Menengok Lagi ke Dalam: Orang Muda dan KBB, Sampai di Mana? 

Menengok Lagi ke Dalam: Orang Muda dan KBB, Sampai di Mana? 

Oleh : Rahmatul Amalia N. Ahsani

Tulisan ini merupakan tulisan reflektif personal penulis bersama orang muda pegiat isu KBB dan perdamaian yang berada di Banda Aceh, Pontianak, Yogyakarta, dan Kupang.

97 tahun sejak Sumpah Pemuda diikrarkan dengan lantang. Usia yang cukup mengisyaratkan bagaimana orang muda Indonesia dari berbagai generasi telah mengalami perubahan lanskap sosial – politik yang cukup dinamis; dari masa melawan kolonialisme, persiapan kemerdekaan, rangkaian tragedi kekerasan dan pelanggaran HAM, hingga reformasi. Lalu, bagaimana kini? 


“Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia.”

“Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.”

“Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”

Pemaknaan Sumpah Pemuda tidak lepas dari sejarahnya; ia lahir melalui beberapa kali konsolidasi orang muda dari berbagai daerah Indonesia untuk menyatukan suara melawan kolonialisme. Sehingga, “berbangsa satu dan berbahasa satu” tidak dapat dipisahkan dari makna bahwa orang muda mengakui dan menghormati keberagaman dan hak-hak individu sebagai sesama bangsa Indonesia.

Selama 97 tahun perjalanannya, Sumpah Pemuda harus menghadapi refleksi terkait relevansinya dengan keberagaman identitas individu maupun komunal. Salah satunya, yaitu keberagaman dalam beragama dan berkeyakinan (KBB). Dalam kurun periode 2020 – 2024, tren pelanggaran KBB cukup fluktuatif, dengan angka tertinggi pada 2020 dan momen pemilu 2024. Pada beberapa kasus KBB akhir-akhir ini, orang muda dan anak menjadi kelompok yang rentan mengalami persekusi dalam menjalankan ibadah, seperti pembubaran retret pelajar Kristen di Sukabumi pada 27 Juni 2025 dan pembubaran ibadah mahasiswa Katolik UNPAM di suatu indekos pada Mei tahun lalu. Tidak hanya itu, dalam lingkup pendidikan, pelajar pemeluk agama minoritas dan penghayat kepercayaan mengalami kebijakan diskriminatif di sekolah. 

Selain sebagai korban, ironisnya, tren pelaku ekstremisme dan intoleransi pada beberapa tahun terakhir menunjukkan munculnya pelaku dari usia muda. Pada 2021, BNPT menyebut 47,3% pelaku terorisme adalah usia 21-30 tahun (Rosana dalam Tempo, 2021). Sementara itu, penelitian INFID bertajuk “Sikap Generasi Milenial dan Generasi Z Terhadap Toleransi, Kebhinekaan, dan Kebebasan Beragama di Indonesia” pada 2021 menunjukkan bahwa orang muda memiliki sikap keterbukaan terhadap perbedaan. Meski demikian, masih terdapat sikap eksklusivisme beragama, sebuah sikap yang memandang agama atau keyakinan yang dipeluknya adalah yang paling benar, sedangkan lainnya salah atau bahkan sesat. Ini berarti bahwa sebetulnya orang muda memiliki potensi menjadi aktor pendorong perdamaian dan advokasi isu kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB), namun di sisi lainnya juga rentan terpapar pandangan intoleran. 

Oleh karena itu, pembahasan mengenai pelibatan orang muda dalam kerja-kerja KBB muncul dan menguat di kalangan masyarakat sipil. Ini menjadi salah satu langkah progresif dalam membentuk bingkai inklusivitas dalam gerakan akar rumput yang mulanya cukup bersifat maskulin. Kerja-kerja advokasi KBB tidak lagi melulu diinisiasi oleh tokoh agama laki-laki dewasa, namun juga tokoh agama perempuan, serta orang muda. Orang muda juga secara lantang mengawal kebijakan diskriminatif dan mengampanyekan nilai perdamaian lewat berbagai platform. Orang muda bergerak dengan semangat solidaritas, menuntut pemenuhan hak-hak dasar oleh negara. Namun, di tengah tumbuhnya progresivitas gerakan advokasi orang muda, muncul pertanyaan yang lebih mendasar: sudahkah orang muda secara konsisten mencoba menengok kembali ke “dalam” gerakan orang muda itu sendiri? 

