Kasus Inses di Indonesia: Dianggap Tabu dan Penanganan yang Tidak Berpihak pada Korban

Kasus Inses di Indonesia: Dianggap Tabu dan Penanganan yang Tidak Berpihak pada Korban

Oleh: Isthiqonita

Seorang anak perempuan menjadi korban perkosaan yang dilakukan oleh ayah kandungnya (inses) K (49) di Pati, Jawa Tengah. Korban disetubuhi tersangka berkali-kali di hotel dan di rumah sejak Maret 2023 (saat korban berusia 17 tahun) sampai dengan Juni 2024. Korban kemudian bercerita ke salah satu pamannya, paman korban lalu melaporkan kejadian tersebut. Korban tidak langsung melaporkan apa yang dialaminya karena pelaku kerap mengancam akan membunuh korban atau menceraikan ibu korban. Pelaku juga membawa korban untuk suntik KB sebanyak enam kali setiap tiga bulan dengan mengelabui petugas kesehatan saat menyuntikkan KB. Kepada petugas kesehatan, pelaku berbohong dengan mengatakan korban baru menikah, dan suaminya di luar kota.

Kekerasan inses juga pernah terjadi dilakukan oleh lebih dari satu pelaku. Pada Januari 2024, Polrestabes Surabaya di Jawa Timur menetapkan empat orang anggota keluarga, yang terdiri dari ayah kandung, kakak kandung, dan dua paman sebagai tersangka atas pencabulan (termasuk pemerkosaan) pada korban yang kala itu berusia 13 tahun. Korban telah mengalami kekerasan seksual selama 4 tahun terakhir, atau sejak berusia 9 tahun. Namun, kasus itu baru terungkap setelah pihak keluarga eksternalnya (bibi korban) melapor kepada polisi pada 5 Januari 2024.

Inses didefinisikan sebagai hubungan seksual antara orang-orang yang memiliki hubungan darah atau hubungan bersaudara dekat yang dianggap melanggar norma adat, hukum, dan agama. Definisi tersebut mencakup tiga ruang lingkup; (a) parental incest, yaitu hubungan seksual antara orang tua dan anak, misalkan ayah dengan anak perempuan, ibu dengan anak laki-laki; (b) sibling incest, yaitu hubungan antara saudara kandung, dan; (c) family incest, yaitu hubungan seksual yang dilakukan oleh kerabat dekat, yang orang-orang tersebut mempunyai kekuasaan atas anak dan masih mempunyai hubungan sedarah. Hubungan tersebut baik garis keturunan lurus ke bawah, ke atas maupun ke samping, misalnya paman, bibi, kakek, nenek, keponakan, sepupu, saudara kakek-nenek. 

Inses merupakan kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran hak asasi manusia yang berat akibat dari relasi kuasa yang tidak sehat. Korban kerap mengalami ketidakberdayaan karena harus berhadapan dengan pelaku dari anggota keluarga sendiri. Orang tua, terutama ayah, kerap diimajinasikan sebagai orang yang bertanggung jawab untuk melindungi keluarga. Namun pada faktanya, banyak ayah yang menjadi pelaku pemerkosaan pada anak perempuannya. Catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan sebanyak 3.000 kasus kekerasan terjadi pada anak selama periode 2023. Dari 3.000 kasus tersebut, kasus kekerasan seksual terhadap anak paling dominan terjadi. Menurut Catatan Tahunan (CATAHU) Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) tahun 2022, angka inses mencapai 433 kasus dalam setahun dan dari data tersebut yang paling banyak melakukan inses adalah ayah kandung.

Kasus perkosaan inses biasanya berlangsung hingga bertahun-tahun karena korban berhadapan secara terus menerus dengan pelaku. Di satu sisi korban terpaksa hidup dalam lingkungan sosial dengan ancaman dan pemerkosaan, di sisi yang lain mereka memiliki pemahaman bahwa inses adalah aib yang memalukan keluarga dan dirinya sendiri. Korban juga tidak berdaya, memiliki ketergantungan dengan pelaku, dan kerap diancam oleh pelaku. Bentuk ancaman yang dilakukan antara lain akan melukai bahkan membunuh korban atau ibu korban jika melaporkan apa yang mereka alami. Korban perkosaan inses kesulitan memberontak karena tekanan sosial dan budaya, dan memiliki ketergantungan pada figur ayah. Anggota keluarga lain pun tidak bisa diharapkan karena tidak memiliki kekuatan untuk menolong. 

