Perempuan Meramu Kebijakan

Perempuan Meramu Kebijakan

Cerita perubahan ini bercerita tentang sosok Siti Mazdafiah yang biasa disapa Bu Siti. Ia sehari-hari beraktifitas sebagai dosen di Fakultas Psikologi, Universitas Surabaya (UBAYA). Selain mengajar di kampus, semangat mudanya terus menemaninya untuk berkecimpung di dunia aktivisme yakni melalui lembaga Savy Amira. Melalui lembaga yang dikenal sebagai sahabat perempuan ini dengan semangatnya sebagai women’s crisis center, menjadi ruang aktualisasi Bu Siti dan kawan-kawan perempuan lainnya dalam memberi pendampingan baik psikologis dan bantuan hukum atas kejahatan kemanusiaan yang dialami perempuan.

Gambar 1 Siti Mazdafiah – Ketua Savy Amira dan Pegiat Forum Multistakeholder PVE Jatim

Awal keterlibatan Bu Siti dalam upaya pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan atau Preventing-Countering Violent Extremism (P/CVE), yakni ketika menghadiri kegiatan workshop yang diselenggarakan oleh PW Fatayat NU Jatim bersama INFID. Penjelasan yang disampaikan oleh narasumber workshop memantik dirinya untuk lebih berpikir kritis terkait hubungan antara kekerasan berbasis gender (KBG) yang selama ini ia geluti dengan P/CVE. Setelah mendengar penjelasan dari fasilitator pada saat itu terkait P/CVE, ia lebih memahami bahwa keterlibatan perempuan dalam isu terorisme erat kaitannya dengan peran gender dan beririsan langsung dengan isu KBG. Penjelasan tentang pentingnya peran berbagai pihak antaraktor dari narasumber di pertemuan berikutnya, juga membuat ia semakin “ngeh” atau memahami tentang perlunya keterlibatan banyak pihak untuk pencegahan ekstrimisme berbasis kekerasan.

Kelekatan dan sensitivitas analisis Bu Siti dengan isu Gender, membuat dirinya dalam forum multistakeholder di Jatim berperan sangat penting dalam memberi perspektif gender melalui agenda kerja bersama yang berjalan dalam forum tersebut. Memang lembaga tempat Ia bekerja semula merasa jauh dari isu PVE, dan sempat terjadi perbedaan pendapat apakah Savy Amira akan melanjutkan keterlibatannya di isu PVE. Namun pada akhirnya teman-teman di lembaganya tersebut dapat memahami bahwa isu ini sejalan dengan kerja-kerja Savy Amira selama ini, bahkan isu P/CVE ini menjadi penting juga dalam upaya peningkatan kesadaran di masyarakat terkait kesetaraan gender.

Setelah melalui proses bersama Fatayat NU Jatim dan INFID sejak tahun 2022 melalui program Harmoni, Bu Siti semakin mengenal isu P/CVE dan lebih menyadari akan bahaya pemahaman agama yang intoleran dan bahkan tidak ramah gender ini terhadap kehidupan yang lebih luas, bahkan antargenerasi. Sejauh ini Bu Siti dan Savy Amira terus menularkan agar perempuan memiliki sensitifitas untuk mempertanyakan apakah keyakinan intoleran tersebut tidak bertentangan dengan pengalaman aktual kehidupannya sebagai perempuan. Karena bagi Bu Siti dan Savy Amira, berpikir kritis atau critical thinking  bagi perempuan dapat ditumbuhkan dari ruang yang tersedia di ruang publik dan dilakukan oleh sesama perempuan. 

“Saya dimelekkan isu PVE dari produk pengetahuan yang dihasilkan oleh INFID seperti tulisan Mbak Khariroh dan Mbak Debby. Setiap mendengar berita tentang kejadian terorisme, saya jadi lebih sensitif bahwa ini bukan kejadian yang a-historis. Pedoman pendampingan terhadap deportan dan returni dari INFID tentunya akan kami, secara lembaga, gunakan untuk pedoman pendampingan apabila kami mendampingi deportan dan returni suatu saat nanti.” ujar Siti Mazadafiah, dalam wawancara daring bersama Tim MEL INFID pada 23 Januari 2023.

Pemahaman terhadap isu PVE ini juga membuat Bu Siti dan Komunitasnya menyadari bahwa apa yang telah lakukan tidak hanya berdampak di ranah relasi personal, namun juga di ranah publik yang terkait dengan isu PVE. Dari proses satu tahun program yang telah berjalan, Bu Siti sangat merasakan adanya peningkatan kapasitas terkait pengetahuan tentang isu PE dan memperluas kapasitas advokasi oleh perempuan utamanya terkait kemampuan penulisan policy brief, analisis kebijakan dan perundang-undangan, berproses bersama dalam proses teknokrasi kebijakan yang lebih organik dan partisipatif, serta pendampingan terhadap deportan dan returni. 

Hal lain yang terasa cukup signifikan bagi Bu Siti dan Savy Amira adalah bertambahnya jaringan khususnya di pemerintah. Selama ini Savy Amira belum pernah bekerjasama secara langsung dengan Bakesbangpol maupun Biro Hukum Provinsi Jawa Timur. Setelah berproses bersama, ternyata terasa manfaat simbiosis mutualisme yakni kedua lembaga tersebut sangat membutuhkan perspektif terkait perempuan. Sebaliknya, atas jejaring yang sedang berjalan tersebut memberikan peluang Bu Siti dan Savy Amira update program pemerintah yang dapat disinergikan dengan organisasi masyarakat sipil (OMS). Bahkan juga pintu advokasi terkait penguatan isu perempuan yang lebih luas dalam bingkai demokrasi dan HAM melalui kanal pemerintah.

Sebagai tindak lanjut, Bu Siti dan Forum Multistakeholder P/CVE Jatim saat ini terus mendorong keluarnya SE (Surat Edaran) Gubernur terkait pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan di Jawa Timur. Langkah tersebut dianggap perlu percepatan dan persiapan di setiap organisasi perangkat daerah (OPD). Berdasarkan pembelajaran proses yang ada selama satu tahun terakhir, Bu Siti memahami jika proses advokasi harus menunggu Peraturan Gubernur (Pergub), maka konsekuensinya akan memerlukan langkah-langkah lanjut yang harus dilalui hingga sampai tahap pengesahan. Sinergi bersama dalam forum multistakeholder yang strategis tersebut, diharapkan semua pihak segera bersiap dan memiliki kewaspadaan melalui upaya awal yang dapat dilakukan terkait deradikalisasi di level komunitas. Bahkan kesiapan juga ketika deportan dan returni kembali ke Indonesia dan beberapa yang telah pulang ke Indonesia dikembalikan ke komunitasnya. Peran ormas dan civil society organisation (CSO) di daerah menjadi semakin penting dalam proses reintegrasi eks-deportan dan eks-returni di Masyarakat.

Tulisan ini merupakan cerita-cerita dampak nyata di lapangan atas upaya advokasi yang dilakukan oleh INFID bekerjasama dengan PW Fatayat NU Jawa Barat dan PW Fatayat NU Jawa Timur melalui program Harmoni Tahap 2. Harmoni Tahap 2 memiliki fokus pada penguatan kapasitas dan kemitraan pemerintah daerah, organisasi masyarakat sipil, dan ormas keagamaan untuk efektivitas dan keberlanjutan penanganan dan pendampingan deportan dan returni perempuan dan anak terpapar paham radikal terorisme di Jawa Barat dan Jawa Timur.