Representasi dan Ragam Identitas Orang Muda: Dari, Oleh, dan Untuk Siapa?
Representasi tidak lahir dari sekadar checklist kehadiran dan keikutsertaan usia yang tergolong muda dalam suatu kegiatan atau organisasi KBB. Sosiolog Johana Wyn dan Rob White menyebutkan bahwa definisi orang muda tidak dapat hanya terbatas pada rentang usia, namun juga dari konteks sosial, politik, budaya, ekonomi, gender, ras, serta kelas ekonomi. Sehingga, saat suatu gerakan atau organisasi melibatkan orang muda tanpa melihat konteks identitas lain yang menyertainya, hanya akan membuat kerja-kerja advokasi KBB menjadi eksklusif. 

Hal ini dirasakan oleh Regi Hervianto (Egi), laki-laki muda pegiat dari Suar Asa Khatulistiwa (SAKA), komunitas yang bergerak dalam isu perdamaian dan HAM di  Pontianak. SAKA  menekankan advokasi yang berbasis partisipasi warga secara konstruktif, penyelenggaraan pendidikan kritis dan multikultural serta penggunaan pendekatan seni-budaya. Egi melihat bahwa isu KBB masih didominasi oleh kelompok orang muda yang berpendidikan tinggi, kelas menengah di perkotaan, dan memiliki akses dengan jaringan internasional. Sementara orang muda dari pondok pesantren di desa, komunitas masyarakat adat, dan buruh muda masih minim akses dan kesempatan berbicara di ranah yang lebih besar. Ini menjadi refleksi, apakah isu KBB di masing-masing gerakan maupun secara makro pembahasannya selalu “dipimpin” oleh nama-nama yang sama? 

Cerita berbeda datang dari Untung Nomleni (Unny), pegiat perdamaian di Kupang yang membagikan pengalaman berorganisasinya di Komunitas Orang Muda Peacemaker Kupang (KOMPAK). Sebagai organisasi yang dipimpin oleh orang muda, KOMPAK menjadi ruang yang setara bagi orang muda dari berbagai identitas dalam melakukan kerja-kerja KBB dari hal yang sifatnya teknis hingga substansial. Contoh sederhananya seperti dalam kepengurusan setiap kegiatan, posisi bendahara dan sekretaris tidak otomatis dilekatkan pada relawan perempuan. Dalam ruang-ruang diskusi, semua individu orang muda memiliki kesempatan yang setara untuk menyampaikan pendapat dan didengar serta kesempatan yang setara untuk mengakses peningkatan kapasitas, atau menghadiri undangan sebagai pembicara. 

Hal serupa juga datang dari Khalida Zia (Zia), perempuan muda Aceh yang saat ini tengah mendirikan organisasinya sendiri, SVARA, sebuah organisasi orang muda yang bergerak dalam isu perdamaian dan kepemimpinan. Menurutnya, meskipun dirinya mampu melewati batas-batas sosial dan status quo di Banda Aceh, tidak berarti bahwa hal yang sama terjadi di bagian Aceh lainnya. 

“Aku secara personal sebagai perempuan di Banda Aceh tidak mengalami tantangan untuk menjadi seorang pemimpin di organisasi yang bergerak di isu KBB, namun kawan perempuan di daerah yang lainnya masih mendapat kesulitan, apalagi beberapa sistem dalam gerakan masih belum akomodatif dan cukup menjadi ruang aman bagi perempuan,” tutur Zia.  

Foto: SVARA
SVARA berkolaborasi dengan Dinas Pendidikan Provinsi Aceh dan CSO lainnya menyelenggarakan Pelatihan Manajemen Konflik Berbasis Sekolah  

Pengalaman pegiat muda di atas menegaskan bahwa representasi orang muda dalam gerakan KBB masih belum sepenuhnya merata. Masih terdapat kesenjangan dan bias yang perlu disadari dalam tubuh gerakan itu sendiri. Sedikit cerita di atas memperlihatkan bagaimana gerakan orang muda di isu KBB belum cukup representatif. Sayangnya, representasi orang muda di beberapa gerakan masih sekadar checklist.

