Visi Indonesia (C)emas: Dispensasi Kawin Langgengkan GenZ Terjebak Perkawinan Usia Anak

Visi Indonesia (C)emas: Dispensasi Kawin Langgengkan GenZ Terjebak Perkawinan Usia Anak

SIARAN PERS

(Jakarta, 24/9) – Di saat pemerintah sedang gencar-gencarnya menargetkan Visi Indonesia Emas 2045, banyak generasi muda hari ini justru terjebak dalam perkawinan anak yang berpotensi melahirkan generasi yang tumbuh di tengah lingkungan yang rentan merenggut hak-hak anak. Penelitian terbaru INFID menemukan fakta-fakta miris dalam kasus perkawinan anak, mulai dari banyaknya calon suami yang tidak memiliki penghasilan, hingga merupakan bagian dari paksaan orangtua kandung anak tersebut. Hal ini pun tidak lepas dari masifnya keran dispensasi kawin yang membuka celah hukum bagi perkawinan bagi anak di bawah umur. 

INFID melaksanakan diseminasi studi terbaru yang berjudul “Kajian terhadap Dispensasi Perkawinan Usia Anak di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat dan Lampung Tengah, Lampung” pada Selasa, 24 September 2024. AD Eridani, Program Manager Inequality INFID menyampaikan, “Sebagai lembaga yang memiliki mandat—yang salah satunya—mengatasi ketimpangan gender dalam berbagai isu pembangunan, International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) penting untuk terlibat dalam pencegahan perkawinan usia anak di Indonesia. Untuk itu, INFID bersama dengan Aliansi Perguruan Tinggi Responsif Gender (PTRG) didukung oleh Kedutaan Jerman, melakukan kajian pada putusan dispensasi kawin—yang sering kali menjadi jalan akhir yang diambil untuk melangsungkan perkawinan di usia anak.” Studi ini secara khusus menilik profil pemohon dispensasi perkawinan, menganalisis putusan hakim, mengidentifikasi pengetahuan hakim tentang prinsip kepentingan terbaik anak, serta tantangan dalam mengimplementasikan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor. 5 Tahun 2019 tentang Dispensasi Kawin. 

Sejumlah penemuan menguatkan betapa perkawinan anak merenggut hak anak dan melahirkan efek domino yang mengancam masa depan anak yang melakukan perkawinan di bawah umur hingga ke generasi yang lahir dari pasangan perkawinan anak. Dari sisi ekonomi misalnya, data dari Pengadilan Agama Gunung Sugih di Lampung Tengah, kebanyakan calon suami dalam perkawinan anak memiliki penghasilan di kisaran 2 juta rupiah. Bahkan yang tidak punya penghasilan menempati urutan kedua terbanyak. Sebagai perbandingan, angka tersebut bahkan tidak sampai Upah Minimum Provinsi (UMP) Lampung 2024 yang berkisar di angka 2,7 juta rupiah atau sekitar 30% UMP DKI Jakarta.

Penemuan lainnya, penelitian ini mengungkapkan bahwa cukup banyak perkawinan anak dilatarbelakangi bukan oleh cinta dan keinginan anak, melainkan merupakan paksaan dari orangtua kandung dengan dalih takut perzinahan atau bagian dari kultur dan norma sosial di lingkungan mereka. 

“Mayoritas permohonan diajukan oleh keluarga perempuan. Lebih dari 82% permohonan dispensasi perkawinan di Pengadilan Agama Indramayu diajukan oleh orangtua anak perempuannya. Sementara sisanya, 18% diajukan oleh orangtua untuk anak laki-lakinya”, ungkap Mufliha Wijayati, tim riset INFID.

Maraknya perkawinan usia anak tidak lepas dari skema dispensasi kawin yang dimungkinkan oleh hukum. Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan mengatur minimum usia menikah bagi perempuan dan laki-laki adalah 19 tahun. Meski demikian, apabila anak di bawah 19 tahun mengajukan permohonan perkawinan, hakim memiliki kewenangan untuk memberikan izin menikah atau dispensasi kawin. Hal ini telah diatur dalam Perma No. 5 Tahun 2019 tentang persyaratan permohonan dispensasi kawin.

