
Musik dan Kesetaraan Gender: Musisi Perempuan dalam Kebudayaan di Pulau Miangas
Penulis: Ananda Putri Milita Christy Korinus, Alumni INFID Youth Fellowship 2024
Editor: Nur Hayati Aida
Musik merupakan bahasa universal yang kompleks, karena dapat mempengaruhi perilaku sosial dan budaya. Menurut Djohan (2020) musik memiliki peran yang penting karena dianggap sebagai sarana untuk mengungkapkan perasaan pencipta yang dapat dirasakan oleh pendengar. Musik bukan hanya bicara soal keindahan saja, tapi banyak persoalan yang ada di dalamnya. Persoalan musik bukan hanya pada intra musikal saja, melainkan pada ekstramusikal khususnya dalam budaya masih terjadi kesenjangan gender yang belum teratasi sampai saat ini.
Secara etimologis “budaya” atau “culture” berasal dari bahasa Latin “colere” yang artinya mengolah atau mengerjakan sesuatu yang berkaitan dengan akal (cultivation). Budaya bukan hanya mempengaruhi tetapi, budaya juga dipengaruhi oleh berbagai aspek seperti persepsi, perilaku sosial, dan tradisi. Budaya tidak bisa lepas dari aktivitas manusia sehari-hari dalam hal ini musik, karena musik adalah media komunikasi dan bentuk dari sosiabilitas.
Praktik patriarki yang ada di masyarakat Indonesia terlihat pula pada kelompok musik Hawaiian Kalvari Miangas (Perbatasan Indonesia-Filipina) yang mengakibatkan musisi perempuan sulit untuk mendapatkan kesempatan untuk tampil di ruang publik. Hal ini menyebabkan perempuan mendapat stigma Glass Ceiling–metafora untuk menggambarkan hambatan yang dihadapi oleh perempuan–dan fenomena ini bentuk diskriminasi terhadap perempuan karena tidak bisa menempati posisi yang tinggi di ruang publik. Bukan karena tidak mampu atau tidak memiliki keterampilan, tapi karena adanya bias gender yang menjadi penyebab utamanya.
Bukan hanya glass ceiling saja, pemusik perempuan Miangas juga mendapat stereotip bahwa “perempuan tempatnya mengurus rumah tangga saja”. Kalaupun ada pemusik perempuan yang tampil di ruang publik, biasanya perempuan ini kerap kali menghadapi double burden (beban ganda perempuan). Padahal semua manusia memiliki bakat musik, dan permasalahanya hanya pada kesempatan yang diberikan. Musisi perempuan dianggap tidak bisa menjadi musisi profesional karena perempuan dianggap tidak memiliki waktu untuk latihan apalagi untuk tampil di depan publik. Menurut Anders Ericsson (dalam Djohan, 2020) menjadi seorang musisi profesional terbaik memerlukan lebih kurang 10.000 jam latihan selama hidup mereka.
Hadirnya perempuan dalam musik budaya Miangas bukan hanya sebagai penghias, tetapi sebagai proses untuk merebut ruang sosial dan agama yang selama ini tidak pernah diberikan. Seorang perempuan bernama Halena Matama yang lahir pada tahun 1949 adalah pemusik perempuan pertama dalam kelompok Musik Hawaiian Kalvari Miangas. Musik Hawaiian adalah musik kebudayaan yang berkembang dan terus dilestarikan di Kabupaten Kepulauan Talaud atau dikenal dengan Porodisa (istilah lain untuk Kepulauan Talaud yang memiliki arti Surga). Berdasarkan sejarah, musik ini masih sejenis dan satu genre dengan musik keroncong karena teknik bermain serta instrumen yang digunakan sama, hanya penamaannya saja yang berbeda. Alat musik yang digunakan pada kelompok musik Hawaiian adalah gitar, juk (ukulele), dan trembass (kontra bass). Alat musik yang digunakan berperan sebagai musik pengiring kelompok penyanyi (Ananda, 2023).