Interseksionalitas dan Kolaborasi Lintas Sektor: KBB Tidak Hanya Soal Agama
Representasi memengaruhi substansi dan sudut pandang aktor-aktor KBB dalam memandang dan mengadvokasi isu. Ketika gerakan sudah representatif, maka lensa dan percakapan yang muncul akan bersifat interseksional. Lensa interseksional harus digunakan dalam kerja-kerja advokasi seluruh isu, karena membantu membongkar lapisan-lapisan identitas dan kekerasan yang menimpa suatu kelompok atau individu. Ia merujuk pada cara pandang dalam melihat bagaimana ragam diskriminasi timbul dari ragam identitas yang saling berinteraksi dan beririsan. Kimberle Crenshew (1989) menyebutkan pengabaian terhadap identitas lain yang melekat pada seseorang akan mengabaikan tantangan spesifik yang dialami oleh individu di komunitasnya. 

Interseksionalitas KBB bisa dilihat dari bagaimana ia beririsan dengan ragam isu dan identitas, seperti disabilitas, ragam gender, masyarakat adat, anak, lansia, dan Orang dengan HIV AIDS (ODHA) dan lainnya. Pada konteks Pontianak, dapat dilihat dari bagaimana KBB bersinggungan dengan etnisitas dan agama. Melayu yang identik dengan agama Islam, Tionghoa dengan Buddha atau Konghucu, dan Dayak dengan Kristen atau Katolik. Konflik yang terjadi tidak disebabkan secara tunggal oleh gesekan perbedaan agama, namun juga stigma terhadap etnis yang melekat pada pemeluk agama tersebut. Interseksionalitas juga muncul dalam konteks kelas sosial masyarakat yang tinggal di pinggiran Pontianak lebih sering mengalami hambatan dalam pendirian rumah ibadah dibandingkan dengan yang berada di pusat kota. 

“KBB, dalam konteks ini, bukan hanya soal ‘bebas beribadah’, tetapi juga tentang hak untuk menafsirkan, berdialog, dan hidup berdampingan secara setara dalam realitas pluralitas kota.” jelas Egi.

Dalam konteks Aceh yang cenderung homogen, isu KBB beririsan dengan pendidikan. “Saya pernah mewawancarai pelajar beragama minoritas yang seharusnya menjadi perwakilan sekolahnya untuk Cabang Olahraga Taekwondo, namun batal karena dinilai tidak dapat “mencerminkan” identitas Aceh,” tutur Khalida Zia. 

Di Kupang dan NTT secara lebih luas, KBB beririsan pada kelangsungan hidup masyarakat adat dan lingkungan. Saat Flores ditetapkan sebagai Pulau Panas Bumi pada 2017 dan kini menjadi salah satu Proyek Strategis Nasional (Rosary, 2025), ini mengancam kelangsungan hidup masyarakat, utamanya penghayat kepercayaan yang tinggal di titik pembangunan geotermal. Sebab, selain dalam konteks media peribadatan, penghayat kepercayaan memiliki hubungan spiritual yang kuat dengan alam, seperti contohnya bagi masyarakat adat Marapu di Sumba yang meyakini bahwa tanah adalah ibu (SATUNAMA.org, 2020). Dengan begitu, saat tanah adat hilang, semakin terputus pula relasi masyarakat adat dengan identitas dan memori kolektif tentang leluhurnya. 

“Sebagian besar lahan di NTT merupakan lahan adat, di atasnya seharusnya berdiri rumah adat yang digunakan oleh masyarakat adat untuk melakukan ritual kepercayaannya. Dengan semakin hilangnya sistem yang mendukung pelestarian lahan, tradisi, dan keberlangsungan hidup masyarakat adat tersebut, orang muda Kupang saat ini menjadi lupa akan identitas diri dan leluhurnya,” jelas Unny.  

Berbeda hal dengan konteks di Yogyakarta. Isu KBB beririsan dengan ragam gender. Pada 2016, Ormas Front Jihad Islam (FJI) menuntut penutupan ponpes Waria Al-Fattah karena tidak ada perizinan bangunan pesantren, dinilai meresahkan warga sekitar, serta tidak sesuai dengan syariat Islam (KumparanNEWS, 2017). Dengan dukungan berbagai pihak, Ponpes Al-Fattah tetap diizinkan untuk melakukan aktivitas rutinnya. Sepeninggal pimpinan ponpes, Shinta Ratri, pada 2023, para transpuan di ponpes saling memberdayakan di tempat yang baru. 

