Queer dan Religiusitas: Merajut Identitas dalam Perjalanan Spiritual

Queer dan Religiusitas: Merajut Identitas dalam Perjalanan Spiritual

Penulis: Nisqala Putri

Editor: Nur Hayati Aida

Dalam perjalananku sebagai individu queer, banyak terbesit pertanyaan menyoali berbagai isu yang lekat dengan latar belakangku sebagai individu queer yang tumbuh di keluarga Muslim. Aku lahir sebagai anak perempuan pertama di sebuah keluarga religius. Orangtuaku menerapkan pengajaran agama dengan pendekatan yang ketat, menekankan pada konsep pahala dan dosa. Bagi mereka, apa yang dianggap wajib harus dilaksanakan tanpa pengecualian, sementara pelanggaran terhadap aturan agama dianggap sebagai sesuatu yang akan berdampak buruk di dunia dan akhirat. Tak jarang, prinsip ini diterapkan melalui metode yang keras, termasuk kekerasan fisik dan emosional. Apalagi saat mereka menduga bahwa aku adalah seorang queer. Hal tersebut membuatku sering berpikir, “apakah menjadi queer dan jujur dengan diri sendiri merupakan suatu kesalahan?”. Pertanyaan ini menjadi awal perjalanan refleksiku tentang hubungan antara spiritualitas, identitas dan penerimaan diri. 

Seiring perjalanan waktu, refleksi personal mulai menuntunku pada pemahaman yang lebih dalam tentang diriku sendiri. Aku terus merasakan dorongan untuk mengenal lebih jauh akar ketakutan dan trauma yang selama ini aku alami. Penolakan, kekerasan, dan diskriminasi yang dulu merupakan alasan yang kuat untukku menjauh dari praktik beragama, sekarang membuatku bertanya, apakah benar aku harus memilih untuk bisa berdamai dengan diriku sendiri? Berawal dari pertanyaan ini aku putuskan bertemu dengan beberapa individu.

Trans dan Islam, Mengapa Mungkin?

Cerita pertama aku dapatkan dari seorang teman individu trans. Perjalanan dia dalam membersamai dirinya dalam menemukan identitas gender dan kepercayaannya menarik perhatianku. 

Pada saat masih kecil, dia percaya bahwa meskipun dia terlahir dengan kelamin perempuan, namun akan menjadi seorang laki-laki. Ia berujar, “kelak aku akan tumbuh menjadi seperti Bapak, dan akan menjadi seorang Ayah”, sebuah pemikiran yang berangkat dari kepolosan seorang bocah. Pada saat itu dia belum mengerti konsep laki-laki dan perempuan, dan saat melihat saudara laki-lakinya memiliki penis, dia berpikir bahwa mungkin di masa depan penisnya akan tumbuh. Namun, tubuhnya berbicara lain, dan seiring waktu dia mulai bertanya mengapa dirinya merasa berbeda. Saat sekolah dasar, dia mendapatkan menstruasi pertamanya, “hal ini bagaikan sebuah kiamat” kemarahan yang muncul secara seketika, karena dia sangat tidak berharap bahwa akan mendapatkannya. 

Pencariannya menemukan tempat dan menyesuaikan diri salah satunya dengan menggunakan hijab, dengan sedikit paksaan dari rekan sejawatnya, mereka memberikan set-set hijab untuk digunakan. Namun bukannya merasa nyaman, dia merasakan dorongan kuat bahwa ini bukanlah hal yang sesuai. Seperti mengenakan identitas yang bukan dirinya. Hal ini bukan hanya soal kain, tapi ekspektasi yang datang bersamanya yang berbeda dari identitasnya. Celotehan koleganya bahwa dia mempermainkan agama pun tidak membantunya merasa nyaman.

Pada tahun 2015, dia menemukan informasi untuk belajar tentang SOGIE (Sexual Orientation, Gender Identity and Gender Expression) melalui halaman media sosial, dia merasa inilah cara Tuhan untuk menunjukkan siapa dirinya sebenarnya dan memberikan jawaban atas doanya, walaupun bukan tanpa keraguan. Tetapi hal ini menimbulkan pergolakan dalam batinnya; “apakah ini merupakan hal yang sesaat, apakah ini hanya ego diriku saja”. Karena itu dia tetap berusaha menjadi perempuan, dengan menggeluti hobi yang dinilai feminin seperti dance cover

