
Perempuan Papua Melawan Kekerasan yang Dilanggengkan Negara
Aktivis perempuan Papua, Michelle Kurisi Ndoga, meninggal dunia di tengah konflik berkepanjangan antara kelompok pro-kemerdekaan Papua dan militer Indonesia. Pegiat Hak Asasi Manusia asal Papua, Theo Hasegem, menyayangkan pembunuhan Michelle Kurisi, ia menegaskan pembunuhan warga sipil semakin sering terjadi di wilayah rawan konflik Papua. Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan konflik di Papua sudah sampai tahap yang bisa disebut exceptional circumstances alias keadaan luar biasa, di mana problem kekerasan dan pelanggaran (HAM) sudah tak tertangani lagi (BBC.com, 2023).
Michelle Kurisi adalah salah satu perempuan yang menjadi korban akibat konflik yang terjadi di Papua. Kekerasan terhadap perempuan di Papua bukanlah perkara baru. Sejak masa peralihan dari Otoritas Eksekutif Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNTEA) menjadi bagian dari Indonesia pada Mei 1963 hingga hari ini, kekerasan terhadap perempuan Papua terus terjadi. Selain karena konflik bersenjata, perempuan Papua juga rentan mengalami berbagai kekerasan secara domestik yang dilakukan oleh pasangan maupun keluarga, juga kekerasan yang diakibatkan oleh kebijakan atau yang dilakukan oleh aparat negara. Selain itu perempuan Papua juga lekat dengan kekerasan terkait konflik lahan atau sumber daya alam.
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengidentifikasi tiga tipologi kekerasan yang kerap terjadi di Papua. Pertama, kekerasan yang didukung dan dilakukan oleh negara. Dalam tipologi ini ditemukan bentuk-bentuk kekerasan seksual, yaitu: perkosaan, perbudakan seksual, penyiksaan seksual, pemaksaan aborsi, eksploitasi seksual dan terkait penggunaan alat kontrasepsi, serta percobaan perkosaan. Perempuan korban juga mengalami kekerasan non seksual, yaitu: pembunuhan, percobaan pembunuhan/penembakan, penyiksaan, penahanan sewenang-wenang, pengungsian, perusakan dan perampasan harta benda. Dalam tipologi ini, sejumlah perempuan juga menjadi korban karena sebagai istri, ibu, dan anak perempuan dari laki-laki/suami/ayah yang menjadi sasaran kekerasan oleh negara.
Kedua, kekerasan dalam keluarga. Dalam tipologi ini perempuan mengalami bentuk kekerasan fisik, psikis dan seksual dalam bentuk: poligami/selingkuh, penganiayaan, penelantaran ekonomi, perkosaan dalam perkawinan, kekerasan psikis, pembatasan ruang gerak dan pemaksaan kawin. Dalam tipologi ini juga dicatat pula perempuan menderita HIV/AIDS karena tertular dari suami atau pasangannya. Ketiga, kekerasan berlapis, yaitu satu bentuk kekerasan tertentu berdampak pada bentuk-bentuk kekerasan lainnya. Kasus-kasus kekerasan ini terjadi tidak terlepas dari kebijakan dan kelalaian negara. Misalnya pendekatan keamanan teritorial oleh negara yang mengedepankan kekerasan membentuk kondisi yang mendorong terjadinya berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan, termasuk kekerasan seksual ketika operasi keamanan digelar.
Berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan juga terjadi di berbagai wilayah pertambangan, perkebunan kelapa sawit, dan daerah industri. Dalam konteks meluasnya industri ekstraktif di Papua, perempuan mengalami berbagai bentuk kekerasan, hak-hak nya atas hidup tidak terlindungi sama sekali. Mereka kehilangan hak atas tanah adat, terusir dari tanah adat, tidak dapat mengakses kesempatan kerja baru karena para investor mempekerjakan tenaga dari luar Papua. Perempuan Papua juga terpapar berbagai dampak kerusakan ekologis dan masalah sosial lain sebagai dampak dibukanya daerah industri di wilayahnya.
Kekerasan Masa Lalu yang Diabaikan Negara
Tahun 1963 adalah masa rezim Orde Baru, seperti di wilayah-wilayah konflik lain di Indonesia, negara menggunakan pendekatan keamanan terhadap kelompok-kelompok sipil yang melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan. Rezim ini juga mengedepankan kepentingan pengusaha dan pemerintah pusat tanpa berupaya memahami akar masalah dari keresahan masyarakat Papua. Dampaknya perempuan terseret dalam arus konflik yang deras di berbagai wilayah dan mengalami berbagai bentuk kekerasan. Sayangnya hingga kini tidak ada jumlah pasti berapa jumlah korban dari kekerasan yang dilakukan oleh negara ini, dan tidak ada upaya dari negara untuk memulihkan korban.