“Sebetulnya, tidak ada protes dari warga sekitar. Protes datang dari ormas. Tidak seharusnya ormas dapat melarang atau membubarkan aktivitas keagamaan warga negara karena konstitusi Indonesia menjamin kesetaraan setiap warga tanpa diskriminasi identitas dan ekspresi gender,” jelas salah satu pegiat HAM di Yogyakarta. 

Ia juga menyebutkan, orang muda perlu sadar bahwa menjalankan suatu kegiatan keagamaan itu adalah sebuah privilese (hak istimewa) yang tidak semua orang bisa dapatkan. “Ketika kawan transpuan dibatasi haknya untuk berkumpul di ponpes, itu akan berdampak pula pada kesejahteraan hidupnya. Jadi, penting untuk bersolidaritas,” tambahnya.

Maka dari itu, interseksionalitas ragam gender dan seksualitas dalam KBB menunjukkan bagaimana pelanggaran KBB dapat menimbulkan kerentanan berlapis bagi identitas tertentu. Sehingga, ragam identitas maupun ekspresi gender perlu menjadi perhatian bagi orang muda dalam advokasi KBB.  

Interseksionalitas dalam gerakan orang muda di isu KBB sudah menjadi perhatian, namun belum sepenuhnya dipahami secara merata. Orang muda juga sudah mulai melakukan pendekatan non-tradisional, seperti menggunakan media seni, seni-budaya, konten media sosial, berkolaborasi dengan komunitas/organisasi lintas sektor seperti lingkungan dan perempuan, hingga pemerintahan. Pendekatan kreatif lebih bisa membuat pesan dalam kampanye dan advokasi mudah diterima oleh masyarakat, khususnya orang muda, hingga pemerintah. 

Foto: Egi/SAKA
SAKA saat memperkenalkan “Bunga Batu” sebagai media untuk mengenali 4 jendela transisi pasca-konflik

Foto: KOMPAK
KOMPAK saat terlibat dalam aksi bersama Jejaring SAKSI MINOR tahun 2025

Pada era digital dan media sosial ini, orang muda pemengaruh (influencer) dan content creator dengan jumlah pengikut yang besar dan militan di media sosial memiliki kekuatan  untuk mengamplifikasi suara dari orang muda di akar rumput agar mendapatkan perhatian dari  pemangku kebijakan dan masyarakat secara lebih luas melalui kampanye di media sosial. Tentu, kampanye perlu dilakukan secara kolaboratif agar tidak meninggalkan atau merebut suara dari orang muda dari ragam identitas dan latar belakang di akar rumput. Content creator juga berperan penting sebagai salah satu saluran berbagi pengetahuan dalam membangun kesadaran masyarakat mengenai KBB. Ini dilakukan oleh INFID saat berkolaborasi dengan Kalis Mardiasih, seorang feminis Muslimah yang mengangkat mengenai KBB dan isu gender dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima oleh pengikutnya di media sosial. 

Internalisasi Nilai Perdamaian dalam Tubuh Gerakan: Mulai dari Diri Sendiri

Advokasi KBB adalah jalan yang panjang. Dalam prosesnya ia meliputi upaya mendorong atau bahkan mengubah cara pandang, stigma, sikap individu agar menjadi terbuka terhadap keberagaman. Upaya yang sifatnya perubahan paradigmatik jelas tidak bisa terjadi secara cepat, dengan satu atau dua kali intervensi. Untuk itu, diperlukan konsistensi dan komitmen orang muda dalam melakukan kerjanya. Orang muda juga perlu mulai melakukan identifikasi aset dan modal-modal sosial yang dimiliki agar perjuangan dalam KBB berkelanjutan dan tidak bergantung pada ada atau tidaknya sumber dana. Walaupun kita semua tahu, dalam kondisi politik dan ekonomi saat ini, konsistensi dalam gerakan menjadi tantangan. 

Selain konsistensi, orang muda juga perlu melihat bahwa advokasi KBB tidak hanya tentang kebijakan dan pemerintahan; lebih dari itu, tentang bagaimana orang muda di dalamnya, menghidupkani nilai-nilai yang diperjuangkan. 