Ada suatu masa di mana ia ingin membuktikan eksistensi Tuhan dalam hidupnya, meski itu harus dibayar dengan pemberian hukuman langsung kepada dirinya. Hubungan dirinya  dengan Tuhan dideskripsikan sebagai sesuatu yang rumit–love-hate relationship–di satu sisi dia merasa agama yang dianut secara ilmiah terasa lebih relevan dan Tuhan adalah satu-satunya tempat bersandar, apalagi manusia lebih sering mengecewakannya. Namun disisi lain, muncul kritik kuat akan kepercayaan yang dijalankan sejak ia lahir yang datang dengan pertanyaan-pertanyaan seperti; Tuhan jika memang dia menciptakan individu seperti ini untuk menjalani kesulitan, lalu mengapa dia diciptakan? Mengapa dia diberikan beban yang jauh lebih berat dibanding manusia lain?

Namun, satu saran yang diberikan oleh psikolog yang membantunya adalah bahwa dia percaya bahwa Tuhan sangatlah dekat, bahkan lebih dekat dari pembuluh darah di nadi kita, hal ini membantunya untuk mengenali dirinya sendiri. Selain itu, kalimat yang diberikan Ayahnya membantunya untuk bertahan dan terus mengimani Islam, ”Tak perlu kamu bersusah payah memikirkan kamu itu perempuan atau laki-laki. Fokus saja menjadi manusia (yang baik)”. Hingga saat ini, ucapan-ucapan yang menurutnya sederhana, justru menjadi bara yang besar untuk hidup dan berpegang pada keyakinannya. 

Dalam cerita pertama ini, seorang Muslim yang queer menemukan ruang aman dalam menjalani hidupnya. Ruang aman itu berbentuk komunitas yang didirikan khusus agar individu queer Muslim dapat belajar dan berdiskusi tentang agama, tanpa rasa takut akan dihakimi, dan memberikan ruang untuk mereka yang selama ini merasa harus memilih antara identitas queer atau keyakinan agama. Di tempat inilah dia menemukan bahwa kedua hal tersebut bisa berjalan berdampingan.

Rasa Rindu yang Membawa Kita

Cerita kedua ini dari seorang queer yang berasal dari keluarga Muslim yang taat, meskipun pengetahuan agamanya terbatas. Semasa remaja, ia menemukan komunitas rohani yang memberinya rasa kebersamaan dan keterikatan yang kuat; sebuah “keluarga” yang ia ciptakan di luar keluarga sedarahnya. Dalam kelompok ini, ia diajarkan untuk berpikir kritis, memahami makna berkolektif, serta mengembangkan identitas sebagai bagian dari komunitas yang lebih besar dalam menjalankan peran sebagai wakil Tuhan di muka bumi. 

Namun, ketika di kemudian hari ia mulai menyadari seksualitasnya dan memutuskan untuk melela, penolakan justru menjadi respons dari komunitas yang dulu begitu dekat dengannya. Ia merasa tercerabut dari “keluarga” yang pernah ia anggap akan menerimanya apa adanya, sesuai dengan identitas dirinya. “Ada bagian dari diriku yang patah dan tumbang.“, begitu ia menggambarkan rasa sakit yang dirasakannya pada saat itu. Aku menemukan benang merah yang menarik antara kami berdua, yaitu sebuah rasa rindu yang mendalam, yang menjadi api untuk kembali menemukan rasa kepemilikan (sense of belonging) kepada komunitas yang dulu sangat bermakna. 

Selama masa kerinduan ini, ia membaca tentang embodied tafsir yang diperkenalkan oleh Amina Wadud. Tafsir ini berakar pada pengalaman subjektif individu, yang memadukan pengalaman spiritual dengan tubuh fisik dan pengalaman keseharian. Embodied tafsir menawarkan cara memahami Islam yang lebih inklusif, di mana setiap individu, terlepas dari identitas gender atau seksualitasnya, memiliki tempat yang adil dan setara. Tafsir ini menghubungkan pemahaman agama dengan pengalaman pribadi yang dirasakan oleh individu, baik dalam dimensi spiritual maupun fisik, yang menekankan bahwa setiap orang, terlepas dari identitas gender atau seksualitas, dapat merasakan dan menghayati makna dari teks-teks agama berdasarkan pengalaman hidupnya sendiri. Dengan demikian, embodied tafsir menciptakan ruang yang lebih inklusif bagi berbagai identitas, memberi kesempatan untuk pemahaman yang lebih adil, setara, dan penuh kasih.

