
RAPBN 2026 Ambisius Menjadi Katalis Transformasi Ekonomi yang Berkelanjutan: Catatan Kritis terhadap Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun 2026
Siaran Pers Komisi Anggaran Independen (KAI)
17 Agustus 2025
Pendahuluan
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun 2026, yang disampaikan oleh Presiden Prabowo Subianto pada 15 Agustus 2025, merupakan dokumen kebijakan fiskal yang ambisius untuk mewujudkan visi Indonesia yang tangguh, mandiri, dan sejahtera. RAPBN ini mengusung asumsi makroekonomi optimistis, postur APBN yang fleksibel, optimalisasi pendapatan negara, alokasi belanja yang berfokus pada delapan agenda prioritas, dan pendekatan pembiayaan yang prudent dan inovatif. Tujuannya adalah memperkuat ketahanan ekonomi di tengah ketidakpastian global, seperti tensi geopolitik, perang tarif, dan kebijakan proteksionisme “my country first.”
RAPBN 2026 perlu dievaluasi secara kritis dengan mempertimbangkan realitas sosial-ekonomi masyarakat Indonesia, termasuk pelemahan daya beli, efektivitas program unggulan seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), ketimpangan pendapatan yang masih tinggi, serta rendahnya capaian pendidikan di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Perguruan Tinggi (PT). Analisis ini bertujuan untuk meneliti kesesuaian antara proyeksi RAPBN 2026 dan kondisi empiris masyarakat, menggunakan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), laporan Kementerian Keuangan, dan sumber terpercaya lainnya. Struktur analisis mencakup evaluasi asumsi makroekonomi, postur APBN, tren pendapatan negara, pos-pos belanja utama, dan kerangka pembiayaan utang, dengan refleksi mendalam terhadap tantangan sosial-ekonomi seperti daya beli, ketimpangan, dan akses pendidikan.
1. Kritik terhadap Asumsi Makroekonomi
RAPBN 2026 menetapkan asumsi makroekonomi sebagai berikut: pertumbuhan ekonomi 5,4%, inflasi 2,5%, tingkat pengangguran terbuka 4,44%-4,96%, tingkat kemiskinan 6,5%-7,5%, rasio Gini 0,377-0,380, dan Indeks Modal Manusia (HDI) 0,57. Proyeksi ini dibangun atas performa ekonomi 2025, di mana pertumbuhan ekonomi mencapai 4,87% pada triwulan I dan 5,12% pada triwulan II, didorong oleh konsumsi masyarakat (4,97%) dan ekspor (10,67%) melalui hilirisasi, sebagaimana dilaporkan dalam pidato Presiden pada 15 Agustus 2025. Namun, apakah target ini realistis di tengah pelemahan daya beli dan ketidakpastian global?
1.1. Pertumbuhan Ekonomi dan Daya Beli
Berdasarkan data BPS, pertumbuhan ekonomi 5,12% pada triwulan II 2025 didukung oleh sektor pertanian, perdagangan, dan hilirisasi mineral seperti nikel dan batu bara. Namun, Indeks Penjualan Riil (IPR) hanya tumbuh 1,2% pada periode yang sama, jauh lebih rendah dibandingkan triwulan I 2025 (2,8%), menunjukkan konsumsi masyarakat yang melambat. Deflasi pada awal 2025, sebagaimana dilaporkan BPS, mencerminkan pelemahan permintaan domestik, bukan stabilitas harga yang sehat. Ekonom dari Universitas Gadjah Mada memperingatkan bahwa PHK massal di sektor manufaktur, akibat perang tarif global dan kebijakan proteksionisme, dapat memperburuk daya beli pada 2026. Konsumsi rumah tangga, yang menyumbang sekitar 60% PDB Indonesia, adalah pendorong utama pertumbuhan ekonomi. Dengan IPR yang lemah, target pertumbuhan 5,4% pada 2026 berisiko tidak tercapai, terutama jika tensi geopolitik global meningkat.
