Nadia Murad: Suara yang Bangkit dari Kegelapan untuk Membela Ribuan Jiwa Terbungkam
Penulis: Nisrina Nur Azizah
Editor: Nur Hayati Aida
(sumber: dokumenter On Her Shoulders)
Bayangkan hidup Anda berubah dalam sekejap. Dari seorang gadis yang hidup damai di desanya, Anda mendadak kehilangan semua yang Anda cintai. Orang tua, saudara, teman-teman—semua dibantai di depan mata. Anda dipaksa masuk ke dalam kegelapan, di mana tubuh Anda tidak lagi menjadi milik Anda sendiri. Ini adalah kisah Nadia Murad, seorang perempuan Yazidi yang berubah dari korban menjadi simbol harapan bagi dunia.
Apa yang dialami Nadia adalah mimpi buruk bagi siapa saja. Namun, ia memilih bangkit dari luka paling dalam dan berdiri di hadapan dunia, dengan satu pesan: Jangan pernah biarkan ini terjadi lagi.
Saat Dunia Nadia Hancur
Nadia lahir di desa Kocho, Distrik Sinjar, Irak, sebuah tempat yang penuh dengan kehidupan sederhana dan damai. Tapi di tahun 2014, semua berubah. Militan Islamic State of Iraq (ISIS) menyerbu desanya dan memaksa seluruh penduduknya hidup dalam kengerian. Nadia, yang kala itu baru berusia 21 tahun, menyaksikan keluarganya dibantai. Para pria dibunuh, sementara perempuan dan anak-anak diculik untuk dijadikan budak seksual.
ISIS menarget Sinjar karena dihuni komunitas Yazidi, yang dianggap memiliki kepercayaan berbeda dari Islam. Dalam pandangan ISIS, orang Yazidi dianggap “kafir,” kelompok yang harus dipaksa untuk berpindah agama atau dimusnahkan. Keyakinan Yazidi dianggap sebagai ancaman yang harus dihancurkan dan para penganutnya dipandang sebagai musuh yang tak dapat diterima dalam tatanan dunia.
Pada 2014, ISIS melancarkan serangan brutal ke Sinjar, termasuk Kocho, sebagai bagian dari ambisi mereka memperluas kekuasaan di Irak utara dan menerapkan interpretasi agama yang kejam. Serangan ini berujung pada pembantaian ribuan nyawa, penganiayaan yang luar biasa, dan perbudakan terhadap ribuan perempuan dan anak-anak Yazidi. Tragedi ini akhirnya diakui oleh dunia internasional sebagai genosida, sebuah penghancuran massal yang mengancam eksistensi dan identitas komunitas Yazidi yang tak bersalah.
Sebagai salah satu dari ribuan perempuan Yazidi yang mengalami kekejaman ini, Nadia mengalami kekerasan seksual dan penyiksaan fisik yang hampir tidak bisa kita bayangkan. Dia diperlakukan dengan keji, kehilangan harga dirinya, namun tidak kehilangan harapan.
Di saat-saat tergelap hidupnya, Nadia tidak berhenti bermimpi untuk bebas. Dan di tengah kegelapan itu, dia berhasil melarikan diri. Sebuah keluarga Muslim yang baik hati membantunya menyembunyikan diri hingga akhirnya dia aman dan memulai perjalanan menuju kebebasan.
Dari Luka, Nadia Menemukan Tujuan
Melarikan diri dari perbudakan adalah awal dari kebangkitan Nadia, tetapi keberaniannya untuk berdiri di depan dunia dan mengungkap penderitaannya adalah kekuatan sejati dari perjuangannya. Pada tahun 2015, Nadia pertama kali diundang untuk memberikan kesaksian di hadapan Dewan Keamanan PBB. Dalam kesaksiannya, Nadia mengisahkan penderitaan para perempuan Yazidi yang dijadikan budak seksual oleh ISIS. Dia mendesak komunitas internasional untuk mengakui kekejaman ini sebagai genosida dan menuntut tindakan hukum terhadap pelaku kejahatan tersebut.
