Lemahnya Perspektif Aparat Penegak Hukum terhadap Kasus Femisida

Lemahnya Perspektif Aparat Penegak Hukum terhadap Kasus Femisida

Ilustrasi: Aquaureel, via Wikimedia Commons

Oleh: Isthiqonita

TRIGGER WARNING

Tulisan ini memuat topik kekerasan berbasis gender dan kekerasan seksual yang berpotensi memicu trauma. Jika Anda merasa bahwa artikel ini dapat menimbulkan ketidaknyamanan atau mengingatkan pada pengalaman pribadi yang sulit, kami menyarankan untuk berhati-hati sebelum melanjutkan membaca. Prioritaskan kesejahteraan Anda dan cari dukungan jika diperlukan.

Mulyadi (41) membunuh seorang perempuan yang tengah mengandung, W (31), di Padalarang, Bandung Barat, Jawa Barat pada Minggu, 8 Mei 2022. Motif pembunuhannya adalah karena Mulyadi enggan putus dengan korban. Sebelum melancarkan aksinya, Mulyadi selalu mengancam W. Menurut kesaksian orang tua korban, Mulyadi kerap mengancam W dengan menggedor dan mencongkel rumah korban sambil membawa pisau. Kepada orang tua korban, pelaku mengancam akan membunuh W dan anaknya. Korban merupakan ibu tunggal yang tengah mengandung (Kumparan, 2022). 

Orang tua korban mengungkapkan, lima hari sebelum kejadian pembunuhan, keluarga korban telah mendatangi Polsek Padalarang untuk meminta perlindungan karena pelaku terus mengancam akan membunuh korban. Keluarga bahkan ditemani Ketua RT dan Ketua RW setempat. Sayangnya, upaya tersebut tidak ditanggapi polisi dengan dalih tidak ada bukti cukup soal ancaman yang dilayangkan oleh pelaku. Padahal keluarga sudah melaporkan atap genteng yang pecah serta pintu dan jendela yang dicongkel. Polsek beralasan harus ada bukti barang yang dibawa atau kerugian kerusakan senilai dua juta. Empat hari setelah membunuh, Mulyadi ditemukan tewas gantung diri di belakang rumahnya.

Tidak hanya W yang menjadi korban pembunuhan akibat kelalaian polisi dalam menangani pelaporan kekerasan terhadap perempuan maupun ancaman pembunuhan. MS (24) meninggal dunia dibunuh suaminya Nando Kusuma Wardana (25) di rumah kontrakan mereka di Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi, pada Kamis, 7 September 2023. Nando melukai leher MS dengan senjata tajam di depan kedua balita mereka hanya lantaran tersinggung dengan ucapan MS saat kedua cekcok mengenai masalah ekonomi. 

Sebelum terjadinya pembunuhan, Thami, sahabat korban mengungkapkan bahwa korban pernah curhat perihal Kekerasan Rumah Tangga (KDRT) yang dialaminya. Thami mengatakan korban pernah membuat laporan ke polisi dan berkali-kali melakukan visum namun tetap diabaikan. Bahkan korban sempat memberikan uang kepada polisi agar laporannya bisa ditindaklanjuti, namun hasilnya nihil. Kakak korban mengamini pernyataan Thami, adiknya, sempat melapor ke polisi perihal KDRT pada 7 Agustus 2023. Namun polisi tidak menindaklanjuti aduan MS karena pelaku membantah telah melakukan KDRT (Narasi, 2023). 

Tragedi yang menimpa W dan MS adalah femisida (femicide). Pembunuhan terhadap perempuan dengan alasan gender. Femisida terjadi karena ada dorongan hasrat dominasi, penaklukan, agresi, dan penikmatan pelaku yang menganggap perempuan sebatas properti. Pelaku femisida ini umumnya didominasi oleh pasangan intim. Organisasi Masyarakat Sipil, Jakarta Feminist, dalam Laporan Femisida 2023 mengungkapkan bahwa perempuan yang memiliki relasi intim dengan pelaku menjadi korban paling banyak dalam kasus femisida, yakni sebanyak 37%. Mereka adalah istri, pacar, selingkuhan, kekasih gelap, mantan pasangan, dan teman kencan. Sebanyak 13% korban memiliki relasi keluarga dengan pelaku. Selain itu, beberapa korban adalah orang-orang yang memiliki hubungan non-personal dengan pelaku (25%) seperti tetangga, teman, pekerja seks, teman kerja, pelajar, dan lain sebagainya.