Ekspor tumbuh 10,67% pada 2025, terutama didorong oleh komoditas hilir seperti nikel dan batu bara. Namun, ketergantungan pada ekspor ini rentan terhadap fluktuasi harga komoditas global dan hambatan perdagangan. Negosiasi bilateral dengan Amerika Serikat berhasil menurunkan tarif dari 32% menjadi 19%, tetapi ketidakpastian di pasar lain, seperti Uni Eropa, dapat mengganggu pertumbuhan ekspor. Jika konsumsi domestik dan ekspor melemah secara simultan, proyeksi pertumbuhan 5,4% menjadi terlalu optimis.
1.2. Pengangguran dan Kualitas Lapangan Kerja
Tingkat pengangguran terbuka turun menjadi 4,76% pada Februari 2025, dengan 3,6 juta lapangan kerja baru tercipta, menurut pidato Presiden. Namun, data BPS menunjukkan bahwa pada 2024, 86,58 juta pekerja (59% tenaga kerja) berada di sektor informal, terutama di pertanian dan perdagangan eceran. Sektor informal ditandai dengan upah rendah, ketidakpastian kerja, dan minimnya perlindungan sosial, yang tidak mendukung peningkatan daya beli jangka panjang. Target pengangguran 4,44%-4,96% untuk 2026 bergantung pada penciptaan lapangan kerja formal berkualitas, tetapi ancaman PHK di sektor manufaktur akibat tekanan global dan ketergantungan pada hilirisasi yang padat modal menimbulkan risiko. Data Kementerian ESDM menunjukkan bahwa hilirisasi nikel hanya menciptakan 200.000 lapangan kerja langsung sejak 2020, jauh di bawah kebutuhan tenaga kerja nasional. Tanpa kebijakan yang mendorong sektor padat karya seperti UMKM, target pengangguran mungkin tidak inklusif.
1.3. Inflasi dan Stabilitas Harga
Inflasi 2,4% pada 2025 terkendali, mendukung daya beli masyarakat miskin, sebagaimana disebutkan dalam pidato Presiden. Namun, komponen inflasi inti, yang mencerminkan permintaan domestik, melandai sejak Mei 2025, menunjukkan konsumsi yang lemah, menurut laporan BPS. Target inflasi 2,5% untuk 2026 realistis, tetapi jika dikombinasikan dengan daya beli yang stagnan, dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tidak merata, di mana manfaatnya lebih terasa di kalangan atas. Stabilitas harga pangan, yang bergantung pada produksi beras dan subsidi pupuk, rentan terhadap gangguan cuaca dan logistik distribusi, terutama di daerah terpencil seperti Papua dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
1.4. Ketimpangan dan Indeks Modal Manusia
Rasio Gini 0,375 pada Maret 2025 menunjukkan penurunan ketimpangan dibandingkan 0,388 pada 2023, tetapi tetap tinggi, terutama di perkotaan (0,395) dibandingkan perdesaan (0,299), menurut data BPS. Target Gini 0,377-0,380 untuk 2026 menunjukkan perbaikan yang lambat, yang dapat melemahkan efektivitas redistribusi pendapatan melalui pajak dan bantuan sosial. Indeks Modal Manusia yang ditargetkan mencapai 0,57 pada 2026 bergantung pada peningkatan pendidikan dan kesehatan, tetapi rendahnya akses pendidikan tinggi dan prevalensi stunting menghambat kemajuan.
Tabel 1: Perbandingan Asumsi Makroekonomi RAPBN 2026 dengan Realitas 2025
Indikator | Realitas 2025 (BPS) | Target 2026 (RAPBN) | Kritik |
Pertumbuhan Ekonomi | 5,12% (Q2 YoY) | 5,4% | Optimis, tetapi terancam oleh pelemahan daya beli dan ketidakpastian global. |
Pengangguran Terbuka | 4,76% (Feb) | 4,44%-4,96% | Penurunan signifikan, tetapi didominasi sektor informal. |
Inflasi | 2,4% (rata-rata) | 2,5% | Terkendali, tetapi mencerminkan konsumsi lemah. |
Rasio Gini | 0,375 (Mar) | 0,377-0,380 | Ketimpangan tetap tinggi, terutama di perkotaan. |
Kemiskinan | 8,47% (Mar) | 6,5%-7,5% | Ambisius, tetapi bergantung pada efektivitas bansos. |
Indeks Modal Manusia | 0,55 (estimasi) | 0,57 | Bergantung pada pendidikan dan kesehatan, tetapi akses terbatas. |
2. Kritik terhadap Postur APBN dan Tren Pendapatan Negara
Postur APBN 2026 mencakup pendapatan negara Rp3.147,7 triliun, belanja negara Rp3.786,5 triliun, dan defisit Rp638,8 triliun (2,48% PDB). Pendekatan ini menekankan optimalisasi pendapatan melalui pajak yang adil dan pengelolaan sumber daya alam (SDA) untuk redistribusi, sejalan dengan Pasal 33 UUD 1945. Realisasi investasi paruh pertama 2025 mencapai Rp942,9 triliun, melampaui target APBN, dengan kontribusi besar dari hilirisasi mineral (Rp225,8 triliun), menurut laporan Kementerian Investasi.