Asia Justice and Rights (AJAR), pada tahun 2014 – 2017 melakukan penelitian terhadap 40 perempuan yang pernah mengalami kekerasan yang dilakukan oleh negara. Korban yang mengalami kekerasan seksual masih sulit untuk mengungkapkan hal yang terjadi. Rasa malu, ketakutan akan stigma, ketakutan akan dihakimi oleh keluarga dan masyarakat, kekhawatiran soal kerahasiaan, dan ketidakpastian tentang sistem peradilan menjadi kendala yang tidak dapat diatasi.
Korban menyebutkan bahwa ada tiga periode kekerasan yang mereka alami, yaitu ketika Operasi Militer tahun 1977 – 1978, Operasi militer tahun 2005, dan peristiwa pengejaran OPM tahun 2007. Korban mengalami kehilangan keluarga seperti ayah, paman, atau saudara karena meninggal dibunuh tentara maupun meninggal karena mengungsi. Karena terus menerus menjadi sasaran operasi keamanan, banyak laki-laki dewasa yang meninggal dunia, sementara lelaki muda pergi meninggalkan kampung, sehingga mayoritas kampung dihuni janda dan anak-anak. Perempuan kemudian hidup dalam situasi miskin dan terisolasi dari wilayah sekitarnya. Salah satu korban yang kala itu masih berusia 14 tahun hamil akibat diperkosa oleh seorang tentara. Keluarganya melaporkan kasus tersebut kepada komandan, tetapi tentara tersebut hanya dipindahtugaskan. Perempuan tersebut kini menjadi orang tua tunggal yang membesarkan dua orang anak tanpa ada dukungan (AJAR, 2017).
Hukum Adat yang Melanggengkan Kekerasan Terhadap Perempuan
Perempuan Papua juga diperhadapkan pada diskriminasi dalam adat budaya Papua yang mengakibatkan pembiaran kekerasan terhadap perempuan. Perubahan sosial di Papua juga mengakibatkan terjadinya pergeseran pola relasi antara laki-laki dan perempuan. Dalam konteks ini, fakta kekerasan terhadap perempuan bukan hal yang menjadi perhatian dalam adat. Diskriminasi terhadap perempuan dalam konteks budaya Papua juga terjadi dalam ruang domestik, antara lain pembagian kerja, pola pengasuhan anak, pembagian hak kepemilikan dan warisan serta pengambilan keputusan dalam keluarga. Perempuan Papua rentan mengalami kasus-kasus kekerasan, penelantaran karena suami memilih hidup bersama atau mengawini perempuan lain, sementara pada saat yang sama adat tidak memberi perlindungan terhadap para perempuan tersebut.
Sistem kawin tukar berlaku dalam budaya masyarakat adat yang hidup dalam masyarakat Papua, salah satunya di Kabupaten Sarmi, Provinsi Papua. Dalam praktik kawin tukar, saudara laki-laki dari pihak pengantin perempuan bisa mengambil perempuan dari pihak pengantin laki-laki untuk dinikahi. Cara ini diambil untuk meniadakan pembayaran mas kawin di antara kedua belah pihak, dikenal dengan istilah impas. Namun sistem ini berdampak pada perempuan terutama anak perempuan. Mereka rentan untuk menikah pada usia dini karena tuntutan kawin tukar.
Kasus-kasus kekerasan yang dilakukan oleh suami biasanya ditangani secara adat dengan hasil yang seringkali tidak berpihak pada perempuan. Korban bahkan tidak bisa meminta bantuan kepada orang tuanya ketika sang suami memukulinya karena khawatir melanggar adat. Korban kekerasan yang berusaha melaporkan kasus ke polisi juga tidak ada kemajuan karena berbagai alasan, di antaranya tidak ada surat nikah, Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan tidak memiliki BPJS. Sehingga korban kesulitan untuk mendapatkan perawatan atas luka-luka yang dideritanya (AJAR, 2017).
Peran Negara yang Memperparah Situasi Perempuan
Negara belum menangani secara serius untuk mengatasi berbagai persoalan. Tidak adanya respons dan kemauan politik yang serius dari negara untuk mengatasi konflik di Papua secara umum, atau masalah kekerasan terhadap perempuan secara khusus, akan mendorong langgengnya kekerasan terhadap perempuan. Akibat aturan adat yang diskriminatif misalnya, aparat polisi masih enggan menangani kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga. Tak dapat disangkal bahwa dua bentuk kekerasan terhadap perempuan tersebut, kekerasan negara dan kekerasan dalam keluarga saling berhubungan, dan saling berkaitan. Impunitas dan pembiaran kekerasan dalam keluarga berimbas pada kekerasan negara, maupun sebaliknya.
