MA Perlu Evaluasi Peraturan Dispensasi Kawin untuk Stop Perkawinan Anak

MA Perlu Evaluasi Peraturan Dispensasi Kawin untuk Stop Perkawinan Anak

Foto: Tim Inequality INFID (Foto kegiatan Peluncuran Hasil Penelitian dan Kertas Kerja Kebijakan: Kajian Terhadap Dispensasi Usia Anak)

Jumlah kasus perkawinan usia anak masih relatif tinggi dan menjadi tantangan besar dalam mewujudkan visi sumber daya manusia unggul 2045. Padahal, Undang-Undang Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019 sudah meningkatkan usia minimal menikah bagi perempuan dan laki-laki dari semula 16 tahun menjadi 19 tahun. Hasil kajian International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) tentang “Kajian terhadap Dispensasi Kawin Usia Anak di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat dan Lampung Tengah, Lampung” pada Agustus 2024 lalu, mengungkapkan bahwa Peraturan Mahkamah Agung No. 5 (PERMA 5) tahun 2019 tentang Dispensasi Kawin masih menjadi celah meningkatnya jumlah perkawinan usia anak.

INFID melaksanakan kegiatan “Peluncuran Hasil Penelitian dan Kertas Kerja Kebijakan INFID: Kajian terhadap Dispensasi Kawin Usia Anak” pada 12 Desember 2024 di Jakarta. Pejabat Sementara (Pjs) Direktur Eksekutif INFID, Jim Matuli, menyampaikan bahwa INFID memiliki mandat untuk mengatasi ketimpangan gender, termasuk terlibat dalam mengatasi perkawinan anak di Indonesia. “Kami bersama Aliansi PTRG (Perguruan Tinggi Responsif Gender) melakukan penelitian Kajian terhadap Dispensasi Kawin Usia Anak di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat dan Lampung Tengah, Lampung, serta menyusun Kertas Kerja Kebijakan tentang analisis implementasi PERMA Nomor 5 Tahun 2019 mengenai pedoman mengadili kawin anak. INFID berharap studi dan hasil kertas kerja kebijakan, dalam konteks dispensasi kawin, dapat memperkuat advokasi pencegahan perkawinan usia anak dengan kepentingan terbaik bagi anak sebagai pondasinya,” ungkapnya. 

Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI (Wamen PPPA) Veronica Tan, yang hadir secara daring juga mengapresiasi hasil penelitian INFID terutama relasi orang tua dan anak yang menyebabkan tingginya angka dispensasi kawin anak. Karena menurut hasil penelitian, orang tua mendominasi pengajuan dispensasi kawin bagi anaknya, bahkan orang tua yang memaksakan perkawinan anak karena alasan ekonomi, sosial budaya, hingga agama. “Kami mendorong edukasi berbasis keluarga, jadi keluarga diintervensi untuk mengubah mindset bagaimana mencegah kawin anak. Negara jangan hadir hanya sebagai pemadam kebakaran saja ketika terjadi kekerasan dalam keluarga akibat dari kawin anak,” pungkasnya. 

Sekelumit Permasalahan Implementasi PERMA 5

Foto: Tim Inequality INFID (Foto kegiatan Peluncuran Hasil Penelitian dan Kertas Kerja Kebijakan: Kajian Terhadap Dispensasi Usia Anak)

Nur Rofiah dari Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) menanggapi hasil penelitian INFID perihal beragamnya putusan hakim dalam mengabulkan dispensasi. Salah satunya adalah untuk menghindari zina, menurutnya seharusnya kawin anak dan zina tidak digunakan sebagai pilihan karena keduanya sama-sama memberi dampak buruk terutama bagi anak perempuan. “Kehamilan pada anak perempuan baik di luar maupun di dalam perkawinan sama bahayanya. Maka pilihannya solusi ketiga yakni menikah di usia dewasa,” tegas Nur Rofiah.

Kawin anak memang memiliki dampak signifikan terhadap anak, terutama perempuan yang mendominasi menjadi korban perkawinan anak. Dampak tersebut adalah terputusnya pendidikan, terbatasnya akses ekonomi, rentan alami kekerasan dalam rumah tangga, hingga terpapar penyakit reproduksi dan seksual. PERMA Nomor 5 Tahun 2019 adalah salah satu upaya untuk memperketat syarat perkawinan anak, harapannya perkawinan anak bisa semakin dicegah. Namun melihat fakta tingginya angka dispensasi kawin anak, INFID melalui penelitian menemukan sekelumit permasalahan. Menurut salah satu tim riset INFID dari PTRG, Mufliha Wijayati, mengungkapkan beberapa alasan hakim mengabulkan dispensasi kawin. “Menghindari kerusakan dan menghindari stigma secara sosial menjadi pilihan paling banyak yang digunakan untuk mengabulkan permohonan kawin anak. Sedangkan alasan menolak dispensasi kawin karena mempertimbangkan kedewasaan calon pengantin, kesehatan, dan usia antara calon pengantin yang jauh,” ungkapnya. 

