Tekanan Utang menyebabkan Keberlanjutan Utang Indonesia berada di Zona Rapuh: Respon Atas Data Utang Pemerintah Rp9.138,05 Triliun per Juni 2025

Tekanan Utang menyebabkan Keberlanjutan Utang Indonesia berada di Zona Rapuh: Respon Atas Data Utang Pemerintah Rp9.138,05 Triliun per Juni 2025

SIARAN PERS

JAKARTA – Data terbaru dari Kementerian Keuangan yang menunjukkan posisi utang pemerintah pusat telah mencapai Rp9.138,05 triliun atau setara 39,86 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) per Juni 2025 adalah sebuah alarm bagi kebijakan fiskal nasional. INFID (International NGO Forum on Indonesian Development) memandang angka ini, yang kini mendekati ambang batas psikologis 40 persen, menempatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 pada “persimpangan kritis.” Peningkatan yang cepat ini terjadi di tengah proyeksi defisit anggaran yang tinggi, bahkan diproyeksikan melebar mencapai 2,78 persen dari PDB, yang memaksa pemerintah untuk mengandalkan utang baru demi membiayai ambisi pembangunan.  

Meskipun rasio utang 39,86 persen masih berada dalam batas aman menurut undang-undang (di bawah 60 persen dari PDB), namun merujuk kepada Model Domar, pada tahun 2025, selisih antara Pertumbuhan PDB Nominal (7,8%) dengan Tingkat Bunga Efektif Utang (7,5%) adalah 0,3. Ini angka positif, namun SANGAT TIPIS. Angka ini mendekati nol, dan ini menunjukkan bahwa kita berada di ambang batas zona rapuh. Ini menunjukkan utang masih berkelanjutan, namun kita berada di ambang batas zona rapuh. Sedikit saja guncangan geopolitik atau pelemahan ekonomi domestik dapat dengan cepat mendorong rasio utang dapat melampaui batas psikologis 40 persen.

Laju penambahan utang yang melebihi proyeksi awal juga mengindikasikan tingginya tekanan struktural pada kas negara. Tekanan ini diperparah oleh kelemahan di sisi penerimaan. Dengan rasio perpajakan (tax-to-GDP ratio) yang stagnan di angka 10 persen, jauh di bawah rata-rata regional ASEAN, jurang antara kebutuhan belanja, termasuk program prioritas pasca-pemilu seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), dan kemampuan pendapatan semakin lebar, yang pada akhirnya harus ditutup dengan utang.  

Titik Kerentanan dan Kontraksi Diskresi Fiskal

Titik kerentanan yang paling signifikan adalah proyeksi defisit keseimbangan primer APBN 2025 yang semula Rp63,33 triliun kini direvisi menjadi sekitar Rp109,9 triliun per Juli 2025. Defisit primer adalah indikator paling jujur tentang keberlanjutan fiskal, ia muncul ketika pendapatan rutin pemerintah tidak cukup untuk membiayai seluruh belanja non-bunga. Dengan kata lain, utang baru kini tidak hanya ditarik untuk pembangunan, tetapi juga untuk membayar bunga utang lama, sebuah praktik “gali lubang tutup lubang” yang merusak kesehatan fiskal jangka panjang.  

Implikasi langsung dari tingginya beban utang ini adalah kontraksi diskresi fiskal. Pembayaran pokok dan bunga utang kini memakan porsi yang terlalu besar dari APBN. Pada tahun 2025, pemerintah harus mengalokasikan dana lebih dari 1.300 triliun (lebih dari 36 persen dari belanja APBN 2025) untuk membayar bunga dan utang jatuh tempo. Hal ini secara esensial mengurangi ruang gerak pemerintah untuk merespons guncangan ekonomi atau mengalokasikan dana secara fleksibel untuk sektor-sektor produktif. Ketika utang dan biaya pelayanannya terus menanjak, kemampuan negara untuk menentukan prioritas belanja independen menjadi tercekik.  

Paradoks Pembangunan dan Keadilan

Kenaikan utang fantastis ini menampilkan paradoks pembangunan yang tidak terhindarkan. Utang ditarik atas nama kesejahteraan, namun realitas sosial dan ekologis menunjukkan sebaliknya:  

