Mengenal To’lotang: Agama Leluhur Orang Bugis

Mengenal To’lotang: Agama Leluhur Orang Bugis

Penulis: Muhammad Ian Hidayat Anwar

Editor: Nur Hayati Aida

Saya lahir dari seorang ibu yang berdarah Sidenreng Rappang (Sidrap)–sebuah daerah yang dulu menjadi bagian federasi kerajaan Ajatappareng. Setidaknya ada sekitar 4 kerajaan yang tergabung yaitu Kerajaan Barru, Kerajaan Suppa, Kerajaan Sidenreng–yang berasal dari berbagai macam etnis. Makna Ajatappareng dalam bahasa Bugis adalah “(sebelah) barat danau”, danau yang dimaksud adalah Danau Tempe, Danau Sidenreng, dan Danau Buaya di bagian tengah Sulawesi Selatan.

Pemilihan kata Ajatappareng dalam tulisan ini untuk mempertegas nilai budaya bangsa Bugis, juga mempertegas keberagaman suku bangsa yang ada di Sulawesi Selatan.  Selama ini orang orang mengikat suku bangsa Bugis-Makassar sebagai satu kesatuan. Walaupun punya banyak persamaan, Bugis dan Makassar adalah dua suku bangsa berbeda. Hal ini pernah disinggung oleh Christian Pelras dalam bukunya yang berjudul Manusia Bugis.  

Sejak 2004, ibu merantau ke daerah Pasangkayu, Sulawesi Barat. Saat momen lebaran, ibu selalu mudik untuk mengobati rasa rindunya selepas berbelas bulan bekerja. Menempuh perjalanan 12 jam menggunakan bus dengan penuh suka cita. Cukup lama memang, namun setiba di Sidrap selalu menyenangkan. Berkumpul keluarga pada saat lebaran adalah momen paling ditunggu. Pasalnya, pada saat itu semua keluarga ibu berkumpul, baik dari generasi ibu atau generasi sebelumnya yang pergi merantau. Keluarga ibu berasal dari berbagai macam profesi dan juga kepercayaan. Di Sidrap, sebagian masyarakat beragama Islam. Sebagian lain masih mempercayai kepercayaan To’lotang. Dari keluarga Ibu juga demikian, sebagian memeluk Islam dan sebagian lain memeluk Kepercayaan To’lotang. 

Istilah To’lotang dalam bahasa Bugis berasal dari Tau yang berarti manusia atau orang dan Lotang yang berarti timur. Jadi, Tau Lotang bisa diartikan sebagai orang-orang yang berasal dari timur. Secara historis, masyarakat To’lotang merupakan kelompok kepercayaan yang menolak Islamisasi. Peristiwa masuknya Islam di Sidrap ditandai dengan kedatangan Syeikh Abdul Makmur Khatib Tunggal atau Dato ri Bandang beserta dua kawannya, yaitu Khatib Bungsu Abdul Jawad atau Dato ri Tiro dan Khatib Sulung Dato Sulaeman atau Dato Patimang pada awal abad ke 17. Dato ri Bandang kemudian mengislamkan kerajaan Gowa, sementara Dato ri Tiro bergerak lebih ke Selatan dan melakukan penyebaran Islam di wilayah Bulukumba. Sedangkan Dato Sulaeman atau Dato Patimang berlayar menyisir teluk Bone ke arah Utara dan kemudian melakukan dakwah Islam di wilayah kerajaan Luwu.

Jauh sebelum datangnya agama Islam, pranata keagamaan atau sistem kepercayaan telah ada di Sulawesi. Masyarakat bagian Ajatapparrang telah menganut kepercayaan yang ajarannya lebih menekankan pada aspek keruhanian. Sistem kepercayaan kuno ini disebut dengan sistem kepercayaan Attorioloang, yang secara harfiah berarti anutan leluhur. Kepercayaan ini selama berabad-abad dipegang teguh oleh masyarakat sebagai pedoman hidup dan hingga kini masih terasa pengaruhnya. Pendiri agama asli Sulawesi Selatan ini tidak dikenal, namun Attorioloang menjadi sistem kepercayaan yang inhern dengan budaya masyarakat. 