“Orang muda perlu clear dulu terhadap diri sendiri. Selain kita advokasi ke atas, nilai-nilai dalam KBB seperti toleransi, penghargaan terhadap keberagaman, perdamaian, keterbukaan sudah seharusnya hidup dalam setiap individu pegiat isu KBB. Jangan sampai perdamaian hanya diserukan ketika di forum formal, namun mengutarakan kebencian di luar forum”, jelas Unny. 

Internalisasi nilai-nilai KBB adalah suatu proses pembelajaran sepanjang hidup. Pada tahap ini, masyarakat sipil penting untuk mengambil jeda untuk berpikir atau berefleksi, agar kampanye dan advokasi kebijakan KBB tidak hanya sekadar jargon. 

Sudah Bermaknakah Partisipasi Orang Muda? 

Ketika representasi orang muda dengan ragam identitasnya sudah terpenuhi, pertanyaan selanjutnya adalah: sejauh mana orang muda dilibatkan? CHOICE for Youth and Sexuality (2017 dalam Yohana, 2024) mengembangkan model “Bunga Partisipasi” untuk membantu organisasi dalam menciptakan pelibatan orang muda secara bermakna. Model tersebut menyebutkan bentuk partisipasi yang dapat dilakukan, di antaranya: 1) Dipimpin oleh orang dewasa, berbagi kuasa pengambilan keputusan dengan orang muda; 2) Dipimpin oleh orang muda, berbagi kuasa pengambilan keputusan dengan orang dewasa; 3) Dipimpin seluruhnya oleh orang muda, tanpa keterlibatan orang dewasa dalam pengambilan keputusan; 4) Kemitraan orang muda dan orang dewasa (youth-adult partnership). Selain bentuk tersebut, paling tidak dua bentuk pelibatan ini harus dilakukan, yaitu: 1) Orang muda diberi peran dan diinformasikan; serta 2) Orang muda dikonsultasikan dan diinformasikan.

Dalam cerita di komunitas Egi, Zia dan Unny, dua syarat pelibatan orang muda tersebut sudah dilakukan serta partisipasi orang muda yang mereka rasakan sudah meliputi nomor 3 dan 4. Namun, Zia menyoroti pengalamannya bekerja sama menyelenggarakan kegiatan dengan orang muda di pemerintahan. Kegiatan dilaksanakan tanpa adanya konsultasi dengan orang muda lokal sebelum pelaksanaan, sehingga materi dan topik pembahasan kurang relevan dengan kebutuhan masyarakat yang disasar. Padahal, menurut Zia, keberadaan orang muda yang berperspektif inklusif dalam pemerintahan cukup penting karena berkaitan dengan perubahan sistemik. Hal-hal tersebut akhirnya berdampak pada bagaimana orang muda di akar rumput melihat kawan orang muda yang masuk dalam sistem dan “mengubah dari dalam”.   

Cerita lain datang dari salah satu pegiat muda HAM di Provinsi Yogyakarta yang merasakan kecemasan dan kekhawatiran saat berada dalam forum-forum diskusi. Perasaan ini muncul dari pengalaman para pegiat muda (yang baru terlibat dalam aktivisme), mendapatkan respons yang kurang suportif dari pegiat muda yang telah lama terjun dalam advokasi KBB. Ini juga menunjukkan bagaimana relasi kuasa timbul antar sesama orang muda karena identitas dan kedudukan lain yang melekat. Dalam forum diskusi formal, betul bahwa orang muda dilibatkan dan diberikan ruang untuk berpendapat, namun lebih banyak perannya sebagai pendamping dari aktivis dewasa atau aktivis yang telah lama terjun dalam dunia advokasi. Ini menjadi refleksi bersama untuk orang muda dan dewasa, sampai manakah partisipasi orang muda dalam gerakan, sudah bermakna atau masih semu?

Antara Orang Muda, KBB, dan Indonesia Kini: Mission (Im)possible?  

Peran orang muda terasa berat jika tidak didukung dengan sistem pemerintahan yang demokratis, menjamin hak warga negara dalam mengeluarkan pendapat, berserikat dan berkumpul untuk melakukan kerja-kerja advokasi di isu KBB. Orang muda yang bergerak dalam advokasi kebijakan bisa menyampaikan bahwa pemerintah pusat dan daerah perlu melihat isu KBB sebagai isu yang berdampak pada pembangunan sebuah daerah dan negara.