Kekerasan terhadap perempuan di Papua terus meningkat tatkala negara membenturkan konflik sumber daya alam, konflik politik, dan perebutan kekuasaan dari tingkat lokal sampai dengan nasional. Menumbuhkan kekerasan terhadap perempuan, baik kekerasan negara maupun kekerasan dalam keluarga, semakin meningkat. Konflik tumbuh di atas konflik, batasan-batasan kepentingan semakin kabur. Tuntutan karyawan perusahaan tambang tentang hak-hak mereka dimanfaatkan oleh pihak lain untuk memprovokasi situasi yang akhirnya menimbulkan perang suku.
Dalam era otonomi khusus (Otsus) Papua misalnya, Pada tahun 2018 saja, dana Otsus mencapai hampir 8 triliun rupiah. Namun, tanpa tata kelola yang baik, dana Otsus menyebabkan perilaku konsumtif dan penyelewengan kekuasaan dilakukan oleh mereka yang mendapatkan akses pada kuasa dan dana Otsus Papua. Sedangkan kekerasan terhadap perempuan dan anak semakin meningkat, termasuk kasus-kasus pelecehan seksual, perselingkuhan, dan poligami. Di satu pihak, pusat-pusat industri baru, seperti industri ikan dan kayu, menjadi sumber perkembangan ekonomi yang menarik tenaga kerja dari luar. Dalam situasi perebutan ini, perempuan asli Papua semakin terpinggirkan, bahkan menjadi korban kekerasan dalam perang suku yang kemudian muncul, menjadi rentan terhadap HIV/AIDS, dan semakin mengalami pemiskinan ekonomi, dan ketidakberdayaan sosial politik (AJAR, 2019).
Tanpa upaya untuk mengubah budaya dan hukum, baik yang tertulis maupun dalam praktiknya, maka kekerasan terhadap perempuan akan terus berlanjut. Perlindungan dan pemajuan hak-hak asasi perempuan Papua perlu dilakukan segera melalui implementasi undang-undang nasional, pembuatan Peraturan Daerah Khusus (PERDASUS), pembentukan dan dukungan untuk rumah aman bagi perempuan korban kekerasan, serta pengerahan berbagai mekanisme negara, institusi agama, maupun budaya di tingkat lokal, nasional, dan internasional untuk mencegah dan menghentikan kekerasan terhadap perempuan.
Upaya yang Telah Dilakukan
Meskipun negara belum bertindak, namun perempuan korban dan penyintas kekerasan terus berupaya mengupayakan keadilan dan berusaha melakukan langkah-langkah untuk menghentikan siklus kekerasan. Misalnya aktivis perempuan asli Papua, Esther Haluk, ia melawan kekerasan dengan karya sastra. Di Papua, Esther menyaksikan diskriminasi, ketidakadilan, penindasan, dan kekerasan yang terus berulang. Orang Papua hidup bersama trauma dan rasa takut yang selalu mengintai mereka. Kecintaannya pada bahasa dan sastra menjadi ruang aman bagi Esther untuk menyuarakan keresahan dan pilu yang dialami masyarakat Papua melalui puisi dan cerita-cerita pendek yang ia tulis. Esther percaya bahwa ia dapat dengan bebas menyuarakan kebenaran melalui tulisan.
Beberapa dekade terakhir ini kolektif perempuan Papua juga terus memperjuangkan hak-hak hidupnya yang dieksploitasi secara domestik maupun struktural serta terus mendorong kesetaraan dan keadilan. Suara perempuan semakin kencang di berbagai kesempatan untuk mengadvokasi situasi HAM perempuan Papua. Perempuan Papua juga semakin rajin hadir di berbagai forum jaringan perempuan dan jaringan feminis, baik di tingkat lokal Papua, nasional Indonesia, forum regional, dan internasional. Kehadiran mereka di forum-forum ini dalam kapasitas individu maupun representatif kolektif perempuan Papua. Wadah untuk mengakomodir kepentingan perempuan maupun pembebasan bangsa yang diinisiasi oleh perempuan papua sudah ada sejak lama dan terus bertambah jumlahnya. Sebut saja seperti gerakan Koreri yang dipimpin Angganetha Manufandu untuk memperjuangkan pembebasan.