2.1. Optimalisasi Pendapatan dan Ketimpangan
Penerimaan pajak diarahkan untuk meredistribusi pendapatan dari kelompok mampu ke masyarakat miskin. Namun, rasio Gini 0,375 pada Maret 2025 menunjukkan ketimpangan yang masih tinggi, terutama di perkotaan (0,395) dibandingkan perdesaan (0,299), menurut data BPS. Target Gini 0,377-0,380 untuk 2026 menunjukkan perbaikan yang lambat, yang dapat melemahkan efektivitas redistribusi. Pajak pertambahan nilai (PPN), yang menyumbang sekitar 40% penerimaan pajak menurut Kementerian Keuangan, bergantung pada konsumsi rumah tangga. Dengan IPR hanya tumbuh 1,2% pada Q2 2025, penerimaan pajak berisiko tidak mencapai target jika daya beli terus menurun.
Pengelolaan SDA melalui hilirisasi meningkatkan ekspor 11,29% pada Juni 2025, menurut BPS, tetapi manfaatnya terkonsentrasi pada pelaku usaha besar. Data Kementerian ESDM menunjukkan bahwa hilirisasi nikel hanya menciptakan 200.000 lapangan kerja langsung sejak 2020, jauh di bawah kebutuhan tenaga kerja nasional. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah pendapatan dari SDA benar-benar digunakan untuk “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Ketergantungan pada ekspor komoditas juga membuat pendapatan negara rentan terhadap fluktuasi harga global, seperti yang terjadi pada minyak sawit dan batubara pada 2024, menurut laporan Kementerian Perdagangan.
2.2. Defisit dan Ketergantungan Investasi
Defisit APBN 2026 sebesar 2,48% PDB lebih rendah dari batas aman historis (3%), menunjukkan pendekatan fiskal yang prudent. Namun, ketergantungan pada investasi asing, dengan realisasi Rp942,9 triliun pada 2025, menimbulkan risiko. Investasi asing, terutama dalam proyek hilirisasi senilai USD 38 miliar, bergantung pada stabilitas geopolitik dan kepercayaan investor, sebagaimana disebutkan dalam pidato Presiden. Negosiasi tarif AS yang berhasil menurunkan tarif dari 32% menjadi 19% adalah capaian positif, tetapi ketidakpastian di pasar Uni Eropa dapat menghambat aliran investasi. Skema pembiayaan inovatif melalui Danantara dan swasta memerlukan transparansi untuk mencegah penyalahgunaan dana, mengingat kasus korupsi proyek infrastruktur besar di masa lalu, menurut laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Tabel 2: Postur APBN 2026 dan Perbandingan Historis
Komponen APBN | RAPBN 2026 (Rp Triliun) | APBN 2025 (Estimasi) | Kritik |
Pendapatan Negara | 3.147,7 | ~2.900 | Optimis, tetapi bergantung pada pajak konsumsi yang lemah. |
Belanja Negara | 3.786,5 | ~3.500 | Fokus pada prioritas rakyat, tetapi efisiensi perlu diawasi. |
Defisit APBN | 638,8 (2,48% PDB) | ~600 | Prudent, tetapi rentan terhadap volatilitas investasi asing. |
3. Kritik terhadap Pos-Pos Penting Belanja Negara
Belanja negara Rp3.786,5 triliun difokuskan pada delapan agenda prioritas: ketahanan pangan (Rp164,4 triliun), ketahanan energi (Rp402,4 triliun), MBG (Rp335 triliun), pendidikan (Rp757,8 triliun), kesehatan (Rp244 triliun), koperasi desa, pertahanan semesta, dan investasi global. Efektivitas alokasi ini perlu diuji terhadap realitas sosial-ekonomi masyarakat.
