
Pengelolaan dan Distribusi Pajak yang Belum Berpihak Kepada Perempuan
Penulis: Isthiqonita
Editor: Andi Faizah
Belum genap 100 hari menjabat, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto mengeluarkan kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN menjadi 12% mulai Januari 2025. Keputusan tersebut diumumkan oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani, saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR pada Rabu (13/11/2024). Menkeu menyebut kenaikan PPN adalah untuk menjaga kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sekaligus mampu merespons berbagai krisis. Kebijakan PPN 12% sebetulnya telah termaktub dalam Pasal 7 ayat 1 UU Nomor 7 Tahun 2021 yang disusun oleh Kabinet Indonesia Maju di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dalam beleid itu, disebutkan bahwa PPN dinaikkan secara bertahap, yakni 11% pada 1 April 2022 dan 12% pada 1 Januari 2025 (BBC.com, 2024).
PPN merupakan jenis pajak yang dikenakan atas setiap transaksi jual beli barang atau jasa yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP). Meskipun beban pajak secara langsung ditanggung oleh konsumen akhir, namun kewajiban memungut, menyetor, dan melaporkan PPN tetap berada di pundak PKP. Dalam sistem PPN, pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP berkewajiban memungut PPN dari konsumen, menyetorkannya ke negara, dan melaporkan jumlah PPN yang telah dipungut.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah pertama kali mengatur mengenai tarif PPN sebesar 10%. Besaran tarif ini kemudian dapat mengalami perubahan sesuai dengan peraturan pemerintah, dengan batas minimum 5% dan maksimum 10%. Ketentuan ini bertahan cukup lama meskipun Undang-Undang tersebut mengalami revisi pada tahun 2009. Ketika menjabat presiden, Jokowi melakukan perubahan signifikan terhadap tarif PPN melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Menurut UU HPP, tarif PPN dinaikkan secara bertahap. Mulai April 2022, tarif PPN ditetapkan sebesar 11%. Selanjutnya pada tahun 2025, tarif PPN akan kembali naik menjadi 12%.
Dengan adanya pengumuman kenaikan PPN menjadi 12% tersebut, lantas mendapat reaksi negatif dari masyarakat. Respons tersebut merupakan dampak dari kebijakan pajak yang terbilang tinggi namun tidak diimbangi dengan fasilitas atau pelayanan publik yang dirasakan oleh masyarakat. Setelah PPN 12% diterapkan, Indonesia akan menjadi negara dengan PPN tertinggi di ASEAN, bersanding dengan Filipina. Kenaikan pajak tersebut otomatis akan berdampak pada kehidupan kelompok rentan, termasuk perempuan.
Perempuan Paling Patuh Bayar Pajak Namun Minim Mendapat Manfaat
Sebuah survei Indikator Politik (2022) menunjukkan 31% laki-laki mengaku memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), sementara hanya 23,9% perempuan yang memiliki NPWP. Namun, lebih dari separuh perempuan tersebut, yaitu 70,5% membayar pajak. Bandingkan dengan responden laki-laki yang memiliki NPWP. Hanya 56,7% di antaranya saja yang membayar pajak. Artinya perempuan sebenarnya lebih patuh dalam hal membayar pajak. Survei ini dilakukan kepada 1.246 responden terpilih. Namun, meskipun menjadi pihak yang paling patuh membayar pajak, alokasi hasil pajak masih belum memperhatikan kebutuhan perempuan. Implikasinya, perempuan semakin alami ketidakadilan di sektor pendidikan, kesehatan, hingga perlindungan sosial.
Di sektor pendidikan, kualitas pendidikan bagi perempuan masih timpang jika dibandingkan dengan laki-laki. Pada 2021, rata-rata lama sekolah perempuan adalah 8,17 tahun, sementara laki-laki adalah 8,92 tahun. Perbedaan sebesar 0,75 ini tergolong signifikan karena perkembangan periode lama sekolah setiap tahunnya rata-rata sebesar 0,10 tahun saja. Kesenjangan ini kemudian berdampak pada rendahnya upah yang diterima pekerja perempuan. Upah rata-rata per jam untuk perempuan adalah Rp 17.848, dan angka tersebut masih lebih rendah dibandingkan laki-laki yang sejumlah Rp 18.210. Dalam pasar tenaga kerja formal, perempuan hanya memiliki kontribusi 35,57%, karena lebih banyak bekerja di sektor informal dengan persentasenya mencapai 63,80% (Aksi!, 2023). Kebijakan pajak memberikan implikasi yang berbeda antara perempuan dan laki-laki. Karena perempuan lebih banyak bekerja di sektor informal dan partisipasi yang lebih rendah di pasar tenaga kerja formal.