Pada tahun 2016, PBB mengangkatnya sebagai Duta Besar Kehormatan PBB untuk Martabat Korban Perdagangan Manusia. Dalam peran ini, Nadia terus mengkampanyekan perlindungan bagi perempuan dan anak-anak di zona konflik, serta mengadvokasi reformasi kebijakan internasional guna mendukung respons terhadap korban kekerasan seksual di zona perang. Ia mengingatkan dunia bahwa bantuan yang diperlukan para penyintas bukan hanya secara fisik, tetapi juga psikologis dan sosial.
Nadia memilih untuk tidak diam—karena dalam diam, ketidakadilan terus hidup. Dia mengangkat suaranya, bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk semua perempuan yang masih terjebak dalam perbudakan seksual di zona konflik. Nadia mengatakan sesuatu yang begitu menggugah hati, “Saya di sini karena saya tidak ingin ada anak perempuan lain yang mengalami apa yang saya alami. Tidak ada satu orang pun yang pantas hidup dalam ketakutan, dipaksa menyerahkan tubuhnya kepada orang lain.”
Dalam setiap ucapannya, Nadia membawa pesan yang sederhana namun mendalam: manusia tidak boleh menjadi senjata, dan kekerasan seksual tidak boleh menjadi senjata perang.
Suara yang Menyentuh Dunia
Setelah keberaniannya berbicara di Dewan Keamanan PBB, Nadia menggugah hati dunia. Dia tak hanya menceritakan kisahnya—dia memaksa kita semua untuk membuka mata terhadap kengerian yang terjadi pada perempuan di zona konflik. Kata-katanya tidak lagi hanya tentang dirinya; itu tentang ribuan korban kekerasan seksual di seluruh dunia yang masih terjebak dalam kegelapan dan ketidakadilan.
Melalui Nadia’s Initiative, organisasi yang ia dirikan pada 2018, Nadia berkomitmen untuk memulihkan komunitas Yazidi di Irak yang hancur akibat kekejaman ISIS. Organisasi ini dibangun dengan fondasi kuat dalam membantu warga Yazidi kembali ke tanah kelahiran mereka dengan rasa aman dengan memberikan dukungan psikologis untuk korban kekerasan seksual. Nadia’s Initiative mengikat berbagai lembaga lokal dan internasional sebagai bentuk kerja sama untuk memastikan para penyintas menerima terapi dan konseling yang mereka butuhkan. Organisasi ini juga memberdayakan korban melalui program pendidikan dan pelatihan keterampilan untuk membantu penyintas membangun kehidupannya kembali. Tak hanya itu, Nadia’s Initiative juga aktif dalam advokasi global untuk pengakuan internasional atas genosida yang dialami oleh warga Yazidi. Melalui perjuangan ini, Nadia menunjukkan bahwa bahkan dalam kegelapan terdalam, ada kekuatan untuk bangkit dan memberikan suara bagi mereka yang telah lama terabaikan. Bagi Nadia, ini bukan hanya tentang penyembuhan komunitasnya; ini tentang memulihkan martabat manusia yang dicabut dengan begitu kejam.
Sebuah Harapan di Tengah Kegelapan
Pada tahun 2018, Nadia dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian dari perjuangannya. Nadia Murad telah memperjuangkan pembentukan tim investigasi PBB untuk mengumpulkan bukti kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan genosida yang dilakukan oleh ISIS. Inisiatif ini timbul dengan harapan agar pelaku kekejaman, yang terutama menargetkan komunitas Yazidi, mendapatkan pertanggungjawaban. Kampanye Nadia juga menjadi bagian dari perjuangannya dalam menuntut keadilan bagi para penyintas kekerasan seksual, memberikan kesempatan bangkit bagi mereka yang hancur oleh perang.
Penghargaan ini tidak hanya mengakui perjuangannya, tetapi juga memberikan sinar harapan bagi mereka yang masih hidup dalam ketakutan dan penindasan. Di balik penghargaan itu, ada pesan mendalam yang Nadia sampaikan: Kita semua memiliki tanggung jawab untuk tidak menutup mata terhadap penderitaan orang lain.