3.1. Effectivitas Program Makan Bergizi Gratis (MBG)
Program MBG, dengan anggaran Rp335 triliun dan target 82,9 juta penerima (siswa, ibu hamil, dan balita), dianggap sebagai pilar utama untuk mengurangi stunting dan meningkatkan kualitas SDM. Studi Institut Pertanian Bogor (IPB) menunjukkan bahwa MBG sejak Januari 2025 telah meningkatkan asupan gizi anak, dengan penurunan stunting sebesar 2-3% di daerah percontohan. Namun, hingga Juni 2025, program ini hanya menjangkau 4,8 juta penerima (5,8% dari target), akibat tantangan logistik di daerah terpencil seperti Papua dan NTT. Infrastruktur distribusi makanan yang lemah, seperti kurangnya rantai dingin, menghambat skalabilitas program, menurut laporan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.
Dengan garis kemiskinan Rp609.160/kapita/bulan pada Maret 2025 (BPS), keluarga miskin mungkin bergantung pada MBG tanpa peningkatan pendapatan, yang dapat menciptakan ketergantungan daripada pemberdayaan jangka panjang. Efektivitas MBG dalam menciptakan lapangan kerja melalui UMKM juga belum terukur secara komprehensif, dengan data awal menunjukkan peningkatan transaksi lokal hanya di 10% desa percontohan. Pemerintah perlu mempercepat pembangunan infrastruktur logistik dan mengintegrasikan MBG dengan pelatihan UMKM untuk memproduksi makanan bergizi.
3.2. Pendidikan dan Ketimpangan Akses
Alokasi pendidikan Rp757,8 triliun (20% APBN) mencakup beasiswa Program Indonesia Pintar (PIP) untuk 21,1 juta siswa, Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah untuk 1,2 juta mahasiswa, dan LPDP untuk 4.000 mahasiswa internasional. Namun, capaian pendidikan tetap menjadi tantangan. Angka Partisipasi Kasar (APK) Perguruan Tinggi pada 2024 hanya 28,89% untuk laki-laki dan 35,23% untuk perempuan, dengan Angka Partisipasi Murni (APM) SMA di Papua sekitar 50%, menurut Kementerian Pendidikan. Ketimpangan akses diperparah oleh rendahnya kualitas infrastruktur, dengan hanya 60% sekolah SMA di daerah tertinggal memiliki fasilitas memadai seperti laboratorium dan internet.
Program Sekolah Unggul Garuda dan revitalisasi sekolah positif, tetapi tanpa investasi besar di daerah tertinggal, target HDI 0,57 pada 2026 berisiko gagal. Data UNESCO menunjukkan bahwa peningkatan HDI sebesar 0,02 poin memerlukan anggaran pendidikan per kapita yang signifikan di daerah dengan APK rendah. Kurikulum vokasi juga belum sepenuhnya relevan, dengan hanya 30% lulusan vokasi terserap di industri formal, menurut Kementerian Tenaga Kerja.
3.3. Kesehatan dan Kemiskinan
Alokasi kesehatan Rp244 triliun mendukung Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk 96,8 juta jiwa miskin, Cek Kesehatan Gratis (CKG), dan penurunan stunting. Tingkat kemiskinan 8,47% pada Maret 2025 (23,85 juta orang) menunjukkan kemajuan, tetapi 0,85% populasi masih dalam kemiskinan ekstrem (BPS). Prevalensi stunting 21,5% pada 2024, meskipun menurun dari 24,4% pada 2022, tetap tinggi di kalangan miskin ekstrem. JKN menjangkau 85% masyarakat miskin pada 2024, tetapi akses ke fasilitas kesehatan berkualitas di daerah terpencil terbatas, dengan hanya 50% puskesmas di Papua memiliki dokter tetap, menurut Kementerian Kesehatan. CKG membantu deteksi dini, tetapi tanpa perbaikan sanitasi dan air bersih, dampaknya terhadap stunting terbatas.