Masyarakat Bugis kuno percaya bahwa dunia terdiri atas dua aspek, yaitu alam yang tampak (nyata) dan alam yang tidak tampak (gaib). Dunia yang tak tampak adalah dunia yang berada di luar jangkauan panca indera. Dalam keyakinan mereka bahwa di dalam dunia itu terdapat makhluk dan kekuatan alam yang tidak dapat dikuasai oleh manusia secara biasa, melainkan dengan cara yang luar biasa (Mappangara, 2003:35). Kepercayaan terhadap makhluk-makhluk halus timbul dari kesadaran masyarakat animisme tentang jiwa yang menempati seluruh alam. Makhluk-makhluk halus ada yang bersahabat dengan manusia dan juga ada yang jahat. Secara teologis, ajaran To’lotang merupakan ajaran yang bersumber Kitab Lontara, sumbernya dari pemilik alam semesta Dewata SewaE (Tuhan Yang Maha Esa) dan tokoh adatnya disebut Uwa’.

To’lotang, sepanjang sejarahnya, telah mengalami beberapa fase perjuangan. Pada awal kedatangannya, To’lotang mendapat penolakan dari pihak penguasa (kerajaan). Namun hal tersebut teratasi setelah adanya dialog antara Kerajaan (addatuang) Sidenreng dengan To’lotang yang menyepakati bahwa mereka akan dapat mendiami wilayah di sebelah Selatan Sidenreng (kini menjadi Kelurahan Amparita, Kecamatan Tellu Limpoe). 

Saat Islam mulai masuk, penganut To’lotang dicap sebagai penganut aliran sesat sehingga mendapat serangan berupa intimidasi dan kekerasan fisik. Kalangan Islam melihat To’lotang sebagai agama sempalan, sehingga menjadi sasaran dakwah–yang di antaranya menggunakan cara kekerasan. Banyak dari penganut To’lotang kemudian berpindah keyakinan menjadi Muslim. Mantan Rektor IAIN Yogyakarta, Atho‘ Mudzhar, berpendapat bahwa penganut To’lotang meninggalkan kampung halamannya salah satunya akibat Islam dijadikan agama resmi kerajaan kala itu. 

Pada 1965, propaganda buruk terhadap PKI berimbas pada To’lotang. Sebagai penganut kepercayaan yang dianggap mengajarkan ajaran sesat, mereka dituduh sebagai simpatisan PKI. Pada tahun ini juga pemerintah menerbitkan Undang-Undang (UU) Nomor 1/PNPS/1965 yang mengakui Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konfusius (KongHuCu) sebagai agama resmi. Hal tersebut, memaksa penganut kepercayaan lokal harus tunduk dan ikut pada agama resmi, termasuk To’lotang. Di Sidrap sebagian besar masyarakatnya beragama Islam, sehingga penganut To’lotang kemudian menjadi menganut Islam. Merespons dinamika yang ada, Bupati Dati II Sidenreng Rappang Andi Sapada Mappangile pada 14 Februari 1966 mengeluarkan surat edaran yang pada intinya tidak mengakui Tolotang sebagai bagian dari Islam. Hal ini dilakukan, karena ritual keagamaan Tolotang dipandang sebagai penyembahan berhala. Pemerintah daerah bersama umat Islam seringkali melakukan pembatalan upacara dan dianggap merusak nilai pancasila.

Pada masa itulah, aktivitas kebudayaan masyarakat To’lotang tidak dilakukan lagi. Dua acara keagamaan Tolotang yang tidak dilaksanakan masa itu adalah tudang sipulung dan mappaenre inanre. Tudang Sipulung yaitu duduk berkumpul untuk melakukan acara ritual tertentu guna memohon doa keselamatan bersama, seperti memohon hujan karena kemarau panjang terjadi, sedangkan musim tanam di sawah telah tiba, dan lain-lain. Acara ritual tersebut dilakukan pada malam hari dan dilanjutkan dengan pawai keliling kampung. Sedangkan, Mappenre Inanre yaitu mengantarkan sesajen kepada Uwa’ sebagai pemimpin mereka berupa nasi beserta lauk-pauknya, yang selanjutnya sesajen tersebut diberkahi oleh Uwa’ sebagai persembahan kepada Dewata SewaE.

