Urgensi Uji Tuntas HAM yang Efektif Terhadap Rantai Investasi Sektor Ekstraktif Pertambangan
Oleh: Tongam Panggabean

Praktik uji tuntas HAM di sektor ekstraktif seperti pertambangan masih menjadi tantangan serius. Di satu sisi, pemberian perizinan kepada sejumlah perusahaan pertambangan masih mengabaikan kewajiban negara terhadap praktik bisnis yang berkelanjutan yang dalam kurun waktu lima tahun terakhir telah memicu gelombang tuntutan kepada pemerintah termasuk lembaga pengadilan untuk meninjau ulang atau mencabut izin lingkungan kepada perusahaan pertambangan. Di sisi lain, rantai investasi seperti pemilik saham, lembaga pendanaan, dan keuanagan termasuk rantai pasok barang dan jasanya belum menggunakan uji tuntas HAM sebagai penilaian risiko dan pembuatan keputusan untuk meneruskan atau menghentikan hubungan bisnis dengan perusahaan yang menjadi sorotan.
Kasus pertambangan biji seng PT Dairi Prima Mineral (DPM) yang berlokasi di Kabupaten Dairi dapat menggambarkan kompleksitas praktek uji tuntas HAM. Anak perusahaan swasta dalam negeri Bumi Resources Minerals (BRM) dan Nonferrous Metal Industry’s Foreign Engineering and Construction Co., Ltd. (NFC) yang berbasis di Beijing ini telah menjadi sorotan atas praktik pertambangan yang tidak berkelanjutan dan tidak bertanggung jawab dan mengarah pada pelanggaran HAM terutama hak atas persetujuan di atas dasar di awal tanpa paksaan (Free Prior and Informed Consent), hak atas lingkungan, hak atas pekerjaan tradisional, dan hak atas informasi publik.[i] Risiko tambang tersebut terutama bendungan penampung limbahnya terhadap lingkungan berdasarkan pemeriksaan Office of the Compliance Advisor Ombudsman (CAO) bahkan tergolong ekstrim. Mekanisme akuntabilitas independen dari International Finance Corporation (IFC) dan Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA) di bawah Bank Dunia tersebut pun mengungkapkan kerugian dan potensi kerugian yang dialami warga seperti risiko bencana dan kontaminasi air akibat kegagalan bendungan dan pelanggaran hak-hak masyarakat lokal lainnya. Di tahun 2019, IFC sendiri terpapar DPM melalui investasinya di Postal Savings Bank of China (PSBC) melalui investasi penyertaan modal sebesar US$286 juta.[ii] Ironisnya, meskipun fakta tentang praktik bisnis yang tidak berkelanjutan dan tidak bertanggung jawab tersebut cukup kuat, namun hingga saat ini belum ada perubahan kebijakan yang efektif.
Artikel ini menggunakan Prinsip-Prinsip Panduan PBB untuk Bisnis dan HAM (UNGPs)[iii] sebagai referensi utama dalam menganalisis kewajiban HAM negara dan tanggung jawab HAM rantai bisnis di sektor ekstraktif berdasarkan tiga alasan utama. Pertama, pilar UNGPs, terutama pilar pertama tentang tanggung jawab HAM negara selaras dengan perjanjian-perjanjian HAM yang mengikat negara secara hukum, seperti Kovenan PBB tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang mewajibkan pemerintah untuk memastikan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan terhadap HAM di yurisdiksi mereka. Kedua, meskipun tidak bersifat wajib, namun UNGPs secara jelas mendefinisikan tanggung jawab perusahaan untuk menghormati HAM yang semakin ditanggapi dengan serius oleh investor dan perusahaan. Ketiga, UNGPs pada dasarnya selaras dengan prinsip atau panduan tentang bisnis lainnya seperti OECD Guidelines for Multinational Enterprises[iv] yang pada umumya telah menerapkan mekanisme pengaduan dan keluhan (complaint and grievance). Selain itu, terdapat beberapa ketentuan lain yang memungkinkan rantai investasi untuk menghentikan keterkaitannya dengan investasi yang berisiko ekstrim sebagaimana dijelaskan di dalam penafsiran OECD melalui Business and Human Rights in Challenging Contexts Considerations for Remaining and Existing.