Penanganan penyelesaian kasus inses pada umumnya mengalami proses hukum yang berlarut bahkan buntu. Misalnya berkas yang tidak lengkap, bahkan sikap aparat penegak hukum yang tidak berperspektif korban. Secara khusus, hambatan keadilan yang khas dalam penanganan inses adalah alasan kurangnya bukti mengingat saksi adalah ibu kandung korban yang tinggal serumah dengan pelaku. Sementara si ibu memiliki ketergantungan emosi dan finansial terhadap suaminya yang menjadi pelaku. Sehingga kemudian, dalam beberapa kasus, ibu kandung menjadi pembela pelaku dan menyangkal tuduhan kekerasan seksual yang menimpa anaknya. Bagi ibu yang lebih berdaya dan memiliki posisi yang kuat dibanding suami, mereka tidak akan berdiam diri ketika mengetahui anaknya menjadi korban.

Jika tidak mendapatkan pemulihan, anak korban inses akan cenderung menderita depresi berat, memiliki persepsi bahwa harga dirinya rendah, tidak mudah mempercayai orang lain, dan menarik diri secara sosial. Korban juga rentan menjadi pelaku tindak kekerasan seksual terhadap anak lain. Ketika dewasa, korban inses tidak menyadari bahwa mereka mengulangi apa yang telah terjadi kepada mereka di masa lalu. 

Memaksimalkan Hukuman Untuk Pelaku

Dalam beberapa kasus kekerasan seksual yang dilakukan ayah terhadap anak kandungnya berakhir karena dihentikan aparat penegak hukum atau pelaku divonis bebas. Misalnya yang terjadi di Kabupaten Agam, Sumatera Barat pada tahun 2023. Pelaku inses divonis bebas oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri (PN) Lubuk Basung, padahal jaksa menuntut hukuman 15 tahun penjara dan denda sebesar Rp 5 miliar. Ibu korban kemudian mengajukan banding, ia merasa kecewa dengan putusan tersebut karena menurutnya hakim tidak mempertimbangkan kesaksian dari anak-anaknya. Pada awal 2024, Mahkamah Agung melalui putusan kasasi membatalkan putusan PN Lubuk Basung dan memvonis terdakwa delapan tahun penjara.

Polda Sulawesi Selatan juga pernah menghentikan penyelidikan kasus dugaan kekerasan seksual terhadap tiga anak di Luwu Timur oleh ayah kandungnya dengan alasan tidak cukup bukti. Dugaan pemerkosaan terhadap ketiga anak tersebut pertama kali diketahui oleh ibu korban pada 2019 lalu, setelah bercerai dari mantan suaminya. Ibu korban kemudian melapor ke Polres Luwu Timur, namun proses penyelidikan dihentikan. Kasus ini kemudian diberitakan oleh Project Multatuli, sehingga menuai atensi publik dan memunculkan tagar #PercumaLaporPolisi di media sosial. Polisi kemudian membuka kembali penyelidikan kasus ini pada Oktober 2021. Namun berdasarkan gelar perkara pada Mei 2023, penyidik menyimpulkan tidak ada tanda-tanda kekerasan seksual seperti yang dituduhkan berdasarkan hasil visum, keterangan dokter, serta psikolog forensik.

Komnas Perempuan menyebut alasan kurang bukti menjadi sebab banyak kasus inses tidak berlanjut di jalur hukum. Anak korban kekerasan seksual juga dimintai keterangan oleh kepolisian tanpa didampingi. Padahal dalam Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Anak dan Undang-Undang tentang Perlindungan Anak, anak-anak yang berhadapan dengan hukum harus didampingi oleh orang tua, pekerja sosial, atau psikolog. Selain itu, perlindungan hukum bagi anak korban delik inses juga telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia. Peraturan tersebut di antaranya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,  Undang-Undang  Nomor  23  Tahun  2002  tentang  Perlindungan  Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Menurut Forum Pengada Layanan (FPL) bagi perempuan korban kekerasan di Indonesia, aparat dan penegak hukum harus memaksimalkan hukuman bagi pelaku inses. Setelah disahkannya Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), kasus kekerasan seksual di dalam rumah tangga bukan hanya berkutat pemidanaan, tapi juga hak-hak dan kebutuhan korban, termasuk hukuman tambahan lainnya bagi pelaku. Pelaku berkewajiban tetap menanggung hak pendidikan korban, termasuk jaminan kesehatan dan jaminan sosial (Pasal 71 ayat 2). Kemudian penyidik dapat melakukan penyitaan terhadap harta kekayaan pelaku TPKS sebagai jaminan restitusi dengan izin pengadilan negeri setempat (Pasal 31 ayat 3). Hakim bisa mencabut hak asuh anak (Pasal 16 ayat 2) dan negara wajib untuk melakukan rehabilitasi terhadap pelaku (Pasal 17 ayat 1). 