⁠Riset oleh Grim (2014) dalam Interdisciplinary Journal of Research on Religion menunjukkan bahwa terjaminnya KBB (serta kebebasan secara umum) di suatu negara berkorelasi dengan penguatan demokrasi, peningkatan pertumbuhan ekonomi, pendidikan dan kesehatan, serta penurunan korupsi. Negara dengan tingkat pembatasan KBB yang kecil, akan menciptakan suatu sistem yang memberikan ruang kelompok keagamaan atau keyakinan secara untuk mudah mendirikan fasilitas kesehatan atau pendidikan, sebagai bagian dari filantropi. Saat negara benar-benar menegakkan KBB sesuai dengan Pasal 28E dan 29 UUD 1945, Deklarasi Universal HAM (DUHAM), dan Pasal 18 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, maka akan membentuk kondisi yang membuat setiap individu merasa nyaman untuk mengekspresikan keyakinan, opini, dan ide-ide baru. Hal ini merupakan aspek penting dalam pembangunan suatu negara. 

Saat kita, orang muda, diberikan ruang yang setara dan memiliki agensi, kita akan memiliki kapabilitas dan bertindak untuk pemenuhan hak-hak yang berkaitan dengan hidup kita. Negara, orang dewasa, dan orang muda perlu mengingat bahwa Sumpah Pemuda dulu dilakukan dengan semangat anti-penjajahan dan anti-penindasan. Maka, sudah seharusnya saat ini pun orang muda diberikan ekosistem yang mendukung, bukan justru menindas. Pada akhirnya, saat gerakan orang muda dalam KBB sudah representatif, menjadi ruang aman bagi semua ragam identitas, dan partisipasinya bermakna, kita perlu mengorganisir diri agar gerakan lebih dari sekadar rimpang, tidak merasa sendiri dalam mengarungi jalan panjang advokasi KBB dan melawan sistem yang (sayangnya) masih diskriminatif. 

Referensi: 

Crenshew, Kimberle. 1989. Demarginalizing the Intersection of Race and Sex: A Black Feminist Critique of Antidiscrimination Doctrine, Feminist Theory and Antiracist Politics. University of Chicago Legal Forum: Vol. 1989: Iss. 1, Article 8. Diakses pada 27  Oktober 2025. 

Dahlan, Alfindra Primaldhi., Sahat Khrisfianus Panggabean, dan Paksi C.K. Walandouw. 2021. Laporan Penelitian Survei Warga Sikap Generasi Milenial dan Generasi Z Terhadap Toleransi, Kebinekaan, dan Kebebasan Beragama Di Indonesia. INFID. 

DFID-CSO Youth Working Group. (2010). Youth Participation in Development: A Guide for Development Agencies and Policy Makers Diakses pada 26 Oktober 2025.

Grim, Brian J., Greg Clark dan Robert Edward Snyder. 2014. “Is Religious Freedom Good for Business?: A Conceptual and Empirical Analysis” dalam Interdisciplinary Journal of Research on Religion Vol. 10. The Interdisciplinary Journal of Research on Religion (IJRR)

KumparanNEWS, 2017. “Pesantren Al-Fatah: Menuntun Waria di Persimpangan Iman” Tersedia di https://kumparan.com/kumparannews/pesantren-al-fatah-menuntun-waria-di-persimpangan-iman/full Diakses pada 28 Oktober 2025.

Laelah, Nuur Alfi., et al. 2023. Laporan Survei Toleransi Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) [PDF]. Pustaka Masyarakat Setara. 

Rosana, Francisca Christy. 2021. Deretan Anak Muda di Bawah Usia 30 Tahun yang Menjadi Pelaku Terorisme [Online] Tersedia di https://www.tempo.co/hukum/deretan-anak-muda-di-bawah-usia-30-tahun-yang-menjadi-pelaku-terorisme-525667. Diakses pada 27 Oktober 2025. 

SATUNAMA. 2020. “Prinsip Resiprokal Penghayat dengan Alam” [Online] Tersedia di https://satunama.org/6684/prinsip-resiprokal-penghayat-dengan-alam/ Diakses pada 27 Oktober 2025. 

Wyn, Johanna & Rob White. 1997. Rethinking Youth. London.  SAGE Publications.

Yohana, Cory. 2024. Partisipasi Orang Muda Yang Inklusif dan Bermakna: Buku Saku Integrasi MIYP dalam Program Urban Futures Indonesia. Pamflet Generasi, Creative Commons Attribution.