleksitas dan perubahan yang cepat.  Dengan fakta yang ada, Indonesia tampak berada dalam jurang disinformasi yang curam. Oleh karena itu, peran institusi pendidikan menjadi ranah yang penting untuk mengamplifikasi budaya literasi dan berpikir kritis. 

Lembaga Pendidikan: Dua Sisi Mata Pisau

Tahun 2017-2018 menandai titik balik meningkatnya intoleransi religius-kultural yang membuat Indonesia semakin terseret dengan persoalan isu agama. Sentimen anti-agama semakin meningkat diiringi dengan merebaknya narasi-narasi emotif. Peristiwa ini bahkan memberikan dampak sosial terhadap seorang pelajar berumur 15 tahun yang terpaksa diputus pertemanannya karena perbedaan agama (Rogers, Mei 2017). Sejumlah studi lain juga telah menunjukkan bagaimana isu intoleransi telah meraih banyak perhatian dan kekhawatiran bersama. 

Pada tahun yang sama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga merilis hasil temuan penelitian dimana siswa cenderung menolak Ketua OSIS yang berbeda agama (Suryowati, Mei 2017). Sejalan dengan hasil temuan Kemendikbud tersebut, survei Setara Institute (2023) menunjukkan diskriminasi agama yang nyata oleh pelajar SMA. Sebanyak 51,6% responden sepakat untuk memilih ketua OSIS yang seagama meskipun berbeda ras dan etnis. 

Kasus pemaksaan penggunaan atribut identitas agama tertentu kerap menjadi pemberitaan massal. Umumnya pelajar perempuan sering menjadi korban pemaksaan penyeragaman simbol keagamaan di sekolah. Misalnya pemaksaan pemakaian jilbab yang terjadi pada siswi non muslim di SMKN 2 Padang (Setiawan, Agustus 2022). Hal serupa juga terjadi pada siswi muslim di SD Inpres Manokwari yang dilarang menggunakan jilbab atas dasar normalisasi kebijakan sekolah (Kapisa, Desember 2019). Fenomena ini juga terpotret dalam penelitian INFID tahun 2021 mengenai Sikap Generasi Milenial dan Generasi Z terhadap Toleransi, Kebhinekaan, dan Kebebasan Beragama di Indonesia, bahwa 40% responden sepakat untuk menerapkan aturan berpakaian sesuai dengan agama mayoritas di daerah mereka.

Praktik mayoritarianisme ini justru menjadi inti dari bentuk diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Kebijakan yang dibuat cenderung tidak inklusif karena hanya berperspektif kuantitatif, hingga akhirnya hak-hak publik dari agama minoritas lain menjadi terbatas. Pemaksaan terhadap kehidupan yang monolitik justru mencegah terjadinya penerimaan dan toleransi (EngageMedia, 2022). 

Kasus-kasus diatas menambah catatan dosa baru dalam hal penanganan diskriminasi di dunia pendidikan Indonesia. Belum lagi kasus-kasus intoleransi lain yang tidak dilaporkan (unreported cases) bagaikan fenomena gunung es. Seharusnya sekolah bukan menjadi arena intoleransi, melainkan sebagai faktor protektif bagi masuknya paham diskriminatif dan intoleran melalui kurikulum dan kebijakan yang memerdekakan. 

Meski demikian, survei toleransi pelajar Indonesia oleh Setara Institute (2023) tersebut menyimpulkan bahwa derajat toleransi siswa SMA masih menunjukkan kecenderungan yang positif dimana 70,2% memiliki sikap toleran. Angka ini mengindikasikan bahwa modal sosial toleransi siswa masih cukup kuat. 

Dalam hal ini, fungsi lembaga pendidikan justru bagaikan pisau bermata dua. Pada satu sisi, sekolah dan lembaga pendidikan lainnya dapat menjadi tempat untuk menaburkan benih kebencian antar etnis dan umat beragama. Di sisi lain, dunia pendidikan seharusnya dapat menjadi ranah untuk menumbuhkan  benih-benih sikap dan perilaku toleran. 