INFID mengidentifikasi permasalahan utama implementasi dari PERMA Nomor 5 Tahun 2019. Pertama, PERMA Nomor 5 Tahun 2019 merupakan aturan internal di lingkungan Mahkamah Agung. Dalam pelaksanaannya, PERMA ini memerlukan koordinasi dan konsolidasi dari beberapa pihak atau instansi sebagai upaya terakhir dalam pencegahan perkawinan anak. Kedua, PERMA Nomor 5 Tahun 2019 belum tersosialisasi secara optimal untuk menangani dispensasi kawin kepada pemangku kebijakan. Ketiga, belum terbangunnya pemahaman yang komprehensif atas regulasi pencegahan perkawinan usia anak dalam masyarakat, juga dalam kalangan instansi pemerintah serta instansi penegak hukum. Keempat, adanya miskonsepsi konsep dan prosedur pemberian rekomendasi. Konsep rekomendasi kerap disalahpahami untuk mengabulkan perkawinan anak. 

Kelima, independensi hakim dalam memutus perkara menjadi masalah dalam implementasi pertimbangan kepentingan terbaik anak. Keenam, persetujuan perkawinan anak diiringi ketimpangan relasi kuasa, terutama dari orang tua yang merasa sebagai pemilik otoritas atas anak. Hal ini di konfirmasi oleh Sekretaris Forum Anak Daerah Lampung Tengah, Khesya Salsabila Ramadhani, menurut pengalamannya berinteraksi dengan perempuan korban kawin anak, mereka dikawinkan karena dipaksa orang tua dengan alasan ekonomi. Ia berharap suaran anak menjadi pertimbangan untuk menangani dispensasi kawin anak. Ketujuh, pelaksanaan program kerja, kegiatan dan gerakan-gerakan untuk pencegahan dan penanganan perkawinan anak masih dilakukan secara parsial dan intra-sektoral saja. Dalam beberapa kasus, antar instansi cenderung saling menyalahkan dan melepaskan tanggung jawab.

Mufliha Wijayati menegaskan bahwa penelitian tersebut bukan untuk menyalahkan hakim, apalagi mereka berada di paling ujung dalam memutuskan perkara kawin anak. Perlu adanya sinergi bersama untuk pencegahan dan penanganan kawin anak dari berbagai sektor. “Hakim adalah wilayah hilir, dalam penelitian ini kami memberikan catatan yang proporsional perihal tidak ada pilihan lain. Kami menemukan perbedaan antara hakim senior dan hakim muda dalam memberi putusan dispensasi. Hakim senior cenderung memberi alasan yang minimalis, sedangkan hakim muda yang sudah memiliki sertifikat SPPA (Sertifikasi Sistem Peradilan Pidana Anak) memiliki perspektif terhadap isu anak sehingga alasannya lebih komprehensif. Jadi argumentasi hukumnya beragam meskipun putusannya tetap mengabulkan dispensasi kawin anak,” terangnya. 

Pernyataan Mufliha Wijayati disepakati oleh Hakim Yustisial Mahkamah Agung RI,  Ilman Hasyim, bahwa tidak sepenuhnya persoalan dispensasi merupakan kekeliruan hakim. Menurutnya hal yang utama yang memengaruhi hakim adalah mindset dan itu bisa dilakukan melalui kebijakan atau regulasi. “Dengan terbitnya PERMA Nomor 5 Tahun 2019, sedikit banyak memengaruhi hakim dalam membaca dispensasi kawin. Karena sebelum ada PERMA  pun sudah ada dispensasi, namun dengan terbitnya PERMA itu, kalau kita baca data sampai 2023, perkara dispensasi kawin yang masuk itu turun, apakah mungkin ketatnya administrasi atau upaya yang dilakukan sebisa mungkin praktik dispensasi kawin tidak dilakukan,” jelasnya. 

Menurut Ilman Hasyim, yang harus ditekankan adalah cara pandang hakim. Artinya, ketika ada perkara dispensasi masuk, hakim harus memiliki argumen yang kuat dalam memutus perkara dispensasi kawin, termasuk alasan mengizinkan pemohon. Tapi dalam praktiknya setiap hakim memiliki sikap dan pemahaman yang berbeda. Ada yang memberi syarat ketat dan syarat tidak ketat.  

Selaras dengan pertanyaan Ilman  Hasyim, INFID merekomendasikan kepada MA agar menentukan secara konkret pemahaman tentang maksud atau tujuan dari kepentingan terbaik bagi anak dan ukuran keterdesakan yang diatur PERMA Nomor 5 Tahun 2019. Sehingga hakim memiliki sikap dan pemahaman yang sama dalam menyikapi dispensasi. Selain itu sosialisasi terkait PERMA Nomor 5 Tahun 2019 masih perlu dilakukan kepada para hakim di Pengadilan Agama (PA) dan Pengadilan Negeri. Untuk melihat hasil dari implementasi penerapan PERMA Nomor 5 Tahun 2019, maka perlu mengembangkan sebuah mekanisme monitoring dan evaluasi terhadap penerapan PERMA tersebut.

Narahubung:

Andi Faizah, Program Officer Inequality, Partnership, and Membership INFID ([email protected])

Tentang International NGO Forum on Indonesian Development (INFID):

INFID adalah organisasi masyarakat sipil yang berjuang untuk pembangunan Indonesia sejak 1985. INFID terakreditasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan menyandang Special Consultative Status untuk ECOSOC di PBB. INFID memiliki tiga fokus program; 1) Penurunan Ketimpangan, 2) Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, dan 3) HAM & Demokrasi.

Media Sosial:

Instagram infid_id

Twitter infid_id

Facebook infid

Youtube INFID TV

Linkedin International NGO Forum on Indonesian Development (INFID)

Website www.infid.org