Multidimensi uji tuntas HAM
Argumentasi tentang pentingnya uji tuntas HAM pada umumnya telah menggabungkan dimensi risiko bisnis dan keuntungan ekonomi yang diperoleh bisnis. Aspek risiko mencakup pembatalan proyek, gugatan hukum, denda dan kerusakan reputasi, sementara aspek ekonomi mencakup peningkatan jangkauan pasar produk, akses terhadap pasar utang dan ekuitas, dan mempertahankan izin sosial dalam beroperasi dengan membangun hubungan baik dengan masyarakat.[v] Namun, uji tuntas HAM juga menyaratkan dimensi kebijakan negara yang selaras dengan kewajibannya terhadap penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM. Bahkan, segala bentuk kebijakan ekonomi seharusnya tidak boleh menjadi pemicu pelanggaran-pelanggaran HAM. Pada level tertentu dimensi ini menekankan pada deteksi dan pencegahan pelanggaran HAM oleh entitas bisnis sejak awal.
Komite Hak-hak Ekonomi Sosial dan Budaya (Economic, Social and Cultural Rights Committee) telah menafsirkan kewajiban negara dalam konteks aktivitas bisnis yang memiliki dimensi uji tuntas HAM,[vi] Pertama, badan PBB tersebut secara tegas mengharuskan setiap negara pihak untuk menyelaraskan insentif bisnis dengan tanggungjawab HAM negara. Sehingga, ketika pelanggaran HAM terjadi, maka negara dapat mengambil tindakan yang tegas dalam rangka melindungi HAM. Tindakan yang disarankan diantaranya dapat berupa pencabutan izin usaha dan subsidi dari pelanggar, dan revisi ketentuan pajak yang relevan.
Kedua, dalam konteks hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, kebijakan negara yang menurunkan tarif pajak perusahaan dengan tujuan menarik investor bahkan dapat dinilai sebagai tindakan yang tidak sejalan dengan kewajiban HAM negara. Demikian halnya dengan , perjanjian perdagangan atau investasi yang bertentangan dengan kewajiban HAM negara perlu dibatalkan. Secara khusus, negara dalam perjanjian investasi dapat menolak perlindungan terhadap investor asing yang terlibat dalam tindakan yang mengarah pada pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Ketiga, negara juga perlu mewajibkan perusahaan-perusahaan termasuk anak-anak perusahaannya dimana pun mereka berada dan mitra bisnisnya menghormati hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Secara khusus, perusahaan-perusahaan yang berdomisili di wilayah suatu negara pihak diwajibkan melakukan uji tuntas untuk mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi pelanggaran yang dilakukan oleh anak perusahaan atau mitra bisnis.
Tanggung jawab semua entitas bisnis
Proyek pertambangan DPM juga dapat menjadi ilustrasi tentang entitas bisnis, baik investor, rantai keuangan, dan rantai pasok apa saja yang seharusnya bertanggung jawab atas uji tuntas HAM. Sebagai ilustrasi, berdasarkan penelusuran Inclusive Development International (IDI),[vii] terdapat hubungan investasi antara NFC dan Wanxiang Group, produsen suku cadang mobil terbesar di dunia. Wanxiang Group sendiri merakit sepertiga mobil di jalan raya di seluruh dunia. Pelangganya antara lain Volkswagen, Ford, Citroën, Mazda, General Motors, Suzuki, Fiat, Toyota, dan Daimler Chrysler. Dengan demikian, biji seng yang akan diproduksi oleh DPM setidaknya akan berakhir di mobil-mobil yang diproduksi oleh perusahaan tersebut. Maka mengacu pada UNGPs, uji tuntas HAM dapat menjadi inti dari tanggung jawab semua entitas perusahaan tersebut. Uji tuntas HAM juga dapat menjadi kunci bagi dunia usaha tersebut untuk dapat mengetahui dan membuktikan kepada para pemangku kepentingan bisnis lainnya bahwa mereka menghormati HAM.