Membingkai Pendidikan yang Inklusif 

Praktik toleransi dan inklusivisme perlu diimplementasikan, baik di kalangan pelajar maupun tenaga pendidik, untuk menghindari persepsi buruk terhadap identitas dan ajaran agama tertentu yang berujung pada tindakan diskriminatif. Padahal semua agama kodratnya mengajarkan pada kebaikan dan welas asih

Tanpa adanya upaya-upaya membasmi kesenjangan dan diskriminasi maka konflik identitas akan terus meningkat. Kasus penodaan agama pada tahun 2017 telah menunjukkan anteseden ini. Terdapat juga kekhawatiran oleh beberapa pengamat kebebasan berekspresi bahwa Indonesia bisa saja seperti Pakistan yang menghambat hak-hak kelompok minoritas di sana (Rogers, Mei 2017). Fenomena yang lebih parah juga terjadi di India yang melakukan politik bumi hangus terhadap keberagaman agama yang tertuju pada kelompok minoritas muslim. 

Puncak kekhawatiran atas ketidakmampuan menerima keberagaman di Indonesia adalah bangkitnya pemusnahan simbolik (symbolic annihilation) oleh masyarakat yang didukung atas demagogi pemimpin. Melalui pendidikan inklusif, tumbuh kembang pelajar diharapkan dapat membangun komunitas plural yang toleran terhadap perbedaan identitas agama, ras, etnis dan gender. 

Sebagai sebuah instrumen, terdapat empat hal yang dapat dilakukan oleh lembaga pendidikan. Pertama, lembaga pendidikan harus melakukan dekonstruksi pemikiran atas cara pandang agama yang logosentris dan simbolis. Misalnya, tidak lagi mengajarkan cara pandang bahwa orang dengan identitas agama tertentu akan lebih baik dengan yang tidak menggunakan atribut apapun. 

Barangkali kita sepakat bahwa pada dasarnya agama bersifat dogmatis dan menjunjung kebenaran absolut. Bahkan ciri eksklusivisme ini bisa ditemukan di semua agama. Meski demikian, agama tetap memberikan celah inklusivitas ketika menyentuh ranah-ranah sosiologis. Secara kodrati eksistensi agama memang bersifat absolut, namun pemahaman manusia masih menyimpan kualitas kemanusiaan yang relatif. 

Kedua, mengajarkan bahwa wajah agama yang sesungguhnya adalah humanis, penuh kasih sayang dan memerdekakan, baik terhadap penganut sesama agama atau agama yang berbeda.  Hal ini penting untuk memusnahkan diskredit atas nilai-nilai luhur agama yang sarat akan perdamaian. 

Buah pikir Mangunwijaya–akrab disapa Romo Mangun–atas praktik cara ajar religius Sekolah Eksperimental-nya dapat menjadi praktik baik penerapan sekolah merdeka di Indonesia. Model sekolah ini mencoba untuk mendekonstruksi cara-cara belajar keagamaan yang konvensional dimana pelajar dituntut untuk menghafal rumusan agama. Lain hal dengan pelajaran Komunikasi Iman, anak didik diajak untuk berdiskusi, saling mendengarkan, dan menemukan makna keagamaan masing-masing dari pengalaman dan kondisi yang ada (Suwignyo, 2018: 78).

Ketiga, memperkuat peran tenaga pendidik dalam mengembangkan budaya toleransi dan moderat. Guru dan perangkat sekolah memainkan peranan signifikan dalam menentukan arah karakter peserta didik. Masa pendidikan ini menjadi penting karena siswa umumnya sedang berada dalam fase pembentukan identitas diri. Oleh karenanya, proses transfer ilmu (knowledge transfer) perlu diinfiltrasi dengan nilai-nilai keberagaman dan paham keagamaan yang moderat. 

Dalam rangka mendorong terjaminnya proses ini, tenaga pendidik perlu diberikan peningkatan kapasitas secara kontinyu untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang toleran dan damai. Pada 2022 lalu, INFID bersama dengan Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam (AGPAII) memberikan pelatihan kepada 30 guru agama Islam melalui pendekatan berbasis Islam Rahmatan Lil Alamin. Melalui pendekatan ini, diharapkan tenaga pendidik memiliki kompetensi keagamaan yang damai dan moderat (wasathiyah) serta dapat menciptakan narasi-narasi alternatif dalam konteks beragama. 