Femisida merupakan puncak dari piramida kekerasan berbasis gender yang menunjukan kekerasan paling ekstrem terhadap perempuan. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengungkap kasus indikasi femisida di Indonesia, pada 2021 terpantau 237 kasus, dan 2022 terpantau 307 kasus, 2023 menemukan 159 kasus, dan 2024 naik kembali menjadi 290 kasus. Menurut Komnas Perempuan, data tersebut tidak menggambarkan kasus femisida di Indonesia. Komnas Perempuan berharap data tersebut menjadi basis bahwa femisida ada dan dibutuhkan proses pengambilan data yang lebih detail sebagai upaya mengangkat pengalaman perempuan atas kekerasan yang berujung kematian. Jakarta Feminist juga melakukan pemantauan mandiri melalui monitoring media atas pemberitaan pembunuhan perempuan atau femisida dari tahun 2016 hingga 2017, 2021 dan 2022. Hasilnya pada rentang waktu 2016 sampai 2017 ditemukan 361 kasus femisida. Tahun 2021 ditemukan sebanyak 256 kasus dari 34 provinsi di Indonesia, sedangkan pada 2022 Jakarta Feminist menemukan 162 kasus femisida.

Apabila peningkatan kekerasan terhadap perempuan tidak ditangani dengan berpihak pada korban dan berperspektif perempuan, maka semakin banyak kasus yang dapat berujung pada femisida. Sayangnya penanganan yang tidak berpihak pada korban dan berperspektif perempuan kerap dilakukan oleh aparat penegak hukum itu sendiri. Selain kasus yang menimpa W dan MS, Panca Darmasyah (41) membunuh 4 anaknya di Jagakarsa pada Rabu, 6 Desember 2023. Panca ternyata sudah dilaporkan kepada polisi oleh kakak iparnya atas kasus KDRT terhadap istrinya pada Sabtu, 2 Desember 2023. Namun polisi tidak langsung menindak Panca karena beralasan sedang menjaga ke 4 anaknya karena istrinya masih dirawat di rumah sakit, padahal istrinya dirawat karena alami KDRT dari Panca. 

Kelalaian aparat penegak hukum bukan hanya di tingkat kepolisian, tetapi juga di pengadilan. Dalam kasus pembunuhan DSA (29) oleh Gregorius Ronal Tannur (30) misalnya, pelaku diputus dijatuhkan vonis bebas oleh Hakim Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur pada Rabu, 24 Juli 2024. Ketua Majelis Hakim, Erintuah Damanik, menyatakan Ronald tidak terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan pembunuhan maupun penganiayaan yang menyebabkan korban tewas (Tempo.co, 2024). Namun, 3 hakim yang memvonis bebas Ronald dan pengacaranya kemudian tertangkap Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) akibat menerima suap dari pengacara Ronald. Keputusan vonis bebas Ronald kemudian dianulir Mahkamah Agung dan ia akhirnya divonis bersalah dengan pidana hanya lima tahun penjara.

UU PKDRT dan UU TPKS Belum Efektif Mencegah Kasus Femisida

Laporan Jakarta Feminist (2023) terkait femisida menemukan bahwa banyak kasus femisida di Indonesia masih diperlakukan sebagai pembunuhan biasa. Meskipun kekerasan berbasis gender sudah jelas terlihat dari pola kekerasan yang terjadi sebelumnya, baik kekerasan dalam relasi personal (relasi intim dan keluarga) maupun relasi publik (tetangga, rekan kerja, teman). Kekerasan-kekerasan ini seharusnya dipahami sebagai bagian dari fenomena yang lebih besar dan kompleks, yaitu kekerasan berbasis gender yang berakar pada sistem patriarkal. Di satu sisi Rancangan Undang-Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG) yang diadvokasi sejak tahun 2012 belum disahkan menjadi Undang-Undang dengan alasan sejumlah kalangan menilai kebutuhan dan kepentingan perempuan sudah tercantum dalam berbagai undang-undang. Padahal, RUU KKG merupakan wujud nyata bagi negara untuk mengimplementasikan Konvensi CEDAW (The Convention on The Elimination of all Forms of Discrimination Against Women/ Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan). RUU KKG ini sebetulnya dapat menjadi pelindung hukum yang akan menguatkan hak-hak serta melindungi perempuan dari kekerasan, diskriminasi, dan ketidakadilan gender.  

Adapun hingga saat ini Indonesia belum memiliki hukum khusus yang mengatur tentang femisida. Bahkan dalam beberapa kasus, Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) dan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) tidak disertakan dalam memidana pelaku sehingga pola-pola kekerasan yang mengiringi pembunuhan seringkali luput dari perhatian hukum. Padahal UU TPKS memiliki keunggulan dari sisi acara pidana. Di dalamnya mengatur hukum acara yang sangat komprehensif dan detail, mulai dari pelaporan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan sidang, hingga eksekusi terhadap putusan pengadilan. Kasus-kasus yang ada saat ini menunjukkan lemahnya pemahaman aparat penegak hukum (APH) terhadap UU No. 12/2022 tentang TPKS. Ketika ada kasus TPKS, belum semua APH menerapkan TPKS dengan dalih belum ada aturan pelaksanaanya, padahal pemberlakuan UU TPKS tidak perlu menunggu aturan pelaksana. 