  1. Kesenjangan Sosial: Besarnya utang tidak sejalan dengan keberhasilan mengatasi masalah fundamental. Meskipun persentase penduduk miskin secara nasional berada di angka 8,47 persen per Maret 2025 (data BPS), namun dengan standar internasional, World Bank menyatakan bahwa masih ada 68,3 persen dari total populasi Indonesia masuk dalam kategori miskin. Ketimpangan kekayaan (Gini Ratio) pada bulan Maret 2025 sebesar 0,375. Angka tersebut masih dikategorikan sebagai tingkat ketimpangan sedang (biasanya antara 0,3 hingga 0,4). Ini berarti distribusi pengeluaran di Indonesia masih memiliki kesenjangan yang signifikan, namun tidak berada dalam kategori sangat tinggi. Atas data kemiskinan dan ketimpangan tersebut, juga bermakna bahwa beban utang ditanggung oleh seluruh masyarakat, sementara manfaat dan kekayaan terkonsentrasi pada segelintir kelompok.
  2. Krisis Ekologis: Kebutuhan utang yang masif juga muncul di tengah krisis ekologis yang mendalam. Deforestasi, polusi udara dan air, krisis sampah plastik, serta ancaman perubahan iklim—seperti naiknya permukaan air laut dan peningkatan risiko bencana alam—membutuhkan alokasi anggaran yang protektif dan adaptif. Utang yang tidak produktif akan menghilangkan kesempatan untuk berinvestasi dalam ketahanan lingkungan, membiarkan generasi mendatang mewarisi utang sekaligus kerusakan planet.  

Tiga Pilar Reformasi Mendesak INFID

INFID menekankan bahwa kehati-hatian (prudence) yang sering diucapkan pemerintah harus diiringi dengan tindakan reformasi yang konkret, terukur, dan adil. Terdapat tiga pilar utama yang harus segera diperkuat:   

Pertama, Reformasi Perpajakan yang Menyeluruh dan Berkeadilan. Prioritas utama bukanlah semata-mata menuntut tax-to-GDP ratio harus didorong menuju angka 12-14 persen agar ketergantungan pada utang tidak menjadi permanen. Melainkan penarikan pajak yang sungguh-sungguh kepada para pengemplang pajak (tax evaders). Pemerintah harus fokus menutup celah-celah (loopholes) penghindaran pajak dan meningkatkan kepatuhan melalui penegakan hukum yang tegas dan pemanfaatan sistem digitalsecara optimal.

Kedua, Evaluasi Kritis dan Peningkatan Tata Kelola Belanja Prioritas. Alokasi belanja besar, khususnya program strategis seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), harus dipikirkan kembali secara komprehensif. INFID mendesak agar pemerintah menghentikan pendekatan statistik yang mengabaikan kerentanan nyawa. Kasus keracunan yang terjadi, sekecil apa pun persentasenya dari target program, harus dipandang sebagai kasus serius yang menuntut evaluasi menyeluruh, bukan diabaikan. Ini mencerminkan ketidaksiapan tata kelola program dan kegagalan dalam perlindungan nyawa warga negara. Lebih lanjut, implementasi MBG harus dievaluasi karena tidak berdampak langsung dan terukur pada asumsi awal pertumbuhan ekonomi lokal, yang menunjukkan potensi pemborosan fiskal di tengah keterbatasan diskresi.   

Ketiga, Penguatan Tata Kelola dan Transparansi. Defisit kepercayaan publik yang tercermin di media sosial mengenai korupsi dan transparansi APBN harus segera diatasi. Pemerintah harus memperkuat independensi lembaga pengawas seperti BPK dan memastikan transparansi penuh dalam pengelolaan utang. Hanya dengan membangun kepercayaan publik dan institusional, premi risiko obligasi Indonesia dapat dijaga tetap rendah dan berkelanjutan.  

Sebagai kesimpulan, meskipun angka utang Rp9.138,05 triliun masih legal, akselerasinya, adanya defisit primer, dan paradoks pembangunan yang menyertainya menunjukkan kerentanan struktural yang mendesak untuk ditangani. Pemerintah Indonesia memiliki modal dasar berupa PDB yang besar dan ekonomi yang tangguh, tetapi kegagalan dalam melakukan reformasi yang mendalam akan berisiko merusak kredibilitas fiskal, menggadaikan diskresi kebijakan, dan membebani generasi mendatang—tidak hanya dengan utang, tetapi juga dengan masalah sosial dan lingkungan yang kian parah. Jalan menuju ketahanan fiskal berkelanjutan memang sempit, namun harus dilalui dengan kebijakan yang berbasis bukti dan komitmen yang kolektif.  (END)

Narahubung: 
Abdul Waidl, Program Manager INFID, +62 812-8082-1339

Tentang International NGO Forum on Indonesian Development (INFID):

INFID adalah organisasi masyarakat sipil berbasis anggota yang berjuang untuk pembangunan Indonesia sejak 1985. INFID memiliki 80 anggota di seluruh Indonesia. INFID terakreditasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan menyandang Special Consultative Status untuk ECOSOC di PBB. INFID memiliki tiga fokus program; 1) Tata Kelola Iklim yang Demokratis dan Berkeadilan Gender; 2) Pembangunan yang Inklusif dan Adil; 3) Masyarakat Sipil untuk Hak Asasi Manusia dan Demokrasi.