Selain itu, dunia bisnis dan keuangan pada umumnya telah mengembangkan berbagai kebijakan HAM yang mengikat secara internal dan memungkinkan korban termasuk organisasi masyarakat sipil untuk mengakses mekanisme pengaduan dan keluhan termasuk menjadi anggota. Meskipun prosesnya panjang dan rumit, akan tetapi pada umumnya mekanisme-mekanisme ini cukup responsif terhadap pengaduan korban. Beberapa kasus menunjukan bahwa respon positif atas pengaduan korban bisa digunakan sebagai alat “politik” korban dalam menekan pemerintah, pengadilan dan pasar. Di dalam kasus tertentu, bisnis yang terbukti melanggar HAM mendapatkan sanksi berupa pemberhentian dari keanggotaan forum multistakeholder. Saat ini terdapat juga beberapa prinsip dan kriteria HAM dan lingkungan di dalam berbagai lembaga multi-stakeholder “nirlaba” atau sertifikasi internasional seperti RSPO, FSC danIRMA, , serta prinsip dan kriteria HAM di lembaga-lembaga multilateral seperti OEDC’s human rights grievance mechanism dan European Union’s human rights due diligence and corporate grievance mechanism. Selain itu ada prinsip dan kriteria HAM di lembaga-lembaga keuangan internasional seperti the World Bank, Asian Development Bank seperti he World Bank’s Grievance Redress Service dan ADB’s Grievance Redress Mechanism.
Dengan uji tuntas HAM, rantai investasi juga dapat menghentikan keterkaitannya dengan bisnis yang menjadi sorotan sebagaimana diatur di dalam mekanisme OECD. Dengan kata lain, bisnis yang beroperasi dalam situasi yang dinilai berisiko ekstrim misalnya, rantai investasi, keuangan, dan pasok barang dan jasa dapat mengambil keputusan untuk menghentikan dukungan atau hubungan dengan perusahaan yang beresiko serius terhadap perlindungan dan pemenuhan HAM.[viii] Dengan demikian, jelas bahwa uji tuntas HAM harus dilakukan oleh semua dunia usaha tersebut. Uji tuntas HAM juga bukanlah tujuan utama, melainkan salah satu instrumen untuk memastikan perlindungan HAM. Negara dan seluruh rantai perusahaan yang melakukan uji tuntas HAM tidak dapat beranggapan bahwa dengan melakukan uji tuntas akan secara otomatis dan sepenuhnya membebaskan mereka dari pertanggung jawaban telah menyebabkan atau terlibat dalam pelanggaran HAM.
[i] The Guardian, Indonesian government accused of putting lives at risk with zinc mine permit di https://www.theguardian.com/global-development/2023/jan/12/indonesia-government-safety-earthquakes-flooding-zinc-mine>; Tongam Panggabean dan Dustin Roasa, Disaster Shadows Chinese Mining Ventures in Southeast Asia published in The Diplomat, 2020 di https://thediplomat.com/2021/01/disaster-shadows-chinese-mining-ventures-in-southeast-asia/>
[ii] CAO Compliance Appraisal Report for Complaints about IFC’s exposure to the Dairi Prima Mineral Mine
in Indonesia through Investment in Postal Savings Bank of China, 2022
[iii] United Nations Human Rights Office of the High Commissioner, Guiding Principles of Business and Human Rights, 2011.
[iv] OECD Guidelines for Multinational Enterprises; OECD Due Diligence Guidance for Responsible Business Conduct
[v] United Nations Human Rights Office of the High Commissioner for Human Rights, Human Rights Due Diligence: An Interpretative Guide
[vi] United Nations Human Rights Office of the High Commissioner for Human Rights, General comment No. 24 (2017) on State obligations under the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights in the context of business activities
[vii] https://www.inclusivedevelopment.net/cases/indonesia-dairi-prima-mineral-zinc-mine/
[viii] OECD, Business and Human Rights in Challenging Contexts Considerations for Remaining and Exiting, 2023
*artikel ini telah diperbaharui oleh penulis pada 2 Februari 2024