Amina Wadud juga berbicara tentang feminine side of God—sisi feminin Tuhan—di mana sifat-sifat Tuhan yang lemah lembut, penuh kasih, dan pengasih juga dilihat sebagai aspek ketuhanan yang melingkupi semua manusia, tanpa diskriminasi. Konsep ini membuka ruang bagi interpretasi yang lebih luas dan penuh kasih dalam melihat perbedaan, termasuk gender dan seksualitas, sebagai bagian dari ciptaan Tuhan yang sempurna.

Dalam pencarian rasa kepemilikan, ia akhirnya menemukan titik terang saat pergi belajar ke Inggris. Di sana, ia bertemu dengan komunitas inklusif bernama Inclusive Mosque Initiative (IMI), sebuah inisiatif yang menciptakan ruang aman untuk ibadah dan ritual bagi semua orang, termasuk individu queer. Di IMI, ia merasa diterima sepenuhnya, dan di sana ia menemukan cara untuk memadukan iman dan identitas queer-nya tanpa merasa harus memilih salah satu. Semangat inklusif ini ingin ia bawa pulang ke Indonesia, untuk menciptakan ruang yang serupa di tanah air. Namun, meski semangat itu ada, rasa takut akan penolakan dari komunitas Muslim di Indonesia masih menghantui.

Namun, di dalam dirinya, ia yakin bahwa tidak mungkin Tuhan menciptakan sesuatu yang begitu esensial dan alami, seperti identitas gender dan seksualitas, hanya untuk kemudian ditolak. Ia melihat bahwa keberagaman, termasuk keberagaman gender dan seksualitas, adalah bagian dari ciptaan Tuhan yang universal. Sebagaimana Tuhan menciptakan berbagai bentuk kehidupan dengan tujuan yang berbeda-beda, demikian juga Tuhan menciptakan manusia dengan segala keunikan yang ada pada mereka. Keyakinan ini sejalan dengan pemahaman bahwa Tuhan Maha Pengasih, dan tidak ada satupun makhluk yang diciptakan tanpa alasan atau makna.

Ia terus memilih untuk menjadi seorang Muslim dan dalam perjalanannya, ia terus mencari komunitas queer Muslim yang dapat menerimanya sepenuhnya—sebuah ruang dimana agama dan identitas queer bisa berjalan berdampingan tanpa harus saling menegasikan. 

Apakah Perlu Memilih?

Membahas identitas queer dalam konteks Islam melibatkan pemahaman yang mendalam mengenai berbagai aspek sosial, kultural, dan teologis. Bagi banyak individu queer Muslim, mereka sering terjebak dalam dualitas identitas yang dianggap bertentangan—sebagai queer yang kerap dipinggirkan oleh masyarakat karena seksualitas mereka, dan sebagai Muslim yang diharapkan mematuhi norma-norma agama. Banyak individu queer Muslim yang terjebak dalam konversi terapi, sebuah praktik yang sering dilakukan dengan harapan dapat mengubah orientasi seksual atau identitas gender mereka agar sesuai dengan norma-norma agama untuk lebih mudah diterima. Terapi konversi ini sering kali menggunakan pendekatan psikologis atau spiritual yang menekan individu untuk menanggalkan atau menyembunyikan identitas queer mereka, yang berdampak pada kesehatan mental dan emosional mereka. Praktik ini bisa melibatkan ritual keagamaan, seperti ruqyah, yang bertujuan untuk ‘membersihkan’ individu dari perilaku atau identitas yang dianggap menyimpang. 

Selain itu, individu queer Muslim sering kali mengalami diskriminasi atau pengucilan dari komunitas agama mereka, seperti dikucilkan oleh keluarga, atau merasa tidak diterima di masjid atau komunitas keagamaan karena identitas seksual atau gender mereka yang dianggap bertentangan dengan ajaran agama. Dalam beberapa kasus yang lebih ekstrim, individu queer Muslim juga bisa menjadi korban pemaksaan pernikahan atau bahkan perkosaan, sebagai upaya untuk ‘memperbaiki’ atau ‘menormalkan’ orientasi seksual mereka. Kejadian-kejadian ini semakin memperburuk kondisi mereka, menciptakan trauma psikologis yang mendalam yang sulit untuk diatasi.