3.4. Ketahanan Pangan
Alokasi ketahanan pangan Rp164,4 triliun mencakup Rp53,3 triliun untuk Lumbung Pangan, Rp46,9 triliun untuk subsidi pupuk (9,62 juta ton), dan Rp22,7 triliun untuk Bulog. Produksi beras meningkat pada 2025, dengan stok beras di atas 4 juta ton, menjaga stabilitas harga. Namun, distribusi pupuk bersubsidi masih bermasalah, dengan 20% pupuk tidak tepat sasaran meskipun 145 regulasi telah dipangkas pada 2025. Modernisasi irigasi dan perluasan lahan sawah di luar Jawa, yang hanya menyumbang 10% produksi nasional, diperlukan untuk ketahanan pangan berkelanjutan, menurut Kementerian Pertanian.
Tabel 3: Perbandingan Alokasi Belanja dan Realitas Sosial
Prioritas Belanja | Alokasi (Rp Triliun) | 、実況 2025 | Kritik |
Makan Bergizi Gratis | 335 | Jangkauan 4,8 juta penerima | Skalabilitas rendah akibat logistik lemah. |
Pendidikan | 757,8 | APK PT ~32%, APM SMA ~50% (Papua) | Ketimpangan akses tinggi, infrastruktur kurang. |
Kesehatan | 244 | Kemiskinan 8,47%, stunting 21,5% | JKN efektif, tetapi pencegahan stunting lambat. |
Ketahanan Pangan | 164,4 | Produksi beras naik, stok >4 juta ton | Distribusi subsidi pupuk masih bermasalah. |
4. Kritik terhadap Pembiayaan dan Kerangka Utang
Pembiayaan defisit Rp638,8 triliun (2,48% PDB) mengandalkan utang yang prudent dan skema inovatif melalui Danantara serta swasta. Dengan suku bunga SBN 6,9% dan nilai tukar Rp16.500/USD, pendekatan ini tampak berkelanjutan. Namun, ketergantungan pada investasi swasta (USD 38 miliar untuk hilirisasi) berisiko jika daya beli domestik lemah, karena investor menghindari pasar dengan permintaan rendah. Stimulus 2025 (Rp57,4 triliun) terbukti responsif, tetapi tanpa transparansi dalam pengelolaan Danantara, ada risiko penyalahgunaan dana, sebagaimana laporan KPK tentang korupsi infrastruktur.
Rasio utang Indonesia pada 2024 sekitar 39% PDB, masih di bawah ambang batas aman 60% PDB, menurut Bank Dunia. Namun, beban bunga utang yang menyumbang 15% belanja negara pada 2024 (Kementerian Keuangan) dapat membebani anggaran di masa depan jika pendapatan pajak tidak mencapai target.
5. Kesimpulan
RAPBN 2026 menawarkan visi ambisius untuk kesejahteraan rakyat, tetapi pelemahan daya beli (IPR 1,2%), ketimpangan (Gini 0,375), rendahnya APK PT (32%), dan stunting (21,5%) menjadi tantangan. MBG terhambat logistik, pendidikan dan kesehatan belum atasi ketimpangan regional, dan pembiayaan rentan terhadap volatilitas investasi. Dengan kebijakan inklusif, transparan, dan berbasis data, RAPBN 2026 dapat menjadi katalis transformasi ekonomi yang berkelanjutan.
6. Rekomendasi Kebijakan
1. Perkuat Data-Driven Policy: Gunakan DTSEN untuk memastikan subsidi dan bansos tepat sasaran, dengan audit berkala untuk mencegah kebocoran
Pendekatan data-driven melalui Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) dapat diukur melalui indikator seperti tingkat akurasi penyaluran bansos dan pengurangan kebocoran dana. Pada semester I 2025, Kementerian Sosial mencoret 228 ribu dari 600 ribu data penerima bansos setelah kolaborasi dengan Pusat Data Nasional, menghasilkan efisiensi hingga Rp1-2 triliun per tahun berdasarkan estimasi awal. DTSEN, yang dimutakhirkan setiap tiga bulan, telah meningkatkan ketepatan sasaran bansos hingga 80-90% di wilayah urban, dibandingkan dengan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) sebelumnya yang hanya mencapai 70% akurasi. Audit berkala, seperti yang diamanatkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2025, dapat mengurangi kesalahan data tumpang tindih hingga 30%, dengan target penghematan fiskal Rp5-10 triliun pada 2026. Tantangan utama adalah integrasi data lintas kementerian, yang dapat diatasi dengan platform digital terintegrasi, sehingga menurunkan tingkat kemiskinan ekstrem dari 0,85% menjadi di bawah 0,5% dalam dua tahun. Implementasi ini memerlukan anggaran tambahan Rp2 triliun untuk pemeliharaan sistem, tetapi ROI diperkirakan 3-5 kali lipat melalui pencegahan korupsi.