Upaya Pemulihan Korban dan Pencegahan Kasus Inses

Menurut Yayasan Pulih, untuk memulihkan korban inses adalah keluarga, kerabat, dan masyarakat mengakui pengalaman korban dan melaporkan pelaku agar mendapatkan hukuman. Kekerasan seksual inses adalah tindak pidana, bukan aib yang harus disembunyikan. Korban juga berhak mendapatkan pemulihan psikologis, fisik, rehabilitasi, jaminan santunan, hingga penggantian ganti rugi (kompensasi/restitusi).

Untuk mencegah agar kasus tidak kembali terjadi, pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas yang komprehensif adalah kuncinya. Anak-anak harus dibekali pemahaman tentang seksualitas dan batasan-batasannya. Mereka juga harus tahu bahwa anak-anak boleh mengatakan tidak kepada orang tuanya atau seseorang yang lebih dewasa. Anak-anak mesti terbiasa melaporkan sesuatu yang tidak menyenangkan menimpa dirinya kepada ibu atau kerabat lainnya. Sayangnya, Indonesia masih menerapkan doktrin bahwa anak harus patuh kepada orang tua dan akan berdosa jika melawan orang yang lebih tua tanpa menanamkan nilai mana yang harus dipatuhi dan dilawan. Doktrin semacam ini harus dilawan karena menghambat nalar kritis anak, termasuk dalam memproses kekerasan seksual yang menimpanya. Maka dari itu, penting agar anak mulai diajak untuk berpikir kritis sejak dini, sehingga bisa kritis dan peka pada sebuah peristiwa, sehingga bisa melawan apabila perlakuan yang diterima melanggar hak anak, termasuk anak perempuan.

Pengasuhan anak berbasis komunitas juga dapat menjadi alternatif untuk mencegah anak menjadi korban inses. Pengasuhan berbasis komunitas merupakan bentuk perluasan pengasuhan anak yang melibatkan anak, orang tua, dan komunitas atau organisasi sosial. Sistem pengasuhan komunitas ini diharapkan akan lebih efektif karena dengan lebih banyak yang peduli dan terlibat selain orangtua kandungnya dan/atau keluarganya, anak akan lebih banyak terpantau selain itu terjalin kerja sama antara berbagai pihak sehingga masing-masing pihak secara tidak langsung mendapat tambahan pengetahuan dari hasil interaksinya dengan yang lain. 

Di Indonesia, pengasuhan anak berbasis komunitas baru diterapkan pada situasi di mana pada suatu wilayah banyak orang tua yang menjadi pekerja migran. Orang tua terpaksa menelantarkan pendidikan anak di rumah dan menyerahkan tanggung jawab tersebut kepada kerabat. Salah satu komunitas yang menerapkan pengasuhan gotong royong adalah Komunitas Tanoker Ledokombo Jember untuk melindungi dan mendampingi anak-anak dari orang tua yang menjadi pekerja migran. Secara perlahan, Komunitas Tanoker mampu mengatasi masalah sosial seperti anak putus sekolah, pengangguran, hingga kekerasan terhadap anak. 

Referensi

Amanda, dkk. “Analisis Kasus Anak Perempuan Korban Pemerkosaan Inses.” Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran, 2019.

Handayani, Maulida Sri, and Widia Primastika. “Beban Dan Luka Korban Pemerkosaan Inses.” Tirto.Id, Tirto.id, 27 July 2018, https://tirto.id/beban-dan-luka-korban-pemerkosaan 

“Kasus Dugaan Pemerkosaan Di Pati, Jawa Tengah – Mengapa Kasus Ayah Perkosa Anak Kandung Terus Berulang? – BBC News Indonesia.” BBC News Indonesia, BBC Indonesia, 14 July 2024, https://www.bbc.com/indonesia/articles/c6p20341nd3o.

Narsidah. Buku Pedoman Pengasuhan Anak Berbasis Komunitas. Seruni, 2014.

“‘Orang Yang Seharusnya Memberikan Perlindungan, Justru Melakukan Kejahatan’ – Bagaimana Kasus Pencabulan Anak SMP Di Surabaya Oleh Ayah, Kakak Dan Dua Pamannya Bisa Terjadi?”, BBC Indonesia, 23 Jan. 2024.

Catahu Komnas Perempuan 2023. Komnas Perempuan, 2024.

Suyanto, Bagong. “Mengapa Korban Perkosaan Sedarah Sulit Melapor Dan Keluar Dari Tindakan Kekerasan.” The Conversation, The Conversation, 16 Mar. 2020, https://theconversation.com/mengapa-korban-perkosaan-sedarah-sulit-melap 

“Tanoker Ledokombo (Bahasa Indonesia).” Tanoker Ledokombo, Tanoker Ledokombo, 4 Oct. 2016, https://tanoker.org/tanoker-ledokombo-bahasa-indonesia

Yuda Pratama, Erick. “Perlindungan Hukum Bagi Anak Korban Delik Inses Dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Studi Putusan Nomor 191/Pid.Sus/2017/Pn Temanggung).” Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro , 2022.