Staf INFID Mendapat Pelatihan Kebijakan dan Pedoman Teknis Operasional Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual
Oleh: Andi Nur Faizah, Program Officer Inequality, Partnership, and Membership INFID

Keterangan: Staf Sekretariat INFID mengikuti pelatihan yang difasilitasi oleh Listyowati.
(Sumber: Dok. INFID)
Kekerasan dan pelecehan seksual adalah persoalan serius yang harus direspons. Dengan disahkannya Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagai payung hukum, memperlihatkan bahwa negara memberi perhatian pada persoalan kekerasan seksual yang kerap terjadi. Dalam dunia kerja, tempat kerja sudah sepatutnya memberikan rasa aman kepada setiap pekerjanya agar terbebas dari segala bentuk kekerasan dan pelecehan seksual.
Menurut survei kekerasan dan pelecehan di dunia kerja pada 2022, sebanyak 70,81% responden pernah menjadi korban kekerasan serta pelecehan. Bahkan, 54,81% pelakunya adalah atasan atau rekan kerja senior. Adapun sebesar 34,53% responden mengaku bahwa di tempat kerjanya tidak memiliki mekanisme anti kekerasan dan pelecehan seksual. Korban tidak melapor sebanyak 45,61% dengan alasan manajemen kantor tidak akan melakukan apapun. Temuan ini mengindikasikan bahwa dunia kerja belum sepenuhnya memberikan perlindungan bagi para pekerjanya terkait dengan kekerasan dan pelecehan seksual.
INFID menyadari penyusunan kebijakan terkait perlindungan kekerasan seksual di tempat kerja sangat penting. Oleh karena itu, INFID menyusun pedoman teknis operasional pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang ditindaklanjuti dengan pelatihan bagi para staf pada 13 Juni 2024. Tujuannya adalah untuk memberikan pemahaman kepada seluruh staf mengenai dokumen kebijakan, serta memberi panduan dan petunjuk dalam melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.
Dalam pembukaan, Program Manager Inequality, Partnership, Membership INFID AD Eridani menerangkan bahwa SOP (Standar Operasional Prosedur) kelembagaan INFID yang disusun pada 2013 terkait nilai-nilai organisasi, lingkungan kerja tanpa pelecehan seksual yang kemudian diperbarui pada 2021 sudah tidak lagi memadai. Oleh karena itu, INFID harus memiliki kebijakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang lebih komprehensif. Direktur Eksekutif INFID Iwan Mistohizzaman dalam sambutannya juga menekankan bahwa ke depannya INFID akan memastikan dokumen kebijakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dibaca dan dipahami oleh setiap calon staf dalam proses rekrutmen.
Ketua Dewan Pengurus Yayasan Kalyanamitra Listyowati menjadi fasilitator pelatihan ini. Kegiatan ini terbagi ke dalam dua sesi. Sesi pertama diisi dengan diskusi kelompok mengenai kekerasan berbasis gender melalui studi kasus. Dari dialog intens membahas studi kasus tersebut, menunjukkan bahwa seorang perempuan dapat mengalami multi kekerasan dan jenis kekerasannya bisa saling terhubung. Pada sesi ini, Listyowati menekankan bahwa gender merupakan isu yang sangat dekat dengan keseharian. Maka, ketika melakukan intervensi, hal strategis yang perlu dilakukan adalah dengan masuk ke dalam ranah keluarga.

Keterangan: Diskusi kelompok kekerasan berbasis gender melalui studi kasus (Dok. INFID)
Pada sesi kedua, fasilitator mendiskusikan jenis-jenis kekerasan seksual serta prinsip-prinsip pendampingan. Jenis kekerasan seksual yang dipaparkan mengacu pada Pasal 4 Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual No. 2 Tahun 2022. Beberapa di antaranya adalah pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik.
Dalam hal prinsip pendampingan, fasilitator menekankan pentingnya empati, keberpihakan pada korban, kesetaraan, serta berorientasi pada kebutuhan dan keputusan korban. “Dalam melihat sebuah kasus, cara pandang kita diletakkan pada kebutuhan korban. Kita harus tanya korban seperti apa? Meskipun dalam hati kita geregetan, tapi itu harus kita tahan,” jelas Listyowati.
Pelatihan ditutup dengan RTL (Rencana Tindak Lanjut) berupa pembagian kelompok guna memberi masukan terhadap dokumen pedoman teknis operasional pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Dengan begitu, staf INFID dapat berpartisipasi aktif dalam memberikan saran berkenaan dengan kebijakan yang telah disusun. “Jika kebijakan ini tidak menjadi aspirasi bagi semua, maka jalannya akan pincang,” ungkap Listyowati. Harapannya, kebijakan ini dapat menjadi pedoman bagi seluruh individu INFID dalam melakukan pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual.
Referensi:
Never Okay Project, and International Labour Organization. “Survei Kekerasan Dan Pelecehan Di Dunia Kerja Indonesia 2022.” Https://Neverokayproject.Org/, 2022, https://neverokayproject.org/wp-content/uploads/2022/09/Fact_Sheet_-_Semua_bisa_kena_ILO-x-NOP-2022.pdf.