Peran perempuan dalam kelompok musik Hawaiian ini awalnya hanya sebagai kelompok penyanyi, dan biasanya mereka tidak ditampilkan langsung di depan umum ketika ada acara kebudayaan. Tempat kelompok penyanyi biasanya ada di bagian belakang balkon, sedangkan kelompok pemusik ada di bagian depan yang berhadapan langsung dengan audience. Masuknya musik Hawaiian di Pulau Miangas pada tahun 1970 ini awalnya hanya sebagai profan (hiburan) dalam upacara adat tahunan Manuru’tonna (syukuran awal tahun), dan Lintuu Harele (syukuran hasil kebun). Kemudian pada tahun 2009 musik ini mulai masuk ke gereja sebagai pengisi acara dan pada akhirnya menjadi pengiring dalam ibadah. Dan pada masa sekarang musik ini hanya tampil pada perayaan keagamaan di bulan Desember saja.
Sejak tahun 1970, Halena Matama, atau yang akrab disapa sebagai Oma Halena, berusaha untuk bisa menjadi salah satu pemain Juk agar bisa tampil di depan umum dan dapat berpartisipasi dalam perayaan keagamaan. Ia ingin mematahkan stigma masyarakat yang menganggap perempuan tak layak menjadi pemain musik karena dianggap tak memiliki kecakapan sebagaimana laki-laki. Namun, hal itu ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan, Oma Halena harus menghadapi cibiran seperti, “perempuan tidak memiliki kemampuan bermusik sehebat laki-laki”, atau “perempuan lebih cocok pekerjaan rumah tangga saja”.
Cibiran dan stigma dari masyarakat itu tidak membuat Oma Halena menyerah, selama lima tahun berturut-turut Oma Halena mengikuti latihan rutin. Ia pun membuat kesepakatan dengan Opa Lius Talu (pemimpin kelompok Musik Hawaiian Kalvari), jika ia mampu menguasai serta memahami semua lagu Gerejawi dan lagu tradisional Miangas beserta nada dasarnya, maka Opa Lius Talu bersedia memasukkan Oma Helena dalam timnya.
Dan tepat saja, berkat usaha kerja keras dan latihan terus-menerus oma Halena berhasil membuktikannya kalau perempuan juga memiliki kemampuan yang sama dengan laki-laki jika diberikan kesempatan yang sama. Lima tahun setelahnya Oma Halena menjadi pemusik perempuan pertama dalam kelompok musik Hawaiian Kalvari Miangas yang tampil di peribadatan Gereja dan perayaan tahunan adat Miangas.
Walaupun sekarang Oma Halena sudah bukan lagi anggota kelompok musik Hawaiian Kalvari karena keterbatasan penglihatan (disabilitas netra) dan lanjut usia, tidak menghalangi semangat Oma Halena untuk terus bermusik. Ke mana saja Oma Halena pergi, ia selalu membawa juk dan memainkannya sambil bernyanyi lagu-lagu tradisional maupun rohani. Berkat usaha dan kerja keras Oma Halena, sekarang anggota kelompok musik ini didominasi oleh perempuan yang berjumlah 10 orang yang berperan sebagai pemain gitar ataupun juk. Dan para perempuan inilah yang melestarikan musik ini.
***Artikel ini merupakan kerja sama antara penulis dan INFID melalui program PREVENT x Konsorsium INKLUSI sebagai bagian dari kampanye menyebarkan nilai dan semangat toleransi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta inklusivitas.
Referensi
Djohan. Psikologi musik. Penerbit PT. Kanisius, 2020.
Hardjana, Suka. Antara Kritik dan Apresiasi. Penerbit Buku Kompas, 2004.
Hardjana, Suka. Estetika Musik Sebuah Pengantar. Quantum, 2018.
Korinus, Ananda Putri Milita Christy. Alat Musik Keroncong Dalam Peribadatan Gereja Masehi Injili Talaud Jemaat Efrata Miangas. SKRIPSI, 2023.
Korinus, Ananda Putri Milita Christy. Hasil Wawancara bersama Oma Halena Matama di Miangas, Agustus 2023.
Korinus, Ananda Putri Milita Christy. Hasil Wawancara bersama Opa Raol Pase (Mangkubumi I) dalam kegiatan Ekspedisi Pulau Terluar #1 Miangas yang dilaksanakan oleh BARAKATI INDONESIA, Januari 2023.
Lestari, Ayu Puspita. “Glass Ceiling Perempuan Pekerja: Distigma Tak Mampu Kerja, Dijerat Beban Ganda – Konde.co.” Konde.co, October 13, 2024. https://www.konde.co/2024/10/glass-ceiling-perempuan-pekerja-distigma-tak-mampu-kerja-dijerat-beban-ganda/.