 Dalam catatan Faisal Oddang (Penulis dan Budayawan UNHAS), masyarakat To’lotang diberangus oleh Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di bawah kepemimpinan Kahar Muzakkar. Masa itu, To’lotang banyak yang mengaku Islam untuk menyelamatkan diri. Upaya ini terpaksa dilakukan oleh penganut To’lotang demi keberlangsungan hidup mereka, meskipun dengan pengakuan yang tidak sesuai. DI/TII tidak pernah masuk di Amparita sehingga tidak sempat melakukan intimidasi fisik. Tetapi beberapa keluarga To’lotang yang hidup di luar Amparita seperti daerah Otting (Tanrutedong) mengalami peristiwa yang menyedihkan seperti pembunuhan.

Pada tahun 1967, Panglima Kodam XTV Hasanuddin, Brigjen TNI Solihin GP mengeluarkan SK. No. Kep. 0068/7/1967 tentang pembentukan komando operasi Malilu Sipakainga. Tugas utama dari komando tersebut adalah meniadakan aktivitas To’lotang, mereka menganggap ajaran To’lotang tidak sesuai dengan falsafah pancasila. Selain tekanan dari pihak pemerintah dan militer, komunitas To’lotang juga mendapatkan tekanan dari organisasi Islam, baik organisasi politik seperti PSII, maupun organisasi sosial keagamaan seperti MUI, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama  dan sebagainya.

Dengan banyaknya pertentangan dari agama Islam dan adanya UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, aturan ini memberikan peluang kepada aparat negara ataupun masyarakat melakukan intervensi terhadap penganut aliran tertentu. Setelah proses panjang, digelar negosiasi bersama pemerintah untuk menghadirkan tiga opsi kepada To’lotang untuk memilih menjadi Hindu, Islam, atau Kristen. Mereka pada akhirnya memilih agama Hindu karena banyak kesamaan dengannya dalam hal prinsip. Pada 6 Oktober 1996, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Beragama Hindu menetapkan To’lotang sebagai bagian dari aliran agama Hindu melalui Surat Keputusan No. 2/1966 tanggal 06 Oktober 1996. Penetapan tersebutlah yang mengembalikan hak warga negara To’lotang, mereka leluasa untuk bekerja di instansi pemerintahan, dan  tidak menemui kesulitan untuk melanjutkan pendidikan. SK ini juga yang melindungi To’lotang dari intimidasi kelompok mayoritas dan penguasa lokal. Meski ditetapkan sebagai agama Hindu, To’lotang jelas bukanlah bagian dari agama Hindu walaupun beberapa hal memiliki kemiripan. Mereka kembali menjalankan ritual, dengan konsep Dewata SeuwaE.

Pada tanggal 18 Oktober 2017, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan bernomor 97/PUU-XIV/2016. Putusan ini memberikan pengakuan hukum terhadap penghayat kepercayaan sebagai kelompok yang memiliki hak konstitusional untuk bebas memilih dan mengamalkan keyakinannya. Putusan ini memberikan dampak signifikan, termasuk kepada To’lotang, sehingga  penghayat kepercayaan berhak untuk mencantumkan keyakinannya di kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk (KTP). Dengan begitu, penganut To’lotang  bisa mendapatkan akses ke layanan publik dan hak-hak administratif lainnya. Memberikan ruang lebih kepada To’lotang menjalankan ritualnya, yang telah diterima oleh sosial. Sayangnya, putusan MK tersebut tidak tersosialisasi secara menyeluruh ke masyarakat To’lotang. Beberapa sekolah di Sidrap, belum memberikan ruang ajar kepada penganut To’lotang. Sebab, masih banyak  anak-anak To’lotang yang masih menggunakan identitas sebagai agama Hindu, sehingga mereka mendapatkan mata pelajaran agama Hindu yang notabene bukan kepercayaannya.  

***Artikel ini merupakan kerja sama antara penulis dan INFID melalui program PREVENT x Konsorsium INKLUSI sebagai bagian dari kampanye menyebarkan nilai dan semangat toleransi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta inklusivitas.  

Referensi

Herman, Lawelai, and Zuly Qodir. 2020. Dinamika Politik Lokal: Politik Multikulturalisme Kelompok Minoritas “Towani Tolotang” di Sulawesi Selatan (Yogyakarta: Penerbit UMY), 2.

Saprilla. 2020. Melawan Arus: Strategi Komunitas Tolotang Mempertahankan Kepercayaannya. (Makassar: Balai Penelitian Makassar), 2

Saprilla, Melawan Arus (Strategi Komunitas Tolotang Mempertahankan Kepercayaan) 

Friska Sundari Kusmana, “Establishing a Multicultural Communication Network,” (Journal of Intercultural Communication, 2023): 3