
Penyampaian Aspirasi Kolektif Orang Muda dalam Pembangunan Inklusif
Tentang Aspirasi Kolektif Orang Muda
Aspirasi ini disusun oleh International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) bersama jejaring orang muda lintas komunitas sebagai hasil dari rangkaian diskusi “Temu Pikir Orang Muda dalam Pembangunan Inklusif” yang dilaksanakan pada 25 September 2025 di Garden Café, Tanjung Barat. Proses perumusan dilakukan secara inklusif dan partisipatif dengan melibatkan beragam orang muda dari latar belakang berbeda: mahasiswa, pekerja, aktivis komunitas, kreator digital, kelompok disabilitas dan minoritas.
Aspirasi yang tertuang di dalamnya merupakan cerminan langsung dari pengalaman sehari-hari, kegelisahan, serta harapan orang muda terhadap masa depan Indonesia. Masukan lahir dari refleksi personal maupun kolektif, terkait isu-isu yang mereka geluti maupun minati, mulai dari pendidikan, kesehatan, pekerjaan, lingkungan, teknologi digital, hingga keadilan sosial.
Dokumen ini tidak dimaksudkan sebagai catatan final, melainkan sebagai platform suara orang muda yang menyuarakan kebutuhan, tantangan, dan solusi yang mereka tawarkan sendiri. Aspirasi ini juga diposisikan sebagai bagian dari gerakan warga yang lebih luas, dengan merujuk pada 17+8 Tuntutan Warga Indonesia kepada pemerintah, sehingga suara orang muda ini tidak berdiri sendiri, melainkan memperkuat perjuangan bersama masyarakat sipil untuk kebijakan publik yang lebih adil, inklusif, dan berpihak pada kelompok rentan.

Iklim, Lingkungan dan Ekonomi Berkelanjutan
Hari ini, kami orang muda, hidup dalam ketidakpastian iklim. Kami melihat banjir masuk ke rumah-rumah, kekeringan yang panjang, abrasi pantai yang menggerus tempat tinggal, hingga sampah yang terus menumpuk berpuluh-puluh tahun tanpa solusi. Dibalik bencana ini, perempuan kerap menanggung beban lebih berat, sementara itu masyarakat adat kehilangan wilayah dan identitasnya karena kebijakan yang eksploitatif, destruktif, dan belum berpihak pada kelompok marjinal. Generasi kami, yang katanya generasi emas, dihadapkan pada kecemasan: apakah Indonesia masih layak ditinggali 20 tahun lagi?
Dampaknya nyata: kesehatan terganggu, akses terhadap pekerjaan hijau semakin terbatas, pendidikan terhenti setiap kali bencana melanda, dan keresahan psikologis membayangi generasi muda karena masa depan bumi yang kian tak menentu. Ada pula dampak tidak terlihat. Investasi besar yang memerlukan biaya tinggi justru berimbas pada kenaikan beban pajak digital (seperti langganan streaming, kuota internet, Netflix, Spotify, YouTube Premium). Akibatnya, beban biaya ini harus ditanggung konsumen muda, dan semakin mengkerdilkan orang muda dari kelompok marginal.
Kami, orang muda, tidak hanya mengeluh. Kami sudah beraksi, tapi keterlibatan kami dalam kebijakan masih minim, bahkan seringkali hanya simbolis. Padahal, kami secara kolektif membangun inisiatif di akar rumput, seperti gerakan urban farming, bank sampah, advokasi lingkungan, hingga kampanye digital. Tapi suara kami selalu terpinggirkan oleh kepentingan investasi yang eksploitasi.
Keberagaman Identitas & Kesetaraan Gender
Kami, orang muda, tumbuh dalam keberagaman. Tapi kenyataannya, krisis identitas dan diskriminasi masih membatasi ruang hidup kami. Ragam identitas, ekspresi gender, orientasi seksual, maupun keyakinan belum sepenuhnya diterima. Orang dengan HIV masih terus distigma, minoritas gender disingkirkan melalui kebijakan diskriminatif, Ahmadiyah dan penghayat kepercayaan masih terbatas hak sipilnya, perempuan muda masih mengalami kekerasan seksual. Bahkan, kelompok penghayat masih tidak tercatat dalam KTP, membuat mereka terhalang mengakses hak-hak sipil mereka.