Hal ini terbukti dalam kasus yang dialami mendiang W dan MS. APH dalam hal ini kepolisian tidak memiliki perspektif terhadap korban dan mengabaikan ancaman yang mereka hadapi, tidak memvalidasi pengalaman perempuan, hingga berujung menjadi korban femisida. APH seharusnya memahami tentang piramida kekerasan berbasis gender dan femisida berada di puncak. Lapisan tengah mencakup kekerasan fisik dan seksual seperti pemukulan hingga pemerkosaan. Lapisan bawah mencakup mikro agresi dan pelecehan seperti penguntit, catcalling, menatap bagian tubuh tertentu, dan lain-lain. Lapisan paling dasar adalah sikap dan cara berpikir yang mengobjektifikasi perempuan, candaan seksis, victim blaming, dan lain-lain. Femisida tidak terjadi begitu saja, femisida terjadi karena rangkaian kekerasan terhadap perempuan tidak ditangani secara serius, termasuk oleh APH. Piramida kekerasan berbasis gender menggambarkan bahwa objektifikasi perempuan dapat meningkat menjadi penguntitan dan akhirnya berujung femisida. 

Mengintegrasikan Hukum yang Berperspektif Gender

Dua tahun setelah disahkannya UU TPKS, Komnas Perempuan mengeluarkan catatan perihal Tantangan dan Rekomendasi Percepatan Pelaksanaan UU TPKS Periode 2022 – 2024. Selama dua tahun terpantau sejumlah faktor penerapan UU TPKS dari APH yakni penolakan menggunakan UU TPKS, APH belum memahami muatan UU TPKS, perbedaan pemahaman TPKS di antara sub sistem peradilan pidana, hingga minimnya alat bukti juga menjadi penyebab kepolisian tidak melanjutkan penyelidikan atau penyidikan laporan kasus TPKS. Selain itu UU PKDRT juga belum menyediakan aturan pencegahan dan perlindungan optimal untuk menjamin keberadaan rumah tangga sebagai ruang aman. Oleh karenanya penting mengoptimalkan UU PKDRT, baik aspek pencegahannya, maupun penguatan perlindungan termasuk membangun kebijakan danger assessment dalam KDRT dan penanganan korban KDRT agar tidak berakhir dengan kematian (Aminah Tardi, 2024). 

Dalam kasus femisida, menurut Jakarta Feminist, APH semestinya mengintegrasikan UU PKDRT dan UU TPKS dengan aturan pidana pembunuhan (misalnya, Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan dan Pasal 352 Ayat 2 tentang penganiayaan berat berencana). Integrasi ini penting untuk memberikan pemberatan hukuman bagi pelaku femisida dan mengakui femisida merupakan bentuk kekerasan berbasis gender yang membutuhkan respons hukum yang lebih komprehensif. Negara melalui lembaga hukum juga harus melakukan pendataan terpilah gender untuk kasus-kasus kekerasan, termasuk femisida untuk menentukan langkah-langkah pencegahan femisida dan pemenuhan hak-hak korban. 

“Para APH sangat penting untuk mendapatkan penguatan kapasitas perspektif gender, utamanya prinsip-prinsip dalam menghadapi kasus kekerasan seksual. Sebagaimana dalam UU TPKS, prinsip tersebut bertujuan untuk melindungi korban, menjaga hak-hak korban, serta memastikan proses hukum berjalan secara adil dan efektif,” ungkap Andi Faizah, Program Officer Inequality INFID. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 9 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Kekerasan Seksual juga telah diterbitkan dan ditetapkan pada 23 Januari 2024. Perpres ini merujuk atas mandat Pasal 81 UU TPKS bahwa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi aparat penegak hukum, tenaga layanan pemerintah, dan tenaga layanan untuk meningkatkan pemahaman terkait dengan pencegahan dan penanganan tindak pidana kekerasan seksual.

Negara harus memastikan bahwa hukum yang berjalan memiliki keberpihakan terhadap korban, dalam hal ini perempuan. Proses hukum yang panjang dan berbelit-belit sering kali menjadi hambatan bagi mereka untuk mendapatkan keadilan yang seharusnya mereka terima. Dengan pendekatan hukum yang demikian, negara tidak hanya menanggapi pelaku kekerasan, tetapi juga menciptakan lingkungan yang lebih aman dan responsif terhadap kebutuhan perempuan sebagai korban, serta mendukung upaya pencegahan kekerasan di masa mendatang.