Dalam masyarakat, terutama yang konservatif, pandangan tentang peran gender dan orientasi seksual cenderung terbatas pada norma heteroseksual. Konsep ini dikenal sebagai heteronormativitas, yang menganggap hubungan heteroseksual antara pria dan wanita sebagai satu-satunya bentuk yang sah, alami, dan sesuai dengan nilai-nilai agama dan sosial. Sehingga dianggap sebagai satu-satunya cara hidup yang “suci, benar, dan valid.” Oleh karena itu pandangan ini mengalienasi individu queer dari akses keadilan dan kesetaraan. Peminggiran ini bukan hanya berasal dari struktur sosial, tapi juga ditopang oleh interpretasi agama yang cenderung mengukuhkan norma-norma heteronormativitas. Akibatnya, queer Muslim sering menghadapi tantangan ganda: dari lingkungan sosial yang tidak mendukung ekspresi queer mereka, dan dari institusi agama yang memandang keberadaan queer sebagai sebuah deviasi.

Ketika berbicara tentang “desire” atau keinginan dalam konteks queer Muslim, ini bukan hanya soal orientasi seksual semata, tetapi juga keinginan untuk tetap terhubung dengan keimanan dan spiritualitas mereka. Bagi banyak queer Muslim, hubungan mereka dengan Tuhan adalah sesuatu yang sangat personal dan tidak semata-mata dapat diukur melalui lensa atau cara pandang heteronormatif. Sama seperti individu queer lain yang memiliki keinginan terhadap gender yang sama atau berbeda, queer Muslim juga memiliki keinginan spiritual terhadap Islam. Namun, dalam banyak kasus, mereka menghadapi apa yang disebut sebagai incommensurability—kesenjangan antara identitas queer mereka dan ajaran agama yang menolak keberadaan mereka.

Pengalaman queer Muslim tidak dapat dipisahkan dari sistem sosial yang sudah tidak aman sejak awal. Sistem ini sering kali diciptakan dan dikendalikan oleh kelompok mayoritas yang memaksakan interpretasi tunggal tentang kebenaran agama. Bagi banyak queer Muslim, ini menciptakan ruang yang tidak aman, baik secara fisik maupun emosional, karena mereka harus terus-menerus berjuang untuk menegosiasikan identitas mereka dalam struktur yang menekan.

Dalam konteks ini, penting untuk menyadari bahwa identitas queer dan Muslim bukanlah hal yang harus dipilih salah satunya. Sebaliknya, ada kebutuhan untuk menantang pandangan-pandangan yang menganggap bahwa keduanya saling bertentangan. Banyak queer Muslim yang berhasil menemukan cara untuk mendamaikan identitas keislaman dan queerness mereka, meskipun ini sering kali dilakukan di luar pandangan mainstream. Hal ini menunjukkan adanya spektrum interpretasi Islam yang lebih luas yang dapat mengakomodasi keragaman identitas, termasuk identitas queer.

***Artikel ini merupakan kerja sama antara penulis dan INFID melalui program PREVENT x Konsorsium INKLUSI sebagai bagian dari kampanye menyebarkan nilai dan semangat toleransi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta inklusivitas.

Referensi

Alfikar, Amar, dan Muhammad Dluha Luthfillah, eds. Islam & Tubuh-tubuh Queer. YIFoS Indonesia, 2022.

Hastings, Tali. “Pesantren Waria Al-Fatah: Navigating the Intersection of Gender Nonconformity and Islam in Indonesia.” SIT Digital Collections, n.d. https://digitalcollections.sit.edu/isp_collection/3652

Kassem, Ali. “Political Foreclosure of Queer Liberation: Notes from Lebanon.” E-International Relations, March 14, 2024. https://www.e-ir.info/2024/03/11/notes-from-lebanon-toward-queer-liberatory-alternatives/

Rizky, Emilda. “Mengulik Pandangan Tentang Menjadi Muslim Dan Queer.” qbukatabu.org, April 29, 2022. https://qbukatabu.org/2022/04/29/mengulik-pandangan-tentang-menjadi-muslim-dan-queer/.

Redaksi. “Membumikan Agama Ramah Queer.” SEJUK, June 10, 2024. https://sejuk.org/2024/06/07/agama-untuk-kemanusiaan-yang-menghargai-keberagaman-gender-dan-seksual/

Ugm, Crcs. n.d. “Menemukan Allah: Tantangan Menjadi Saint Queer di Tengah Arus Konservatisme Agama.” Https://Crcs.Ugm.Ac.Id. https://crcs.ugm.ac.id/menemukan-allah-tantangan-menjadi-saint-queer-di-tengah-arus-konservatisme-agama/