Akar masalahnya jelas. Budaya patriarki, toxic masculinity, tafsir agama dan stigma yang diturunkan lintas generasi, hingga kebijakan yang diskriminatif seperti:SKB 3 Menteri Ahmadiyah atau Perda 10/2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual (P4S) Kota Bogor. Pembiaran dan ketidakpedulian pemerintah menjadi enabling environment tumbuh suburnya ketidakadilan ini, sementara keterlibatan orang muda masih dangkal dan simbolis. Pun ada? sudahkah kami orang muda dilibatkan secara bermakna? urun rembug lintas generasi jadi semakin hambar rasanya tanpa adanya keseriusan untuk membenahi akar permasalahan ini.
Meski begitu, orang muda tidak tinggal diam. Kami aktif dalam gerakan komunitas kolektif, advokasi, kampanye publik, hingga mendampingi korban melalui jaringan yang solid. Tingkat keterlibatan kami tinggi, namun kami masih sering merasa diperlakukan sekadar simbolis, bukan sebagai mitra sejajar dalam membangun bangsa yang inklusif.
Karena itu, kami menyampaikan aspirasi:
Pemerintah:
- Hentikan produksi kebijakan diskriminatif, misalnya Perda 10/2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual (P4S) Kota Bogor yang klausulnya justru menstigma dan memojokkan identitas tertentu.
- Lakukan tinjauan ulang regulasi yang berpotensi menyingkirkan kelompok rentan, seperti SKB 3 Menteri tentang Ahmadiyah yang telah lama mengalami diskriminasi.
- Tangguhkan aturan baru yang berisiko diskriminatif.
- Terapkan standar pelayanan publik yang responsif gender, ramah keberagaman, dilengkapi mekanisme pengaduan yang jelas dan dapat diakses.
- Pastikan akses yang setara terhadap kesehatan reproduksi sebagai bagian dari hak dasar semua warga.
Tokoh Agama dan Masyarakat Sipil
- Mari kita hentikan lingkaran ujaran kebencian yang terus menstigma kelompok minoritas
- Lakukan kampanye inklusif berbasis data, dengan pendekatan gerakan bersama lintas komunitas
- Jadikan ruang-ruang komunitas sebagai tempat aman untuk belajar, berdialog, dan berkolaborasi antar-identitas.
- Ubah cara pandang: berhenti melihat keberagaman sebagai ancaman dan perkuat pesan bahwa perbedaan adalah bagian dari kehidupan bermasyarakat, sekaligus sarana melatih empati.
Kami percaya, keberagaman adalah kekuatan bangsa. Orang muda siap merawat perbedaan sebagai modal kohesi sosial Indonesia. Sebab, orang muda merawat beda.
Pendidikan, Kesehatan Mental & Akses Kerja Layak
Kami, orang muda, masih menghadapi kerentanan berlapis dalam pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan. Akses pendidikan masih timpang antara kota dan desa–termasuk yang kaya dan yang miskin. Jumlah SMA Negeri di Jakarta saja belum mencukupi, apalagi di daerah lain di Indonesia. Akibatnya, yang miskin sering jadi korban: terpaksa masuk sekolah swasta murah dengan kualitas pengajar yang belum tentu terjamin. Kualitas kurikulum pun belum merata, sementara kelompok disabilitas masih sering didiskriminasi sejak bangku sekolah hingga dunia kerja.
Kesehatan mental menjadi masalah serius. Depresi di kalangan muda semakin tinggi, prevalensi depresi pada usia 15–23 tahun tergolong tinggi, tetapi layanan masih minim dan tidak merata, apalagi melalui BPJS. Ketimpangan pelayanan kesehatan juga mencolok antara wilayah perkotaan dan daerah. Kualitas tenaga medis pun berbeda-beda, memperparah kesenjangan. Di dunia kerja, termasuk invisible disability, dan kontrak kerja pasca-Omnibus Law, diskriminasi usia, stigma terhadap disabilitas (termasuk disabilitas tidak tampak) membuat kesempatan kerja layak semakin terbatas.
Faktor penyebab persoalan ini tidak terlepas dari kemiskinan struktural, kebijakan publik yang belum adil, bias dalam standar kerja formal, serta praktik tokenisme yang membuat keterlibatan perempuan muda dan disabilitas hanya sekadar formalitas.
Meski begitu, orang muda sudah bergerak: membangun komunitas pendampingan sebaya, mengadvokasi kebijakan, hingga memperjuangkan ruang kerja yang lebih adil. Tapi kami butuh keberpihakan negara yang nyata.