Keempat, sebagaimana rekomendasi penelitian PPIM (2021) lembaga pendidikan harus mendorong kekayaan pengalaman sosial dan interaksi sosial lintas agama. Dikutip dari diseminasi riset yang diorganisir oleh PUSAD Paramadina (2023) mengenai resiliensi mahasiswa terhadap kekerasan ekstremisme, ditemukan bahwa indikator pertemanan yang beragam dan identitas budaya yang kuat menjadi faktor protektif yang berkontribusi pada resiliensi pelajar terhadap sikap dan perilaku intoleran. 

Penting bagi pelajar untuk memiliki pengalaman langsung atas perbedaan di lingkungannya. Hal ini akan membantu proses tumbuh pelajar menjadi manusia dengan identitas keragaman yang kuat sehingga berkorelasi positif terhadap kemampuan toleransi beragama. 

Bagaimanapun juga agama harus dilihat sebagai sesuatu yang memerdekakan, terutama bagi kaum yang marjinal. Hal ini juga termanifestasi melalui nilai gotong-royong dalam Pancasila. Pengajaran yang inklusif dan moderat perlu terinternalisasi sejak dalam pikiran, salah satunya melalui institusi pendidikan. 

Referensi:

SETARA Institute for Democracy and Peace (2023). Laporan Kebebasan Beragama Berkeyakinan (KBB) 2022.

Supriansyah (Agustus 2022). Zavilda TV dan Pemaksaan Jilbab di Ruang Publik: Apakah Influencer Sama Dengan Pendakwah? Lihat di https://islami.co/zavilda-tv-dan-pemaksaan-jilbab-di-ruang-publik-apakah-influencer-sama-dengan-pendakwah/ 

Agus Suwignyo (Ed.) (2018). Post-Truth dan (Anti) Pluralisme. Jakarta: Kompas.

Khoirul Anam (Februari 2023). Paling Rendah di ASEAN, Tingkat Literasi Digital RI Cuma 62%. Lihat di https://www.cnbcindonesia.com/tech/20230214171553-37-413790/paling-rendah-di-asean-tingkat-literasi-digital-ri-cuma-62#:~:text=%22Masyarakat%20Indonesia%20kalau%20kita%20lihat,14%2F2%2F2023

Pusat Penelitian Kebijakan Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan

Kemenristekdikti (April 2021). Risalah Kebijakan: Meningkatkan Kemampuan Literasi Dasar Siswa Indonesia Berdasarkan Analisis Data PISA 2018. Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. 

Benedict Rogers (Mei 2017). Stop Calling Indonesia a Role Model. It’s Stopped Being One. Lihat di https://thediplomat.com/2017/05/stop-calling-indonesia-a-role-model-its-stopped-being-one/ 

Estu Suryowati (Mei 2017). Asal Muasal Penelitian Kemendikbud dan Temuan Sikap Intoleransi di Sekolah. Lihat di https://nasional.kompas.com/read/2017/05/03/14380761/asal.muasal.penelitian.kemendikbud.dan.temuan.sikap.intoleransi.di.sekolah.. 

Riyan Setiawan (Agustus 2022). Kasus Pemaksaan Jilbab di Sekolah Masif, Kemendikbud Bisa Apa? Lihat di https://tirto.id/kasus-pemaksaan-jilbab-di-sekolah-masif-kemendikbud-bisa-apa-guSw 

SETARA Institute for Democracy and Peace. (2023). Laporan Survei Toleransi Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA). Lihat di https://setara-institute.org/laporan-survei-toleransi-siswa-sekolah-menengah-atas-sma/ 

Hans Arnold Kapisa (Desember 2019). SD Inpres di Manokwari Larang Siswi Berhijab di Kelas. Lihat di https://nasional.tempo.co/read/1280055/sd-inpres-di-manokwari-larang-siswi-berhijab-di-kelas 

INFID (2022). Sikap Generasi Milenial dan Generasi Z Terhadap Toleransi, Kebinekaan dan Kebebasan Beragama di Indonesia. 

EngageMedia (2022). In the Name of Religious Harmony: Challenges in Advancing Religious Freedom in Digital Indonesia. Wikimedia Indonesia

Yunita Faela Nisa, dkk. (2021). “Kebinekaan di Menara Gading: Toleransi Beragama di Perguruan Tinggi. Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta.

Add a Comment

Your email address will not be published.