Konflik Sunni-Syiah di Sampang: Refleksi Makna Kebebasan Beragama di Indonesia

Konflik Sunni-Syiah di Sampang: Refleksi Makna Kebebasan Beragama di Indonesia

Penulis: Muallifah

Editor: Nur Hayati Aida

Konflik antara Sunni-Syiah di Sampang menjadi salah satu warisan kelam bagi sejarah bangsa Indonesia dalam konteks kehidupan beragama. Saya masih ingat betul ketika kerusuhan itu terjadi pada tahun 2012. Situasi Kabupaten Sampang pada saat itu dipenuhi dengan kemarahan dan saling adu kekuatan antara kelompok Sunni dengan Syiah. Mengapa kerusuhan ini bisa terjadi? Dalam benak sebagian kelompok, Syiah dianggap sesat karena diyakini telah keluar dari syariat dan memiliki ritual peribadatan yang berbeda. Prasangka ini diperparah dengan ketiadaan komunikasi/dialog untuk menjembatani dua mazhab  (Sunni-Syiah). Pada sisi yang lain, dalam diri masyarakat Madura khususnya, terdapat satu fanatisme terhadap tokoh agama dan kepada organisasi keagamaan tertentu, sehingga sulit untuk menerima keragaman pemahaman yang lain. 

Konflik antara Sunni-Syiah ditandai dengan adanya pembakaran yang dilakukan oleh masyarakat Sunni. Rumah mereka rusak, sehingga mengakibatkan satu orang penganut Syiah meninggal serta tujuh orang mengalami luka berat. Trauma yang dirasakan oleh anak-anak pada saat itu, saya kira masih sangat membekas. Pemimpin Syiah, pada saat itu Tajul Muluk, kemudian mendekam di penjara atas tuduhan penistaan agama. Pasca kejadian tersebut, seluruh pengikut Syiah mengungsi di Sidoarjo. Selama di pengungsian, barangkali kita bisa membayangkan betapa sulitnya hidup terasing dari kampung sendiri. Mereka harus beradaptasi dengan lingkungan baru tanpa kejelasan pekerjaan dan keberlangsungan pendidikan anak-anak mereka.  Mereka hidup dengan ketidakpastian dan  terusir hanya karena memiliki pandangan/pilihan sendiri terhadap agamanya. 

Saat mengunjungi rumah pengungsian kelompok Syiah di Sidoarjo beberapa tahun silam, membuat saya berefleksi makna kebebasan dan kemerdekaan yang selama ini dirayakan setiap tahun di bulan Agustus. Terlebih saat melihat anak-anak di pengungsian yang masa depan dan pendidikannya tanpa kepastian. Nyatanya kemerdekaan belum sepenuhnya dirasakan oleh seluruh bangsa Indonesia apabila melihat konteks kehidupan para pengungsi Syiah di Sidoarjo. 

Berbicara tentang konflik Sunni-Syiah di Sampang sebenarnya bukan untuk mengulik luka lama yang seharusnya dikubur mendalam. Namun, sebagai upaya refleksi bahwa kejadian serupa tidak boleh terjadi lagi karena memakan banyak korban yang umumnya tidak mengetahui secara pasti duduk persoalannya. Pun mereka, dengan keyakinannya, tak tidak layak mendapatkan hukuman pengasingan.

Konflik kekerasan Sunni dan Syiah di Sampang bukanlah yang pertama kali terjadi di Indonesia. Perselisihan serupa pernah terjadi di Kabupaten Batang (2000), Bondowoso (2006), Bangil (2007), Jember (2012). Akar permasalahan tersebut sama, yakni penolakan kelompok Sunni terhadap kelompok Syiah. Kelompok Syiah terus dihantui dengan stigma–kafir, bukan bagian dari Islam–dan sesat–yang dilekatkan oleh masyarakat. Oleh karena itu, mereka kerap kali mengalami penghakiman, diskriminasi, hanya karena menjadi seorang Syiah. 

Konflik yang terjadi di Sampang, setelah bertahun-tahun lamanya, sampai hari ini terus menemui jalan buntu. Sekalipun kelompok Syiah sudah berbaiat menjadi Sunni pada tahun 2022 sebagai syarat mereka bisa kembali ke kampung halaman, namun mereka masih menemukan berbagai masalah seperti tempat tinggal dan penolakan dari sebagian masyarakat. 

Isu kebebasan beragama dan berkeyakinan kerap kali terbentur dengan sikap fanatisme masyarakat terhadap ajaran agamanya. Fenomena penggusuran rumah ibadah, penolakan pembangunan rumah ibadah, atau pengusiran kelompok/ajaran agama lain, masih seringkali kita temui karena warisan tentang fanatisme terhadap kelompok atau keyakinan yang mengakar kuat.

Oleh karena itu, pendidikan untuk menghargai keberagaman dan toleransi perlu untuk terus diperluas dan dikuatkan. Pemerintah dan masyarakat harus terus bekerja sama untuk mempromosikan hal tersebut melalui pendidikan yang menyasar seluruh kelompok masyarakat. Pada tingkat desa, penting untuk melibatkan tokoh agama yang memiliki pengaruh besar terhadap pola pikir dan perilaku masyarakat. Forum-forum yang mempertemukan berbagai agama perlu diperbanyak agar sikap toleran menjadi nilai hidup yang dijalankan oleh masyarakat  sebagai upaya pencegahan agar konflik agama tidak terjadi. 

***Artikel ini merupakan kerja sama antara penulis dan INFID melalui program PREVENT x Konsorsium INKLUSI sebagai bagian dari kampanye menyebarkan nilai dan semangat toleransi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta inklusivitas.

Referensi

Ningsih, Widya Lestari. 2023. “Kenapa Syiah Dibenci di Indonesia?” KOMPAS.com, August 2, 2023. https://www.kompas.com/stori/read/2023/08/02/235500079/kenapa-syiah-dibenci-di-indonesia.