Prabowo: “LSM Adu Domba”, Bentuk Nihilnya Kepercayaan Negara pada Masyarakat Sipil

Prabowo: “LSM Adu Domba”, Bentuk Nihilnya Kepercayaan Negara pada Masyarakat Sipil

Pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menyebut lembaga swadaya masyarakat (LSM) didanai asing untuk mengadu domba masyarakat telah memantik polemik. Tuduhan ini dinilai tidak hanya keliru, tetapi juga bertolak belakang dengan fakta sejarah panjang peran masyarakat sipil dalam membangun demokrasi dan keadilan sosial di Indonesia.

Sejarah panjang perjuangan bangsa Indonesia tidak lepas dari peran aktif masyarakat sipil. Sebelum kemerdekaan, tokoh-tokoh seperti Ki Hajar Dewantara melalui Taman Siswa (1922), Muhammadiyah (1912), dan Nahdlatul Ulama (1926) telah membangun fondasi pendidikan yang inklusif. Ki Hajar Dewantara melalui Taman Siswa membangun sistem pendidikan berbasis kebudayaan lokal sebagai bentuk perlawanan terhadap politik diskriminasi kolonial. Hal tersebut membuktikan bahwa gerakan masyarakat sipil bukanlah fenomena baru, melainkan tulang punggung kemajuan bangsa.

Pasca kemerdekaan, peran masyarakat sipil terus berkembang. Mulai dari pengentasan kemiskinan, peningkatan akuntabilitas negara, hingga mendorong kebijakan yang melibatkan kelompok terdampak. Pelibatan masyarakat penting sangat penting sebagai pengawal demokrasi, memastikan pembangunan tidak hanya dinikmati oleh segelintir elite, tetapi juga oleh seluruh rakyat Indonesia.

“Pernyataan Presiden Prabowo tidak tepat. Sebab, pelibatan masyarakat sipil penting untuk memastikan sumber daya negara dikelola dengan tujuan untuk mensejahterakan masyarakat, bukan bersifat ekstraktif hanya untuk memenuhi kelompok tertentu. Selain itu, peranan masyarakat sipil sangat besar dalam agenda-agenda pembangunan dan demokrasi di dalam negeri maupun global,” tegas Direktur Eksekutif International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) Siti Khoirun Ni’mah.

Dalam catatan sejarah, INFID keras menentang pembangunan waduk Kedung Ombo, Jawa Tengah sekitar tahun 1985 yang penuh dengan pelanggaran HAM dan relokasi paksa. Advokasi gigih masyarakat sipil berakhir dengan penghentian pembiayaan dari Bank Dunia untuk pembangunan waduk di Indonesia. Hal ini menciptakan tekanan global yang hebat terhadap Pemerintahan Soeharto agar menghormati HAM dalam proses pembangunan.

Pentingnya peran masyarakat sipil tidak hanya diakui di Indonesia, tetapi juga secara global. Agenda Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) menempatkan masyarakat sipil sebagai salah satu aktor kunci pembangunan, bersama pemerintah dan sektor swasta. Tujuan ke-16 (Perdamaian dan Keadilan) dan Tujuan ke-17 (Kemitraan Global) menekankan peran LSM dalam memastikan pembangunan inklusif. 

Pengakuan ini mempertegas bahwa masyarakat sipil berhak menerima dan mengelola dana pembangunan—baik dari dalam negeri maupun sumber global, seperti Official Development Assistance (ODA) untuk memastikan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.

Tuduhan Prabowo bahwa LSM “didanai asing untuk adu domba” juga mengabaikan fakta bahwa pendanaan internasional untuk pembangunan diakui secara global. Ni’mah, menjelaskan bahwa pembangunan negara juga banyak yang bersumber dari dana pembangunan global yang hadir dalam beragam bentuk, termasuk utang luar negeri.

“Alih-alih memberi stigma, pemerintah perlu memperkuat kolaborasi dengan kelompok masyarakat sipil untuk memastikan kebijakan publik lebih inklusif dan adil untuk masyarakat. Sejarah juga sudah membuktikan LSM bukan lawan, melainkan pengawal konstitusi yang menjamin keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Stigma negatif negara terhadap masyarakat sipil justru hanya akan melemahkan demokrasi dan menghambat upaya pembangunan berkelanjutan”, pungkas Ni’mah.