Ketimpangan pendidikan yang lebih signifikan akan semakin terlihat nyata di wilayah pedesaan. Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) BPS 2022, jenis ijazah tertinggi yang dimiliki sebagian besar perempuan di pedesaan adalah lulusan SD (31,28%), sementara perempuan di perkotaan sebagian besar adalah lulusan SMA/SMK (33,36%). Persentase perempuan yang lulus dari perguruan tinggi di perkotaan adalah sebesar 13,97% dan angka ini dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan di pedesaan yang hanya berkisar 6%. Tak hanya itu, perempuan yang tidak memiliki ijazah atau tidak pernah bersekolah formal di pedesaan ada sebanyak 19,77%, jauh lebih banyak dibanding perkotaan yang sebanyak 10,26%. Ditambah lagi, ada sebanyak 7,35% perempuan usia 15 tahun ke atas di pedesaan yang buta huruf, sedangkan di perkotaan hanya sepertiganya, yaitu 2,83%.
Anak perempuan yang terlahir dan hidup dalam keluarga miskin biasanya tidak diprioritaskan untuk bersekolah dibanding anak laki-laki. Dari banyak pengalaman keluarga seperti ini, perempuan yang memiliki pendidikan rendah (tidak tamat SD, tamat SD, dan SMP) selalu memilih bekerja pada sektor informal dengan rentang waktu kerja yang panjang, upah murah, pekerjaan yang berat, dan rentan alami kekerasan. Perempuan yang bekerja di sektor ini biasanya harus bekerja selamanya untuk menanggung beban diri dan keluarga. Padahal alokasi anggaran untuk pendidikan cenderung tinggi, yakni 20% dan lebih besar ketimbang alokasi anggaran sektor lainnya. Tahun 2022 saja, anggaran pendidikan meningkat sebesar Rp 574.9 triliun. Sayangnya anggaran setinggi ini tidak menjawab persoalan pendidikan. Termasuk upah guru yang kerap menuai kritikan tiap tahunnya, fasilitas yang tidak merata, serta akses pendidikan yang tidak terjangkau.
Pada sektor kesehatan, negara menjamin asuransi kesehatan yang dapat dijangkau oleh seluruh kalangan melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di bawah naungan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), termasuk kalangan miskin agar dapat mengakses kesehatan. Dalam 10 tahun perjalanannya, BPJS mengungkapkan jumlah peserta program JKN mencapai 271,2 juta orang per 10 Mei 2024. Namun, program JKN belum menyelesaikan berbagai persoalan kesehatan yang khas dialami perempuan, terutama terkait kesehatan reproduksi. Pemeriksaan indikasi pada kesehatan reproduksi, kehamilan, hingga melahirkan memang sudah ditanggung oleh program JKN. Namun belum seluruh aspek layanan kesehatan reproduksi dibiayai oleh JKN.
Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) dan Jaringan Peduli Kesehatan (JP2K) melakukan survei terkait pelaksanaan Skema JKN-BPJS dalam kaitannya dengan kebutuhan perempuan serta pelayanan Kesehatan reproduksi dan seksual tahun 2015-2017. Hasilnya, masih ada kendala BPJS dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dalam urusan reproduksi perempuan, diantaranya: (1) petugas belum ramah terhadap remaja karena jam buka tidak menyesuaikan waktu luang remaja untuk mengakses layanan, sikap tenaga kesehatan juga diskriminatif terhadap remaja yang ingin mengakses layanan kesehatan reproduksi; (2) layanan aborsi yang tercakup dalam BPJS masih tidak dapat dilakukan bagi korban pemerkosaan; (3) BPJS tidak melayani tindakan preventif kesehatan reproduksi perempuan seperti vaksin HPV untuk mencegah kanker serviks, padahal angkanya Kanker serviks menempati urutan kedua terbanyak dengan jumlah 36.633 kasus atau 9,2% dari total kasus kanker di Indonesia (Handayani. N., 2022); (4) BPJS tidak menanggung kasus infertilitas karena dianggap bertentangan dengan program Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) untuk menekan laju pertumbuhan penduduk (Tirto.id, 2022).