Berbagai upaya juga dilakukan oleh civil society organization (CSO) dengan melakukan berbagai penguatan kapasitas kepada perempuan Papua maupun mengadvokasi kebijakan kepada pemerintah daerah. Misalnya penelitian aksi partisipatif yang dilakukan selama empat tahun (2013-2017) oleh AJAR, yang melibatkan secara kumulatif 170 perempuan asli Papua. Di sepanjang proses penelitian, para perempuan berkomentar bahwa kesempatan untuk duduk bersama dan berdiskusi, berbagi ide dan informasi sangatlah menarik dan berguna. Solidaritas dengan para perempuan lain sering disebut sebagai salah satu sumber kekuatan utama bagi perempuan Papua. AJAR bersama mama-mama dan anggota komunitas, memfasilitasi pembentukan rumah belajar di tingkat komunitas di Kampung Manda, Wamena. Rumah belajar menjadi ruang perempuan untuk bicara tentang pengalaman sakit, saling menguatkan, dan merencanakan masa depan mereka.
Sejak tahun 2022, dalam program Kolaborasi Papua, INFID berupaya menguatkan dan meningkatkan kapasitas orang asli Papua dalam hal pendidikan dan kesehatan dengan melakukan riset, advokasi, pendidikan, serta kampanye. Di provinsi Papua dan Papua Barat, INFID melakukan riset dengan mengasesmen anggaran daerah yang responsif GEDSI (keadilan gender, disabilitas, dan inklusi sosial) kepada para pemangku kebijakan. Sehingga pemerintah daerah mampu mengimplementasikan dana Otsus lebih efektif dan menjawab kebutuhan masyarakat, termasuk kebutuhan khas perempuan. Dalam setiap diskusi publik, INFID mengupayakan memberikan perempuan ruang berbicara sebagai narasumber dan menyisipkan isu kesetaraan gender di dalamnya.
INFID juga melibatkan anak muda Papua untuk kampanye terkait isu perempuan. Salah satunya melalui video podcast saat memperingati Hari Kartini 2024, INFID berbincang dengan Anthonetha Marino atau Netha, seorang perempuan muda Papua, membahas sulitnya anak Papua melanjutkan pendidikan akibat terbatasnya fasilitas dan sulitnya akses menuju sekolah. Apalagi anak bagi anak perempuan yang kerap dinomorduakan oleh keluarga. Video tersebut kemudian dibagikan dan ditonton oleh Bupati dan Kepala Dinas Pendidikan Biak Numfor. Video itu juga banyak dibagikan di media sosial. Pemangku kebijakan setempat kemudian turun ke kampungnya Netha. Sekolah lalu diperbaiki, guru-guru dari relawan juga dikirim, hingga bis sekolah yang tadinya untuk keluarga tertentu saja sekarang bisa diakses semua anak kampung. Selain itu muncul keinginan orang tua untuk menyekolahkan anak perempuan sudah mulai tumbuh. Rencananya akan dibuka perpustakaan kampung yang akan segera didirikan dan diresmikan oleh pemerintah kampung.
Segala upaya yang dilakukan tidak lain adalah untuk membawa perubahan ke arah yang lebih baik, memperkuat kapasitas perempuan Papua agar mampu terhindar dari kekerasan dan mendapatkan keadilan. Hak-hak dasar mereka seperti pendidikan, kesehatan, dan akses ekonomi juga dapat dipenuhi.
Sumber tulisan
Moiwend, Rosa. “Gerakan Perempuan Papua Dan Perlawanan Terhadap Patriarki.” Lao-Lao, 9 June 2023, https://laolao-papua.com/2023/06/09/gerakan-perempuan-papua.
Muhammad, Andy. “Pena Lebih Tajam Dari Pedang: Aktivis Perempuan Asli Papua, Esther Haluk, Melawan Dengan Karya Sastra • Amnesty International Indonesia, 18 Apr. 2023, https://www.amnesty.id/referensi-ham/artikel-ham/pena-lebih-tajam-dari-pedang-akt.
“Ngobrol Bareng #KitaBikinPaham | Begini Susahnya Lanjut Sekolah Untuk Anak Papua? | Ep.11.” INFID, YouTube, 24 May 2024, https://www.youtube.com/watch?v=hSNHzYimn_I.
“Papua: Pembunuhan Aktivis Perempuan Papua Oleh TPNPB-OPM Karena Diduga ‘agen Intelijen’ BBC News Indonesia.”, 31 Aug. 2023, https://www.bbc.com/indon.
Stop Sudah! Kesaksian Perempuan Papua Korban Kekerasan & Pelanggaran HAM, 1963-2009. Kegiatan Pendokumentasian dan Produksi Laporan dalam kerja sama Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Pokja Perempuan Majelis Rakyat Papua dan International Center For Transitional Justice (ICTJ) Indonesia serta didukung o, 2010.
Wandita, Galuh, dkk. Hidup Di Antara Tajam Batu Karang. 1st ed., AJAR, 2019.
Wandita, Galuh, and Selviana Yolanda. Sa Ada Di Sini. 1st ed., AJAR, 2017.