
Expert Review: Menanggapi Hasil Kajian Dispensasi Kawin Usia Anak
Fokus daerah dalam kajian ini adalah di Indramayu, Jawa Barat, dan Lampung Tengah, Lampung
Oleh: Andi Faizah, Program Officer Inequality, Partnership, and Membership INFID
INFID bekerja sama dengan Aliansi Perguruan Tinggi Responsif Gender (PTRG) melakukan kajian dispensasi kawin usia anak di dua wilayah di Indonesia. Kajian berjudul “Pencegahan Perkawinan Usia Anak untuk Kesetaraan: Kajian terhadap Permohonan Dispensasi Kawin di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat dan Lampung Tengah, Lampung” ini diperkuat melalui kegiatan “Expert Review Laporan Hasil Riset” pada 16 Agustus 2024 secara daring. Pertemuan dibuka dengan sambutan dari PJS Direktur Eksekutif INFID, Jim Matuli, yang mengungkapkan bahwa tujuan dilakukannya kegiatan yaitu untuk mendapatkan masukan dari para penanggap agar hasil riset dapat menjadi dokumen strategis yang bermanfaat untuk kerja-kerja pencegahan perkawinan usia anak.
Para ahli yang hadir dalam kegiatan Expert Review ini, yakni Dindin Syarief Nurwahyudin selaku Ketua Pengadilan Agama Indramayu, Faqihuddin Abdul Kodir dari Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), Dian Nuswantari dari Pusat Studi Hak Asasi Manusia (PUSHAM) Universitas Surabaya, dan Shaila Tieken dari Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (PUSKAPA) Universitas Indonesia. Turut hadir Organisasi Masyarakat Sipil, yaitu Eka Ernawati mewakili Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) dan Sely Fitriyani mewakili LAdA DAMAR Lampung.
Dari kajian yang dilakukan, alasan permohonan dispensasi kawin dilatarbelakangi oleh kondisi hamil dan cinta. Di Indramayu, sebanyak 88% permohonan dispensasi diajukan karena hamil dan sebesar 10% karena cinta. Sedangkan di Lampung Tengah, alasan hamil sebanyak 40,5% dan alasan cinta sebesar 40,5%. Adapun dari aspek persetujuan pengajuan, sebanyak 98% dispensasi dikabulkan di Indramayu dengan alasan menghindari mafsadat (akibat buruk). Sedangkan di Lampung Tengah, sebesar 83% pengajuan dispensasi dikabulkan dengan alasan yang lebih beragam. Misalnya, menghindari mafsadat, kemaslahatan anak dalam kandungan, juga menghindari stigma negatif.
Namun demikian, di Pengadilan Agama Gunung Sugih, Lampung Tengah ada 14,3% pengajuan dispensasi yang ditolak oleh hakim. Penolakan tersebut berlandaskan beberapa hal. Pertama, risiko kesehatan perempuan. Kedua, ketidakdewasaan perempuan. Ketiga, rentang perbedaan usia antara calon mempelai perempuan dan laki-laki. Penolakan dispensasi tersebut dilatarbelakangi oleh adanya rekomendasi dalam berkas permohonan melalui kerja sama antara Lembaga Perlindungan Anak (LPA) dan Pengadilan Agama Gunung Sugih.
Dari kajian ini, diperoleh beberapa rekomendasi. Pertama, pentingnya pengarusutamaan hak anak dalam sistem peradilan di lingkungan Pengadilan Agama. Kedua, menyosialisasikan PERMA No. 5 Tahun 2019 kepada berbagai pemangku kepentingan. Ketiga, menurunkan PERMA dalam bentuk Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yang mengatur makna rekomendasi, indikator kemendesakan, juga makna kepentingan terbaik anak. Keempat, penting bagi Pengadilan Agama untuk menurunkan klausul ‘dapat meminta rekomendasi’ sebagai kebijakan internal dengan menjadikannya sebagai syarat permohonan dispensasi kawin. Kelima, di tingkat kementerian lembaga, perlu ada strategi daerah terkait pencegahan kawin anak sebagai turunan dari strategi nasional. Keenam, pentingnya mengalokasikan dana desa untuk program pencegahan perkawinan usia anak secara terstruktur dengan menggunakan otoritas Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan desa.
Dari hasil kajian tersebut, para ahli memberikan berbagai tanggapan juga refleksi. Misalnya, seperti apa bentuk perlindungan negara terhadap permohonan dispensasi yang ditolak dengan kondisi anak yang hamil dan bagaimana hak mereka terhadap pendidikan juga layanan kesehatan reproduksi? Ada pula yang menekankan pendalaman pada triangulasi dan susunan penulisan. Dalam hal rekomendasi, penanggap juga menyebutkan bahwa penting untuk mengintegrasikan Peraturan Desa (PERDES) sebagai bagian yang berkelindan dalam melakukan pencegahan perkawinan usia anak. Lebih lanjut, kajian ini diharapkan dapat menjadi bahan advokasi untuk melakukan pencegahan perkawinan usia anak dalam konteks dispensasi kawin.