2. Investasi Infrastruktur Daerah Tertinggal: Alokasikan anggaran untuk logistik MBG dan fasilitas pendidikan di Papua dan NTT
Investasi ini dapat diukur melalui metrik seperti cakupan program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan peningkatan fasilitas pendidikan, dengan target peningkatan akses 20-30% di daerah tertinggal. Pada 2025, Papua mencapai realisasi MBG 25% dari target nasional, berkat sinergi lintas sektor, tetapi NTT berpotensi kehilangan Rp8 triliun karena ketidaksiapan logistik, seperti rantai dingin dan transportasi yang hanya mencakup 50% wilayah terpencil. Alokasi anggaran Rp10-15 triliun untuk infrastruktur logistik MBG dapat meningkatkan jangkauan dari 4,8 juta penerima nasional menjadi 20 juta di daerah tertinggal, mengurangi stunting hingga 5% per tahun di Papua Barat Daya melalui model inklusif yang menggerakkan ekonomi lokal. Untuk pendidikan, fasilitas sekolah SMA di Papua hanya 60% memadai; investasi Rp5 triliun dapat meningkatkan Angka Partisipasi Murni (APM) dari 50% menjadi 70% dalam tiga tahun, sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029. Tantangan termasuk biaya tinggi (Rp1-2 triliun per provinsi untuk irigasi dan sekolah), tetapi dampak terukur adalah peningkatan HDI daerah tertinggal hingga 0,05 poin, dengan ROI melalui produktivitas tenaga kerja yang lebih tinggi.
3. Diversifikasi Pendanaan: Dorong obligasi hijau domestik untuk proyek energi terbarukan, mengikuti keberhasilan global pada 2024 (USD 2 miliar)
Diversifikasi melalui obligasi hijau domestik dapat diukur melalui volume penerbitan dan kontribusi terhadap target energi terbarukan 23% pada 2025. Pada 2024, Indonesia berhasil menggalang USD 3,2 miliar dari sukuk hijau global, termasuk USD 1,5 miliar dengan kupon 4,7% untuk proyek hidro dan surya, mendukung transisi energi dengan alokasi 70% dana untuk infrastruktur bersih. Keberhasilan ini, termasuk komitmen KfW Jerman USD 1,26 miliar untuk energi terbarukan, menunjukkan potensi domestik hingga USD 1 triliun pasar obligasi hijau hingga 2025. Dorongan obligasi hijau domestik dapat mengurangi ketergantungan utang luar negeri hingga 20%, dengan tenor 5-7 tahun dan masa tenggang dinegosiasikan, sesuai buku pedoman OJK untuk energi bersih. Tantangan adalah regulasi PP 25/2024 yang memerlukan penyesuaian, tetapi dampak terukur adalah penurunan emisi karbon 10-15% melalui proyek 14,2 miliar USD infrastruktur, dengan ROI 2-3 kali lipat melalui efisiensi energi.
4. Transparansi dan Akuntabilitas: Publikasikan laporan kinerja Danantara dan dampak hilirisasi, dengan badan pengawas independen
Transparansi dapat diukur melalui indeks akuntabilitas dan pengurangan korupsi, dengan target publikasi laporan triwulanan Danantara mencapai 90% kepatuhan standar global. Pada Juli 2025, Danantara menegaskan komitmen tata kelola transparan, membangun institusi berstandar internasional seperti 24 Prinsip Santiago untuk Sovereign Wealth Fund, dengan fungsi pengelolaan dividen BUMN hingga Rp50-100 triliun per tahun. Dampak hilirisasi, seperti peningkatan ekspor 11,29% pada Juni 2025, memerlukan pengawasan independen untuk mengurangi risiko korupsi hingga 40%, sesuai rekomendasi Transparency International Indonesia. Badan pengawas independen, seperti yang diusulkan dalam implikasi hukum pembentukan Danantara, dapat memastikan audit tahunan dengan target efisiensi 15-20% aset negara. Tantangan adalah resistensi politik, tetapi dampak terukur adalah peningkatan kepercayaan investor hingga 25%, dengan ROI melalui penghematan Rp10-20 triliun dari pencegahan penyalahgunaan.