Karena itu, kami menyampaikan aspirasi kepada pemerintah:
- Reformasi sistem pendidikan dengan memperkuat kualitas guru, kurikulum inklusif, dan pemerataan akses desa-kota.
- Alokasikan anggaran pendidikan dan kesehatan secara adil, termasuk untuk layanan kesehatan mental yang setara dan terjangkau di seluruh daerah.
- Sahkan RUU PRT dan pastikan jaminan sosial yang adil mencakup pekerja formal maupun informal seperti ojol, PRT, buruh pasar, maupun pekerja seni.
- Tegakkan regulasi ketenagakerjaan yang inklusif, yang melindungi disabilitas, minoritas keyakinan, kelompok rentan dari diskriminasi.
- Akui dan lindungi hak pekerja dengan disabilitas tidak tampak melalui aturan perlindungan yang menjamin hak gaji, cuti, dan kondisi kerja yang adil.
Kami percaya, generasi muda berhak mendapatkan akses pendidikan yang terjangkau bagi semua kalangan, layanan kesehatan mental yang setara, serta kerja layak yang nondiskriminatif. Orang muda tidak ingin terus terjebak dalam lingkaran kerentanan struktural, tapi menjadi generasi yang berdaya dan turut memimpin perubahan.
Teknologi Digital & Keamanan Online
Kami, orang muda, lahir dan hidup di era digital yang penuh peluang sekaligus kerentanan. Media sosial menjadi ruang ekspresi, advokasi, bahkan solidaritas untuk isu-isu kemanusiaan seperti Palestina dan isu sosial politik lainnya. Namun, kami juga menghadapi shadowban, misinformasi, framing politik yang manipulatif, bahkan pembatasan internet saat aksi massa membuat informasi penting terlambat diterima, mempengaruhi persepsi publik.
Ketimpangan kekuasaan antara negara, masyarakat, dan perusahaan teknologi global (Big Tech) semakin terasa. Konten yang berkaitan dengan isu sosial dan politik dibatasi tanpa alasan jelas, sementara konten lain dibiarkan.
Kriminalisasi dan pembatasan ruang berekspresi di ruang digital juga menjadi hal yang penting diperhatikan. Mulai dari buzzer, phising, doxing, sampai pada penggunaan UU ITE demi kepentingan politik semata. Pemerintah harus menjamin ruang-ruang tersebut sebagai bentuk pemajuan HAM.
Di sisi lain, masalah keamanan data pribadi semakin serius. Identitas orang muda rawan disalahgunakan, bahkan dengan bantuan AI. Teman-teman disabilitas juga sering menjadi target penipuan digital karena minimnya akses literasi dan perlindungan. Termasuk bagi orang muda yang rentan mengalami Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Sementara, digitalisasi layanan publik masih berbelit dan tidak inklusif, seperti kartu disabilitas yang hanya berlaku di sebagian wilayah saja.
Kami tidak diam, kami aktif menyuarakan dan mengedukasi publik, melawan misinformasi, dan mengembangkan gerakan literasi digital. Tapi kami membutuhkan dukungan yang lebih nyata, bukan sekadar ruang formalitas.
Karena itu, kami menyampaikan aspirasi kepada pemerintah:
- Sahkan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber, dan tegakkan UU 27/2022 tentang Perlindungan Data Pribadi.
- Perkuat implementasi UU Perlindungan Anak, terutama dalam ranah digital.
- Pastikan digitalisasi pelayanan publik yang merata, inklusif, dan aksesibel bagi kelompok rentan, terutama disabilitas.
- Akhiri praktik pengelolaan buzzer oleh pemerintah yang mencederai kualitas demokrasi digital.
- Segera revisi UU ITE kebebasan berekspresi terjamin sekaligus melindungi warga dari kriminalisasi.
- Revisi UU Kepolisian agar lebih humanis dalam pengawasan digital.
- Tuntut transparansi dan akuntabilitas Big Tech, termasuk keterbukaan algoritma, agar ruang digital lebih adil.
Kami percaya, teknologi seharusnya menjadi jembatan, bukan tembok. Ruang digital yang aman, inklusif, dan adil adalah kunci agar orang muda dapat berpartisipasi bermakna dalam demokrasi dan pembangunan bangsa.
Festival HAM 2025
Taman Ismail Marzuki, Jakarta
Sabtu, 27 September 2025


