
Wonorejo: Mendobrak Tabu, Menghargai Perbedaan
Penulis: Mifta Sonia
Editor: Nur Hayati Aida
Wonorejo adalah sebuah desa yang berada di ujung timur Kabupaten Situbondo. Pada tahun 2023, desa ini didaulat sebagai desa Kebangsaan dan memenangkan penghargaan anugerah Desa Wisata. Berdasarkan data pemerintah desa Wonorejo pada 2023, ada 6.200 warganya yang memeluk agama Islam, 1.328 adalah umat Kristiani, dan 4 orang pemeluk agama Hindu. Secara jumlah, umat Islam menjadi mayoritas di desa Wonorejo, namun dibandingkan dengan daerah lainnya di Situbondo, Wonorejo memiliki jumlah gereja yang tergolong lengkap yakni ada tiga gereja dan satu kapel, selain itu juga ada satu pura sebagai tempat beribadah umat Hindu.
Awalnya, desa yang terletak di lereng gunung baluran bagian selatan ini adalah sebuah hutan belantara. Pada 1926, sekelompok orang Madura membabat hutan tersebut dan mulai tinggal di pesisir pantai hutan Wonorejo yang merupakan selat bali dan menamakan daerah itu Pandean. Di tahun yang sama, beberapa orang Kristen Jawa dari Desa Rejoagung, Tanggul, Jember yang dipimpin oleh Djoas Joel alias Pak Barliyan II sekeluarga mendapat izin dari Pemerintah untuk membuka lahan di hutan Wonorejo dan menempati lahan di bagian barat.
Bagian barat hutan ini dulu dinamakan Ringin Sari, akan tetapi nama tersebut tak begitu populer dengan nama aslinya, Wonorejo. Dalam perjalannya, daerah pesisir (Pandean) dan bagian barat (Wonorejo) menjadi satu dengan nama Desa Wonorejo. Secara bahasa, wono atau wana berarti hutan dan rejo berarti ramai. Tahun tahun berikutnya, berdatangan lagi beberapa kelompok orang yang menetap di Desa Wonorejo sehingga menjadikan desa tersebut tumbuh menjadi desa dengan masyarakat yang majemuk.
Masyarakat Wonorejo terbiasa bergotong-royong, baik pada acara sosial maupun keagamaan. Ketika ada acara di gereja maupun acara yang diadakan pemuda gereja, umat Muslim ikut membantu proses persiapannya dan membantu kelancaran acara. Pun Begitu juga sebaliknya, saat bulan Ramadhan, pemuda dari gereja juga sering membagikan takjil gratis untuk umat Muslim berbuka puasa. Saat ada acara keagamaan seperti shalat Idul Fitri, pemuda Kristiani dengan sukarela bergabung untuk menjaga ketertiban lalu lintas dan keamanan di sekitar masjid. Pada saat perayaan natal, umat Muslim akan mengunjungi rumah tetangganya yang beragama Kristen dan idul fitri, umat Kristen akan mengunjungi rumah tetangganya yang Muslim. Pada momen hari jadi gereja, masyarakat umat Muslim akan bergabung dalam acara syukuran. Biasanya panitia akan mengundang semua tokoh agama termasuk Islam dan Hindu. Pada acara formal seperti musyawarah desa, pendeta akan membuka dan memimpin doa secara Kristen dan saat penutupan doa akan dipimpin tokoh Muslim.
Kebersamaan dan kerukunan antar umat beragama yang kental di Wonorejo membuat warganya merasa nyaman dan senang hidup dan tinggal Wonorejo. Beberapa pemuda-pemudi desa yang ditemui oleh Penulis menceritakan pengalamannya ketika mereka masih bersekolah. Pada hari-hari besar keagamaan, seperti Natal dan Tahun Baru, mereka akan berkunjung kepada guru yang beragama Nasrani meski mereka seorang muslim.
Toleransi Bukan Hanya Wacana untuk yang Hidup
Kehidupan toleransi antar umat beragama di desa Wonorejo bukan hanya milik mereka yang masih hidup. Desa ini memiliki sebuah pemakaman umum yang diberi nama Makam Kebangsaan. Jika biasanya makam berperan sebagai identitas kelompok kepercayaan tertentu, di Makam Kebangsaan semua masyarakat penganut kepercayaan apapun boleh dimakamkan. Area pemakaman ini juga tak ada pemisah atau sekat untuk makam umat Muslim dan Kristen, sehingga terlihat pemandangan yang tak biasa seperti tak beraturan karena sebagian menghadap ke timur dan barat dan yang lainnya membujur ke utara dan selatan.