5. Reformasi Struktural Ekonomi: Berikan insentif pajak untuk UMKM dan industri padat karya seperti tekstil dan agribisnis
Reformasi ini dapat diukur melalui peningkatan kontribusi UMKM terhadap PDB hingga 65% pada 2026, dengan insentif PPh Final 0,5% diperpanjang hingga 2025 bagi WP OP UMKM. Pada 2025, PMK 10/2025 memberikan PPh Pasal 21 DTP untuk pekerja sektor padat karya dengan penghasilan hingga Rp10 juta, menjangkau industri tekstil dan agribisnis yang menyerap 20-30 juta tenaga kerja. Insentif ini, termasuk diskon 50% jaminan kecelakaan kerja, dapat menjaga daya beli masyarakat dan mengurangi PHK hingga 15%, sesuai target KEM PPKF 2025. Untuk agribisnis, insentif dapat meningkatkan ekspor 10-15%, dengan anggaran Rp5-8 triliun untuk investment allowance. Tantangan adalah kepatuhan pajak UMKM (saat ini 40%), tetapi dampak terukur adalah penciptaan 2-3 juta lapangan kerja formal, dengan ROI 4-6 kali lipat melalui peningkatan produktivitas.
6. Pendekatan Holistik Stunting: Integrasikan MBG dan CKG dengan sanitasi, air bersih, dan edukasi gizi, mengikuti model Rwanda yang menurunkan stunting 10% dalam lima tahun
Pendekatan holistik dapat diukur melalui penurunan prevalensi stunting dari 21,5% (2024) menjadi di bawah 15% pada 2028, dengan integrasi MBG dan CKG mencapai cakupan 80% di daerah prioritas. Model Rwanda, yang menurunkan stunting 10% dalam lima tahun melalui program Girinka (satu sapi per keluarga miskin) dan edukasi gizi komunitas, dapat diadaptasi dengan anggaran Rp3-5 triliun untuk sanitasi dan air bersih di Indonesia. Pada 2025, penurunan stunting dari 24,4% (2021) menjadi 19,8% menunjukkan kemajuan, tetapi faktor sanitasi (akses air bersih 70% di daerah tertinggal) dan edukasi gizi perlu ditingkatkan untuk efisiensi 20-30%. Integrasi di Kabupaten Buleleng menunjukkan peningkatan kesadaran gizi 15%, dengan target ROI melalui penghematan biaya kesehatan Rp10 triliun per tahun. Tantangan adalah koordinasi lintas sektor, tetapi adaptasi model Rwanda dapat mengurangi stunting 5-7% tahunan melalui pendidikan ibu hamil dan infrastruktur WASH (Water, Sanitation, Hygiene).
=============
Komisi Anggaran Independen (KAI) adalah lembaga atau komisi yang secara khusus berfungsi untuk memberikan analisis, kajian, dan rekomendasi yang bersifat independen dan obyektif terkait dengan anggaran negara, termasuk proses penyusunan, pelaksanaan, dan pengawasan APBN. Tujuannya adalah untuk mendukung transparansi, akuntabilitas, dan pengelolaan keuangan negara yang lebih baik tanpa dipengaruhi kepentingan politik atau pemerintah. KAI terdiri dari organisasi masyarakat sipil (INFID, FITRA, Perkumpulan Prakarsa, IBC, IBP, YLKI) dan individu-individu yang memiliki konsen terhadap penganggaran public yang adil dan berkesinambungan.
Narahubung:
- Abdul Waidl, 0812-8082-1339 (INFID)
- Binny Buchori, 0816-1829-836 (Individu)
- Fahmi Badoh, 0813-1968-4443 (IBC)