Referensi

Aminah Tardi, Siti, and dkk. “Dua Tahun UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual: Tantangan Dan Rekomendasi Percepatan Pelaksanaan UU TPKS Periode 2022-2024.” www.Komnasperempuan.go.id , Komnas Perempuan, Oct. 2024, https://komnasperempuan.go.id/download-file/1193 

Aura, Judith. “Wawancara Dengan Profesor Monash Uni: Peran Besar Patriarki Dalam Femisida | Kumparan.Com.” Kumparan, 4 Dec. 2024, https://kumparan.com/kumparanwoman/wawancara-dengan-profesor-monash-uni-peran-besar-patriarki-dalam-femisida-242WvjJ4v55 

Badan Legislasi. “Usahakan Masuk Prolegnas, Hindun Anisah Minta Komnas Perempuan Sempurnakan Draf RUU Kesetaraan Dan Keadilan Gender.” jdih.dpr.go.id, Jaringan Dokumentasi Dan Informasi Hukum Sekretariat Jenderal DPR RI, 31 Oct. 2024, https://jdih.dpr.go.id/berita/detail/id/52200/t/javascript 

Gita Elhasni, Fatima, and Naila Rizqi Zakiah. “Laporan Femisida 2022: Lebih Dari Sekedar Angka.” Jakartafeminist.Com, Jakarta Feminist, 2023, https://jakartafeminist.com/wp-content/uploads/2024/01/Laporan-Femisida-2022.pdf 

“Komnas Perempuan.” Komnas Perempuan | Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, 7 Mar. 2024, https://komnasperempuan.go.id/catatan-tahunan-detail/catahu-2023-peluang-penguatan-sistem-penyikapan-di-tengah-peningkatan-kompleksitas-kekerasan-terhadap-perempuan 

“Laporan Femisida 2023 Kekejaman Sistematis:  Memahami Brutalitas Femisida Dan Perlakuan Terhadap Jenazah – Jakarta Feminist.” Jakarta Feminist – Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta, https://jakartafeminist.com/portfolio/laporan-femisida-2023-kekejaman-sistematis-memahami-brutalitas-femisida-dan-perlakuan-terhadap-jenazah/ 

Parandaru, Inggra. “Jalan Panjang Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual – Kompaspedia.” Kompaspedia, 27 Mar. 2024, https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/jalan-panjang-undang-undang-tindak-pidana-kekerasan-seksual 

Perempuan, Komnas. Laporan Pemantauan Femisida 2024. YouTube, 10 Dec. 2024, https://www.youtube.com/watch?v=S7Xo8Bx1k5M 

Ramadhan, Reza Aditya. “Kronologi Mulyadi Bunuh Janda Wiwin Hingga Tewas Gantung Diri Di Pohon Petai | Kumparan.Com.” Kumparan, 12 May 2022, https://kumparan.com/kumparannews/kronologi-mulyadi-bunuh-janda-wiwin-hingga-tewas-gantung-diri-di-pohon-petai-1y3ijv2YJ6G/full 

Ramadhea, Chika. “Budaya Victim Blaming Dalam Femisida Anak Anggota DPR.” Magdalene.Co, 18 Oct. 2023, https://magdalene.co/story/victim-blaming-pembunuhan-anak-anggota-dpr/#google_vignette 

Vivi, Anindya. Instagram, 26 Dec. 2024, https://www.instagram.com/reel/DC0Z-Jlvb-d/?utm_source=ig_web_copy_link&igsh=MzRlODBiNWFlZA%3D%3D 

Wardah, Fathiyah, and Eva Mazrieva. “20 Tahun UU Penghapusan KDRT, Komnas Perempuan Soroti Peningkatan Kasus Femisida.” VOA Indonesia, 25 Sept. 2024, https://www.voaindonesia.com/a/tahun-uu-penghapusan-kdrt-komnas-perempuan-soroti-peningkatan-kasus-femisida/7799299.html 

Wijaya, Akbar. “Curhat Almarhumah Mega Ke Sahabat Sebelum Dibunuh Suami: Merasa Sendiri, Lapor Polisi Gak Ditindaklanjuti | Narasi TV.” Narasi Tv, 13 Sept. 2023, https://narasi.tv/read/narasi-daily/curhat-almarhumah-mega-ke-sahabat-sebelum-dibunuh-suami-merasa-sendiri-lapor-polisi-gak-ditindaklanjuti#google_vignette