Selain itu di sejumlah daerah, upaya menurunkan angka kematian ibu dan anak masih rendah. Contohnya, di puskesmas di daerah pelosok beberapa di antaranya tidak ada bidan dan dokter. Dampaknya angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) di Indonesia yang masih tinggi. Berdasarkan data dari Maternal Perinatal Death Notification (MPDN), sistem pencatatan kematian ibu Kementerian Kesehatan, jumlah Angka Kematian Ibu (AKI) pada tahun 2022 mencapai 4.005 dan di tahun 2023 meningkat menjadi 4.129. Sementara itu, untuk Angka Kematian Bayi (AKB) pada 2022 sebanyak 20.882 dan pada tahun 2023 tercatat 29.945.
Persoalan tingginya AKI dan AKB adalah puncak dari kegagalan negara dalam menyediakan fasilitas kesehatan secara merata, terutama di daerah-daerah terpencil. Fasilitas kesehatan yang jauh dari pemukiman warga harus dilalui dengan perjalanan buruk. Hal ini menyebabkan ibu hamil mengalami komplikasi selama mengandung bahkan melahirkan akibat kurangnya akses menuju fasilitas kesehatan. Bahkan di Indonesia banyak kasus ibu hamil yang akan melahirkan harus ditandu berkilo-kilo meter akibat tidak bisa diakses kendaraan. Hal ini pernah terjadi kepada ibu hamil di Bayah Lebak, Banten (November, 2024), Pelosok Bandung Barat (Juli 2024), Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (April, 2024), bahkan di Maluku seorang ibu hamil yang akan melahirkan ditandu sejauh 37 KM. Beberapa di antaranya meninggal dunia akibat pendarahan di perjalanan, seperti yang dialami oleh ibu hamil di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, ia dan bayinya meninggal dunia di perjalanan (Maret, 2023). Selain itu, tidak semua obat-obatan ditanggung oleh JKN. Meskipun harus membayar iuran perbulannya, pengguna JKN tetap harus membeli obat-obatan jika harganya di luar jangkauan yang bisa diklaim oleh BPJS.
Dalam hal perlindungan dan kesejahteraan sosial, negara masih mengandalkan bantuan ketimbang pemberdayaan agar masyarakat mandiri. Perlindungan sosial dari pemerintah hadir hanya untuk meredakan gejolak di masyarakat. Dana diberikan juga minimalis yang tidak mampu mengurangi kemiskinan, programnya tidak memberdayakan, dan hanya dipahami sebagai bantuan seperti Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), hingga Bantuan Langsung Tunai (BLT) (Marhaini Nasution, 2024). Bantuan pun harus menyertakan berbagai syarat administrasi seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), akun rekening, dan dokumen lainnya yang dianggap standar. Namun faktanya, bagi sebagian masyarakat miskin proses administrasi adalah hal rumit dan asing bagi mereka, dampaknya bantuan pun tidak tepat sasaran. Berdasarkan catatan Strategi Nasional Pencegahan Korupsi, yang mendata sejak awal 2021 hingga awal 2023, efek dari bantuan yang tidak tepat sasaran menyebabkan kerugian negara akibat bantuan sosial salah sasaran mencapai Rp 523 miliar per bulan.
Sebetulnya negara memiliki program Program Keluarga Harapan (PKH) yang ditujukan bagi keluarga miskin. Program merupakan upaya negara yang memiliki sistem pendampingan dan pengawasan, sehingga apabila keluarga miskin tersebut telah keluar dari garis kemiskinan, maka akan dikeluarkan dari program PKH. Negara juga menjalankan program Kartu Prakerja, serangkaian pelatihan hingga bantuan modal usaha yang ditujukan bagi individu yang masih menganggur. Namun lagi-lagi, dalam perjalanannya program tersebut kerap kali tidak tepat sasaran hingga tidak mencapai tujuan program itu sendiri karena minim pengawasan.
Menagih Komitmen Kemenkeu Soal Pajak Responsif Gender
Pada 2022, 10 bulan jelang Konferensi Tingkat Tinggi G-20 yang dilaksanakan di Bali, Kementerian Keuangan sebetulnya pernah mendorong pembahasan pajak berbasis gender dalam pertemuan G-20. Dalam penyelenggaraannya, G-20 melibatkan kelompok-kelompok di masyarakat, termasuk ketika presidensi di Indonesia. Salah satu kelompok yang dilibatkan Women Twenty (W-20). Kekerasan berbasis gender, terutama kepada perempuan, muncul di setiap diskusi W-20 yang mengiringi pertemuan G-20.