Melihat fakta perkawinan anak yang justru sangat berpotensi melanggengkan budaya kekerasan anak, khususnya anak perempuan, implementasi kebijakan dispensasi kawin perlu mendapatkan perhatian kritis dari banyak pihak. Studi INFID mengungkapkan sejumlah tantangan yang kerap menjadikan kebijakan dispensasi kawin sebagai keran pembuka perkawinan anak.

Pertama, Perma No. 5/2019 sebagai panduan dalam penanganan dispensasi perkawinan belum tersosialisasi secara memadai kepada pemangku kepentingan terkait. “Kurangnya sosialisasi ini menyebabkan banyaknya pemangku kepentingan, seperti Hakim Pengadilan Agama, belum sepenuhnya memahami. Sehingga ini berdampak pada inkonsistensi dalam putusan pengadilan”, ujar Mufliha Wijayati, peneliti INFID.

Kedua, terdapat miskonsepsi atas beberapa konsep dan prosedur pemberian rekomendasi dalam Perma. Konsep rekomendasi disalahpahami sebagai pemberian dukungan perkawinan. Rekomendasi umumnya dipahami sebagai opsional karena adanya klausul ‘dapat’ pada dalam Perma.

Ketiga, independensi hakim dalam memutus perkara menjadi problem implementasi pertimbangan kepentingan terbaik anak. Terkadang hakim mempersepsikan kepentingan terbaik sang anak yang menjadi termohon dispensasi. Sementara, pada kesempatan berbeda hakim lain memaknai kepentingan terbaik anak adalah bayi yang akan dilahirkan atau janin dalam kandungan.

Empat, persetujuan dalam perkawinan anak diiringi dengan ketimpangan relasi kuasa dan kecenderungan orang tua yang merasa sebagai pemilik otoritas atas anak. “Bahkan, ada orangtua yang memanfaatkan dispensasi kawin agar anaknya bisa dinikahkan dan kemudian dikirim sebagai buruh migran di luar negeri yang syaratnya adalah cukup usia atau sudah menikah”, beber Siti Rofiah, peneliti INFID. 

Lima, program, kegiatan, dan gerakan untuk pencegahan dan penanganan perkawinan anak telah dilakukan secara parsial dan intra-sektoral. Setiap lembaga mengklaim sudah berupaya menekan angka perkawinan anak. Namun, kontribusi dan dampaknya sulit diukur dan dievaluasi. Bahkan, dalam beberapa kasus, antarinstansi cenderung saling menyalahkan dan melepaskan tanggung jawab. 

Pemerintah RI semakin gencar menargetkan Visi Indonesia Emas 2045 yang juga sudah masuk ke dalam Rencana Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045. Upaya-upaya percepatan pengarusutamaan perspektif gender dalam pembuatan kebijakan menjadi kunci keberhasilan target tersebut.

“Permasalahan perkawinan usia anak ini membutuhkan sinergi antar kementerian dan lembaga, yang juga melibatkan anak muda di dalamnya, serta pentingnya memperhatikan hulu, hilir, serta perencanaan pembangunan yang berperspektif gender dan melihat kepentingan terbaik bagi anak,” pungkas Andi Faizah, Program Officer Inequality, Partnership, and Membership INFID. (END)

Narahubung:

Andi Faizah, Program Officer Inequality, Partnership, and Membership INFID ([email protected])

Tentang International NGO Forum on Indonesian Development (INFID):

INFID adalah organisasi masyarakat sipil yang berjuang untuk pembangunan Indonesia sejak 1985. INFID terakreditasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan menyandang Special Consultative Status untuk ECOSOC di PBB. INFID memiliki tiga fokus program; 1) Penurunan Ketimpangan, 2) Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, dan 3) HAM & Demokrasi.

Media Sosial:

Instagram infid_id

Twitter infid_id

Facebook infid

Youtube INFID TV

Linkedin International NGO Forum on Indonesian Development (INFID)

Website www.infid.org