Tolak Soeharto Pahlawan: Pemaksaan Narasi dan Pengabaian Kesalahan Pembangunan Orde Baru

Tolak Soeharto Pahlawan: Pemaksaan Narasi dan Pengabaian Kesalahan Pembangunan Orde Baru

PERNYATAAN SIKAP

Jakarta, 11 November 2025

Jakarta (11/11) – International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) menolak keras Keputusan Presiden Nomor 116/TK/2025 yang menetapkan mantan Presiden Soeharto sebagai Pahlawan Nasional. INFID menyadari penetapan ini berdasarkan pada klaim jasa pembangunan, namun rekam jejak pemerintahan Orde Baru selama 32 tahun tidak dapat dipisahkan dari praktik sistematis pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Penganugerahan gelar ini adalah upaya pemutihan sejarah, pengkhianatan terhadap semangat Reformasi 1998, dan penghinaan terhadap para korban.

Penganugerahan gelar pahlawan juga tidak sesuai dengan Undang-Undang (UU) No. 20/2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan pasal 26 ayat (1) huruf c yang menegaskan kriteria “tidak pernah melakukan perbuatan tercela”. Selain itu juga melanggar Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN. Penganugerahan ini adalah keputusan yang tidak sejalan dengan semangat Reformasi.

INFID memandang penganugerahan ini sebagai momen krusial untuk merefleksikan keseimbangan antara kontribusi historis dan tanggung jawab etis. Pernyataan sikap ini berdasarkan pada kegagalan pembangunan era Orde Baru yang belum sepenuhnya dipertanggungjawabkan, temuan Komnas HAM mengenai pelanggaran hak asasi manusia, serta prinsip integritas moral dalam konsep kepahlawanan.

Pembangunan yang Menindas dan Melanggar HAM

Ideologi pembangunan Orde Baru yang dicanangkan Soeharto, dilaksanakan dengan pendekatan sentralistik, otoriter, dan represif. Pembangunan diposisikan sebagai “panglima” yang harus didahulukan di atas segalanya, termasuk di atas martabat, hak, dan keadilan bagi warga negara, khususnya kelompok rentan. Hal ini menciptakan praktik pelanggaran HAM yang masif dan terstruktur.

Proyek-proyek pembangunan masif dilakukan dengan mengorbankan masyarakat kecil. Kasus Waduk Kedung Ombo pada akhir 1980-an adalah bukti nyata bagaimana warga dipaksa melepaskan hak atas tanah mereka dengan intimidasi militer dan ganti rugi yang tidak layak. Peristiwa Talangsari (1989) menewaskan ratusan korban sipil, menunjukkan aparatus negara bersenjata digunakan secara brutal untuk memaksakan kehendak dan menekan kelompok yang dianggap menghalangi program pemerintah. Kasus-kasus ini menyoroti bagaimana hak ekonomi, sosial, dan budaya (Hak EKOSOB) serta hak sipil dan politik (Hak SIPOL) diinjak-injak atas nama pembangunan dan stabilitas.

Pelanggaran HAM berat juga terjadi di wilayah yang diindikasikan sebagai daerah yang menentang kekuasaan Orde Baru. Operasi militer di Aceh (DOM Aceh) dan Papua yang berlangsung bertahun-tahun telah menyebabkan ribuan korban jiwa, penghilangan paksa, penyiksaan, dan kekerasan seksual. Praktik kekerasan yang disponsori negara ini menunjukkan bahwa aparatus militer digunakan sebagai alat kekuasaan untuk menjaga stabilitas dan memaksakan kontrol pusat, tanpa menghiraukan hukum dan HAM internasional.

Temuan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memberikan dasar empiris yang tak terbantahkan. Sejak pendiriannya pada 1993, Komnas HAM mendokumentasikan pelanggaran sistemik, meskipun mandat pra-reformasi terbatas. Laporan 2012 tentang peristiwa 1965-1966 menyimpulkan adanya kekerasan negara dengan lebih dari 500.000 korban, didorong oleh kebijakan pembersihan untuk stabilitas Trilogi Pembangunan. Dalam perspektif intelektual, keberhasilan parsial ini tidak cukup untuk mendefinisikan kepahlawanan jika diimbangi dengan biaya sosial yang tidak dipertanggungjawabkan. Studi pembangunan komparatif tentang Indonesia era 1990-an, menekankan bahwa pertumbuhan berkelanjutan memerlukan inklusivitas, yang absen dalam model Orde Baru.

Represi Terhadap Suara Kritis dan Pemasungan Demokrasi

Di bawah rezim Soeharto, kekuasaan berpusat sepenuhnya di tangannya. Pemasungan demokrasi dilakukan secara sistematis, dimana perbedaan pendapat dan kritik terhadap kebijakan pembangunan serta kekuasaan dibungkam dengan kekerasan dan intimidasi. Hal ini dilakukan melalui pembredelan media massa (misalnya, kasus Majalah Tempo, Editor, dan Detik pada 1994) hingga kebijakan Azas Tunggal Pancasila, negara memaksakan tafsir tunggal terhadap ideologi Pancasila kepada seluruh organisasi sosial-politik dan kemasyarakatan.

INFID menegaskan kembali bahwa kepahlawanan sejati bukanlah soal kekuasaan atau prestasi pembangunan semata, melainkan keberanian untuk menjunjung martabat manusia dan kebenaran. Memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto berarti menghapus ingatan kolektif tentang korban dan menutup ruang bagi keadilan, serta tindakan pemutihan dosa orde baru. Karena itu, kami menyerukan kepada Presiden Prabowo Subianto untuk meninjau kembali Keputusan Presiden Nomor 116/TK/2025, demi menjaga integritas moral bangsa dan menghormati sejarah perjuangan demokrasi Indonesia. (END)

Narahubung:

Siti Khoirun Ni’mah, Direktur Eksekutif INFID, [email protected] 

Tentang INFID:

International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) merupakan organisasi non-pemerintah berbasis anggota sejak tahun 1985. Sebagai forum organisasi masyarakat sipil di Indonesia, INFID mendorong pembangunan berkeadilan yang diwujudkan melalui demokrasi, kesetaraan, keadilan sosial, perdamaian, serta terjamin dan terpenuhinya Hak Asasi Manusia di tingkat nasional dan global. INFID mewujudkan visi tersebut melalui serangkaian kegiatan yang akuntabel, berbasis bukti, dialogis bersama anggotanya, serta mengedepankan solidaritas dan kesetaraan. INFID memiliki 80 anggota di seluruh Indonesia dan Special Consultative Status untuk UN ECOSOC.

Media Sosial:

Instagram infid_id

Twitter infid_id

Facebook infid

Youtube INFID TV

Linkedin International NGO Forum on Indonesian Development (INFID)

Website www.infid.org