Sayangnya, term “diskriminasi” dan kekerasan terhadap perempuan dalam rekomendasi kelompok kepentingan belum menukik tajam ke berbagai aspek ketidakadilan gender dalam pengelolaan ekonomi, terutama sistem perpajakan negara. Pajak merupakan sumber penerimaan terbesar negara yang diambil dari rakyat guna membiayai pengeluaran untuk keperluan negara yang sebesar-besarnya, dan seharusnya digunakan bagi kemakmuran rakyat. Dalam aspek pengelolaan kemakmuran rakyat inilah diperlukan cara pandang adil gender di semua proses pengelolaan sistem perpajakan (MH Firdaus, 2022). Namun sejak G-20 usai, hingga hari ini, isu pajak responsif gender luput dari pembahasan dan tindak lanjut.
Padahal harapan dari pajak yang responsif gender akan mempertimbangkan dampak perbedaan gender dalam penerapan pajak dan distribusi beban pajak. Sehingga, kebijakan perpajakan dan distribusinya tidak hanya melihat sisi adil dari segi ekonomi, tetapi juga sensitif terhadap kebutuhan dan pengalaman yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu sangat penting untuk melibatkan representasi perempuan dari berbagai kalangan dalam proses penyusunan kebijakan pajak. Termasuk menjadikan pengumpulan data terpilah menurut jenis kelamin sebagai basis pembuat kebijakan.
Menurut Acting Executive Director INFID, Jim Matuli, pajak yang afirmatif dan responsif gender sekaligus sesuai dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) goal #5 tentang kesetaraan gender dapat diberikan dalam bentuk insentif pajak. Khususnya untuk perempuan hamil, melahirkan, dan juga sebagai orangtua tunggal. Insentif bisa dalam wujud penundaan kewajiban pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT), kenaikan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), sekaligus penurunan tarif pajak.
Penerapan pajak yang responsif gender dapat mendukung upaya mengurangi ketidaksetaraan gender dan memastikan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang setara untuk mengakses sumber daya dan layanan yang disediakan oleh negara. Kebijakan pajak yang peka gender dan transformatif gender juga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan memperluas basis pajak, sekaligus meningkatkan keadilan dan kesetaraan sistem pajak.
Referensi
“A Gendered Approach to Taxation | ATI.” Addis Tax Initiative, 12 June 2022, https://www.addistaxinitiative.net/news/gendered-approach-taxation-improving-equitability-and-efficiency-drm
Aksi For Justice. Aksi! For Gender, Social, and Ecological Justice Dalam Peluncuran Hasil Kajian: “Wujudkan Keadilan Gender Dan Ekonomi Dalam Sistem Pajak Indonesia!” – AksiForJustice. 7 2024, https://aksiforjustice.id/aksi-for-gender-social-and-ecological-justice-dalam-peluncuran-hasil-kajian-wujudkan-keadilan-gender-dan-ekonomi-dalam-sistem-pajak-indonesia/
Firdaus, MH. “Pajak Responsif Jender Di Pertemuan G-20 – Kompas.Id.” Kompas.Id, Harian Kompas, 8 Mar. 2022, https://www.kompas.id/baca/artikel-opini/2022/03/06/pajak-responsif-jender-di-pertemuan-g-20?open_from=Search_Result_Page
Ghandawangi, Sekar. “Bansos Tidak Tepat Sasaran, Negara Merugi Ratusan Miliar Rupiah Per Bulan – Kompas.Id.” Kompas.Id, Harian Kompas, 6 Sept. 2023, https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/09/06/bansos-tidak-tepat-sasaran-negara-merugi-ratusan-miliar-per-bulan
Indonesia, BBC. “Pajak PPN 12% Mulai 2025, Apa Dampaknya Pada Daya Beli Masyarakat? – BBC News Indonesia.” BBC News Indonesia, 20 Oct. 1610, https://www.bbc.com/indonesia/articles/cly2npg9exzo
Ismail, Rio, et al. “Ketimpangan Gender Dan Ekonomi Dalam Politik Fiskal Di Indonesia.” Aksiforjustice.Id, 2023.
Justice, Aksi! Launching Kajian Ketimpangan Gender Dan Ekonomi Dalam Politik Anggaran (Sebuah Cuplikan). YouTube, 13 Nov. 2024, https://www.youtube.com/watch?v=lsKL4yT6SDY
Layanan Kesehatan Reproduksi Dalam Skema Jaminan Kesehatan Nasional: Laporan Survei 2015-2017. 1st ed., Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP), 2020
Lisnasari, Andriana. “Pendidikan Bagi Perempuan Di Pedesaan Masih Sangat Rendah Dan Timpang – Bagaimana Solusinya?” The Conversation, 7 Apr. 2023, https://theconversation.com/pendidikan-bagi-perempuan-di-pedesaan-masih-sangat-rendah-dan-timpang-bagaimana-solusinya-202747