Nadia menyentuh hati kita semua dengan kisahnya. Ia menunjukkan bahwa meskipun kita mungkin merasa tak berdaya, suara kita bisa membawa perubahan besar. Kita bisa memperjuangkan keadilan, bahkan dari tempat terjauh sekalipun.
Kisah Nadia Murad bukan hanya tentang ketidakadilan; ini adalah tentang keberanian untuk bangkit dari keterpurukan dan menghadapi dunia, walaupun penuh luka. Melalui Nadia, kita belajar bahwa trauma tidak harus menghancurkan kita. Jika kita memilih, trauma bisa menjadi kekuatan untuk memperjuangkan masa depan yang lebih baik—bagi diri kita, bagi orang lain, bagi dunia.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Saat kita membaca kisah Nadia, kita diingatkan bahwa kegelapan masih ada di banyak sudut dunia. Tapi dalam kegelapan itu, ada perempuan-perempuan seperti Nadia yang memilih untuk tidak menyerah. Dan kita bisa mendukung mereka.
- Dengar Suara Mereka: Kita sering kali menghindar dari cerita-cerita menyakitkan, tetapi penting bagi kita untuk mendengar. Dengan mendengarkan, kita memberi ruang bagi mereka yang suaranya tertindas.
- Berikan Dukungan: Anda bisa mendukung organisasi seperti Nadia’s Initiative yang memberikan bantuan nyata kepada korban kekerasan seksual dan membangun kembali komunitas yang hancur.
- Jadi Agen Perubahan: Di sekitar kita, ada perempuan dan anak-anak yang mungkin mengalami kekerasan. Jangan biarkan mereka berjuang sendirian. Jadilah pendukung bagi mereka yang membutuhkan.
Kisah Nadia Murad adalah panggilan untuk bertindak. Panggilan bagi kita semua untuk tidak hanya melihat, tetapi juga bertindak. Dunia membutuhkan lebih banyak suara yang berani berbicara tentang ketidakadilan. Dan suara itu bisa datang dari siapa saja—termasuk Anda.
***Artikel ini merupakan kerja sama antara penulis dan INFID melalui program PREVENT x Konsorsium INKLUSI sebagai bagian dari kampanye menyebarkan nilai dan semangat toleransi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta inklusivitas.
Referensi
Al Jazeera. 2019. The Nobel Interview: Nadia Murad and Denis Mukwege: The Nobel Interview: Nadia Murad and Denis Mukwege | Crime | Al Jazeera (Diakses pada 16 November 2024).
Al Jazeera. 2019. Nobel Peace Prize winners seek justice for war rape victims: Nobel Peace Prize winners seek justice for war rape victims | Women’s Rights News | Al Jazeera (Diakses pada 16 November 2024).
CBS News. 2018. 60 Minutes Overtime: Why did ISIS attack the Yezidi people?: .https://www.cbsnews.com/news/60-minutes-overtime-why-did-isis-attack-the-yezidi-people/ (Diakses pada 15 November 2024).
Human Rights Watch. 2020. Documenting ISIS crimes against Yazidis: A global call for justice: https://www.hrw.org (Diakses pada 5 Oktober 2024).
Mazzetti, M., & Schmitt, E. 2014. ISIS Holds 3,000 Yazidis as Slaves. The New York Times. https://www.nytimes.com (Diakses pada 16 November 2024).
Murad, N. 2017. The Last Girl: My Story of Captivity, and My Fight Against the Islamic State. New York: Crown Publishing Group.
Nobel Prize. 2018. Nobel Peace Prize 2018: Nadia Murad and Denis Mukwege: https://www.nobelprize.org (Diakses pada 5 Oktober 2024).
Nadia’s Initiative. 2023. Programs and Advocacy for Yazidi Women: https://www.nadiasinitiative.org (Diakses pada 5 Oktober 2024).
United Nations. 2015. Nadia Murad’s testimony to the UN Security Council on human trafficking: https://www.un.org (Diakses pada 5 Oktober 2024).