
Siaran Pers Refleksi Masyarakat Sipil Indonesia di OGP Global Summit 2025: Diplomasi, Tantangan Lokal, dan Peran Parlemen
Vitoria-Gasteiz, Spanyol, 9 Oktober 2025
Di tengah berlangsungnya Open Government Partnership (OGP) Global Summit 2025 pada 6-10 Oktober di Vitoria-Gasteiz, Spanyol, masyarakat sipil Indonesia menyampaikan refleksi kritis atas perjalanan keterbukaan pemerintah di tanah air. Meski Indonesia dikenal sebagai salah satu negara pendiri OGP dengan berbagai inovasi tata kelola terbuka, realitas di dalam negeri menunjukkan kontradiksi yang kian mencolok.
Diplomasi Masyarakat Sipil: Membawa Nama Baik, Menyimpan Luka
Delegasi masyarakat sipil Indonesia hadir di Spanyol dengan membawa sejarah inovasi keterbukaan, mulai dari inisiatif transparansi anggaran daerah, portal pengaduan LAPOR!, perluasan akses Bantuan Hukum, hingga portal pengadaan barang dan jasa yang transparan dan inklusif. Upaya ini menjadi bagian dari diplomasi publik yang memperlihatkan wajah progresif keterbukaan Indonesia di panggung global.
Namun, di balik diplomasi tersebut, ada kekecewaan mendalam. Pasca aksi protes massa pada akhir Agustus hingga awal September 2025, ruang sipil di Indonesia semakin menyempit. Aksi protes#SelamatkanIndonesia / #ResetIndonesia yang menuntut transparansi dan akuntabilitas tersebut justru direspons dengan penangkapan ribuan demonstran dan pembatasan ruang berekspresi. “Kami datang ke forum global ini dengan membawa cerita inovasi, tapi kawan-kawan kami masih banyak yang ditahan hingga saat ini,” ujar Muhammad Rizaldi, Plt. Direktur Eksekutif Indonesia Judicial Research Society (IJRS) yang hadir di Spanyol.
Tidak hanya itu, berbagai program-program pemerintah yang berjalan saat ini, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), Koperasi Merah Putih, Sekolah Rakyat, praktis tidak diikuti dengan adanya keterbukaan, partisipasi publik yang bermakna dan akuntabilitas publik, bahkan setelah banyaknya keracunan dan keluhan yang disampaikan oleh warga.
Tren Global: Keterbukaan Hingga Level Lokal, Indonesia Tertinggal
Komunitas OGP global kini semakin menekankan pentingnya keterbukaan di level lokal. Filipina memimpin di kawasan Asia Tenggara dengan mengembangkan OGP Lokal yang melibatkan 17 pemerintah daerah Filipina dengan komitmen pada transparansi anggaran, partisipasi warga, dan audit sosial sebagai medium penting kontrol warga terhadap negara.
Sayangnya, Indonesia masih tertinggal. Peran penguatan daerah oleh Kementerian Dalam Negeri nyaris tak terlihat, diikuti pemotongan besar-besaran dana transfer ke daerah (TKD) yang mempersempit ruang inovasi. Dalam pertemuan dengan Menteri Keuangan, Selasa (7/10), 18 gubernur menyampaikan protes keras atas pemangkasan TKD hingga 20–70 persen. Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda, menegaskan: “Dengan pemotongan yang rata-rata setiap daerah hampir 20–30 persen, bahkan ada yang 60–70 persen, itu berat. Banyak janji pembangunan yang akhirnya harus ditunda”. Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, menambahkan, “Aceh punya kebutuhan khusus pasca-rekonstruksi. Kalau anggaran dipotong, otomatis banyak program tertunda”.
Kondisi ini membuat keterbukaan di level lokal semakin sulit diwujudkan. Hal ini sangat kontras dengan situasi lalu. Misalnya, pada tahun 2021, Pemerintah Kabupaten Banggai mendapatkan penghargaan OGP Accelerator Award melalui komitmen pengembangan aplikasi layanan Kesehatan seksual dan reproduksi, Pemerintah Kota Semarang mendapatkan award untuk digitalisasi pengaduan publik. Kali ini, Indonesia nihil prestasi dan tentunya akan semakin sulit apabila pemerintah pusat tidak memperkuat dan memberdayakan pemerintah daerah.
Peran Parlemen: Mengembalikan Kepercayaan Publik
Masyarakat sipil juga menyoroti pentingnya peran parlemen. Selama ini, DPR cenderung pasif dalam melakukan pengawasan terhadap eksekutif, padahal parlemen seharusnya menerapkan prinsip keterbukaan dalam fungsi legislasi dan fungsi anggaran.
Keterbukaan parlemen (open parliament) berarti proses legislasi harus transparan, partisipatif, dan akuntabel. Publik berhak mengetahui bagaimana undang-undang disusun, bagaimana anggaran digunakan, dan bagaimana aspirasi rakyat diakomodasi. Keterbukaan parlemen adalah kunci mengembalikan kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif.
“Parlemen harus membuka diri, mulai dari proses legislasi, penggunaan anggaran, hingga kinerja parlemen, baik secara individu dan secara kelembagaan. Tanpa itu, kepercayaan publik akan terus terkikis,” tegas Bona Tua, Deputi Direktur INFID mewakili koalisi masyarakat sipil.
Penutup
OGP Global Summit 2025 menjadi panggung global untuk merayakan inovasi tata kelola terbuka. Namun bagi Indonesia, forum ini menjadi upaya diplomasi masyarakat sipil untuk membawa nama baik, tetapi kontradiktif dengan realitas di dalam negeri yang menunjukkan penyempitan ruang sipil, lemahnya dorongan keterbukaan di level lokal, dan parlemen yang belum sepenuhnya terbuka.
Masyarakat sipil mendesak agar pemerintah segera memperkuat regulasi keterbukaan, mendorong penguatan daerah, dan memastikan parlemen menjalankan perannya disertai prinsip transparansi. Hanya dengan itu, Indonesia dapat kembali menjadi teladan global sekaligus menjawab kebutuhan rakyatnya sendiri.
Penyusun
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keterbukaan Pemerintah Indonesia:
- Indonesia Judicial Research Society (IJRS). Narahubung: [email protected]
- International NGO Forum on Indonesian Development (INFID)
- Transparency International Indonesia (TII)
- PATTIROS
- Humanis
- Kota Kita
- Southeast Asian Freedom of Expression Network (SAFEnet)