Praktik toleransi di Wonorejo tidak hanya terbatas pada manusia yang masih hidup, tetapi warganya menghormati segala perbedaan dan merayakan perbedaan tersebut hingga perjalanan terakhir kehidupan mereka. Tidak heran jika ada warga yang meninggal apapun agama yang dianut, maka masyarakat akan bersatu gotong-royong memastikan pemakaman berjalan dengan lancar.
Kerusuhan Masa Lalu Tidak Mengurangi Rasa Aman
Pada 12 Oktober 1996, terjadi kerusuhan di Kabupaten Situbondo. Menurut laporan dari Harian Kompas pada tahun itu, kerusuhan bermula ketika pembacaan vonis terhadap seorang pemuda bernama Saleh yang melakukan penistaan agama. Saleh adalah seorang pemuda Muslim yang diduga melakukan penistaan agama Islam. Ia divonis 5 tahun penjara, namun massa tidak terima dan meminta Saleh dihukum mati. Ratusan massa langsung menyerbu pengadilan dan mencoba menghampiri Saleh, namun Saleh lebih dulu diamankan oleh petugas pengadilan. Saat itu ada provokasi yang mengatakan Saleh disembunyikan di gereja, sehingga massa langsung membakar Gereja Bukit Sion dan menewaskan 5 orang di komplek gereja tersebut.
Kerusuhan tersebut tampaknya juga bermuatan politis karena beberapa jam setelahnya bermunculan massa yang menyerang dan membakar gereja, sekolah katolik, pertokoan milik orang Tionghoa, dan Klenteng di beberapa kecamatan di Situbondo, salah satunya Kecamatan Banyuputih yakni Desa Wonorejo. Banyak massa dari luar desa Wonorejo yang menyerbu, merusak, dan membakar gereja-gereja dan sekolah Katolik di Desa Wonorejo. Kerusuhan tersebut membuat seluruh masyarakat Desa Wonorejo merasa ketakutan dan bersembunyi, terutama masyarakat yang rumahnya di sekitar gereja. Walaupun di Desa Wonorejo juga terdampak kerusuhan tersebut, saat ini warga mengungkapkan bahwa mereka merasa aman berada di Desa Wonorejo, karena mereka tahu perusuh saat itu bukanlah warga desa tersebut melainkan orang-orang dari luar daerah.
Umat Kristiani mengungkapkan bawah tidak pernah ada penolakan dari warga saat mereka akan membangun atau merenovasi gereja. Pun tidak pernah ada tindak diskriminatif dari kelompok mayoritas terkait apapun kegiatan mereka di gereja. Masyarakat Muslim juga mengaku tidak pernah terganggu dengan keberadaan gereja yang ada di dekat masjid maupun berdampingan dengan rumah mereka. Mereka justru senang karena umat gereja selalu melibatkan warga sekitar dan sering berbagi berkah. Seorang warga yang rumahnya di depan salah satu Gereja di Wonorejo bercerita bahwa dengan adanya pembangunan gereja dirinya merasa terbantu karena suaminya bekerja sebagai kuli bangunan di sana. Pembangunan yang melibatkan warga sekitar dinilai akan lebih aman dan mudah diterima.
Kerukunan dan hidup penuh toleransi yang dipegang sampai mati oleh masyarakat Wonorejo patut dijadikan contoh dan bahan refleksi karena masih banyak terjadi konflik dengan balutan agama. Utamanya untuk pemeluk agama mayoritas yang masih seringkali merasa kesulitan untuk memiliki relasi yang baik dengan pemeluk agama lain. Tidak ada agama yang mengajarkan untuk membenci atau mendiskriminasi pemeluk agama lain. Kekuatan agama mayoritas seharusnya digunakan untuk hal-hal baik seperti membela kelompok rentan bukan malah untuk menindasnya. Keberagaman itulah yang membuat desa ini mendapatkan julukan Desa Kebangsaan atau Desa Pancasila.[]
***Artikel ini merupakan kerja sama antara penulis dan INFID melalui program PREVENT x Konsorsium INKLUSI sebagai bagian dari kampanye menyebarkan nilai dan semangat toleransi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta inklusivitas.
Referensi
Firdausi, Fadrik Aziz, and Fahri Salam. 2018. “Dari Kasus Dugaan Penodaan Agama Menjalar Kerusuhan Situbondo 1996.” tirto.id, May 18, 2018. https://tirto.id/dari-kasus-dugaan-penodaan-agama-menjalar-kerusuhan-situbondo-1996-cKzP.
Sejarah desa. (2018, August 6). Selamat Datang Di DESA Wisata Kebangsaan WONOREJO. https://desawisatakebangsaanwonorejo.wordpress.com/sejarah-desa/
Dihimpun dari kumpulan cerita beberapa masyarakat Desa Wonorejo